Aku Percaya akan Kehidupan Kekal

gambar

Pengharapan Kristiani

Setelah kita membahas apa yang kita percayai, yaitu dari: Allah Bapa, Allah Putera, Allah Roh Kudus, Gereja, maka kini kita melihat artikel terakhir dari Syahadat, yaitu “Aku Percaya akan kehidupan kekal”. Kehidupan kekal ini adalah kehidupan yang seharusnya dengan dengan penuh pengharapan dinantikan oleh seluruh umat beriman, karena Kristus sendiri telah menjanjikannya sesuai dengan rencana karya keselamatan-Nya. Pengharapan Kristiani mengarahkan pandangan kita kepada perkara-perkara yang di atas (lih. Kol 3:1) yang kekal adanya.

1. Pengharapan akan janji Kristus

Allah menghendaki agar semua manusia memperoleh kehidupan yang kekal (1Tim 2:4), sehingga Ia sendiri mengutus Putera-Nya yang tunggal sehingga barang siapa percaya kepada-Nya tidak akan binasa melainkan memperoleh kehidupan kekal (lih. Yoh 3:16). Demikian pula, Kristus menjanjikan kehidupan kekal bagi umat-Nya (lih. 1Yoh 2:25) dan menganugerahkan rahmat keselamatan ini dengan kedatangan-Nya ke dunia, kerelaan-Nya menderita dan wafat di kayu salib. Kristus berkata bahwa Ia sendiri akan mempersiapkan tempat bagi kita (lih. Yoh 14:2).

Janji ini tidak akan mungkin diperoleh oleh manusia dengan kekuatannya sendiri, namun manusia diberikan jalan untuk mencapainya. Keselamatan ini hanya mungkin dicapai karena Tuhan sendiri telah memberikan kasih karunia kepada umat-Nya (Ef 2:8), iman yang bekerja melalui kasih (lih. Gal 5:6), percaya dan dibaptis (lih. Mrk 16:16). Rahmat Allah ini mengalir kepada umat-Nya melalui sakramen-sakramen maupun dalam bentuk rahmat – baik rahmat pembantu maupun rahmat pengudusan dan juga karunia-karunia Roh Kudus.

Karena yang menghalangi manusia untuk mencapai kehidupan kekal adalah dosa – terutama dosa berat – maka sudah seharusnya Kristus juga memberikan jalan bagi umat manusia untuk memperoleh pengampunan dosa, sehingga manusia tidak kehilangan harapan untuk mencapai kehidupan kekal. Oleh karena itu, berdasarkan rahmat yang mengalir dari misteri Paskah dan kuasa yang diberikan kepada Gereja (lih. Yoh 20:21-23; Mat 16:16-19), maka umat Allah dapat memperoleh pengampunan dan Sorga kembali terbuka bagi umat Allah.

2. Pengharapan berdasarkan iman

Rasul Paulus menegaskan kepada kita bahwa kita harus berpegang pada pengakuan tentang pengharapan kita, karena Kristus – yang adalah Allah – setia terhadap janji-Nya (lih. Ibr 10:23). Karena Allah sendiri menginginkan kebahagiaan kita, maka sudah selayaknya Ia menyediakan segala sesuatu untuk mencapainya. Dengan demikian, kalau kita bekerja sama dengan rahmat-Nya, kita akan memperoleh kehidupan kekal yang dijanjikan-Nya. Santo Agustinus mengatakan, “Saya tidak pernah berharap untuk mendapatkan pengampunan atau Sorga ketika saya berfikir tentang dosa-dosa berat yang saya lakukan, namun saya menaruh pengharapan bahwa melalui jasa Kristus, saya memperoleh keselamatan dengan pertobatan dan melaksanakan perintah-perintah-Nya.”

3. Pengharapan menjadi nyata dengan melaksanakan kehendak Allah

Walaupun Tuhan menginginkan bahwa semua orang diselamatkan, namun kita tahu bahwa tidak semua orang diselamatkan (lih. Mat 7:21-23). Dalam perikop tentang penghakiman terakhir, Yesus mengatakan, “Dan mereka ini akan masuk ke tempat siksaan yang kekal, tetapi orang benar ke dalam hidup yang kekal.” (Mat 25:46) Kesadaran bahwa di samping ada Sorga yang telah dijanjikan oleh Allah, terbentang juga satu kenyataan keberadaan neraka, maka sesungguhnya kita tidak boleh lalai untuk senantiasa melakukan perintah Allah untuk terus bertumbuh dalam kebajikan. St. Bernardus menuliskan “Pengharapan tanpa kebajikan adalah satu kepongahan.” (In Cantica, Serm. 80).

4. Pengharapan dan menghindari dosa

Rasul Paulus, yang sungguh luar biasa dalam karya pewartaan, mengingatkan kita semua agar kita mengerjakan keselamatan kita dengan takut dan gentar (lih. Flp 2:12). Ini disebabkan karena walaupun Allah setia terhadap janji-Nya, namun kita sering tidak setia terhadap Allah dengan dosa-dosa yang kita lakukan. Itulah sebabnya, Gereja Katolik melalui Konsili Trente mengajarkan bahwa tidak ada seorangpun yang mempunyai kepastian yang sempurna bahwa dia akan termasuk dalam bilangan orang-orang yang terpilih atau bahwa dia akan bertekun terus dalam kebajikan sampai ia wafat (Konsili Trente, 6, Kan. 15,16). Rasul Paulus berkata, “Sebab itu siapa yang menyangka, bahwa ia teguh berdiri, hati-hatilah supaya ia jangan jatuh!” (1Kor 10:12). St. Yohanes Krisostomus menuliskan bahwa harapan dan ketakutan adalah teman; ketika mereka meraja, mahkota Sorga secara mudah akan didapatkan.

Dengan demikian, percaya akan belas kasih Allah dan takut akan keadilan Allah, sesungguhnya harus berjalan beriringan. Mengutamakan keadilan Allah sampai menimbulkan ketakutan namun lupa akan belas kasih Allah akan menimbulkan keputusasaan. Sebaliknya, hanya meyakini akan keselamatannya karena belas kasih Allah namun melupakan bahwa Allah yang sama juga dapat menghakimi kita, dapat membuat kita terlena sehingga membawa kita kepada penghukuman kekal.

5. Pengharapan diperlukan untuk keselamatan

Rasul Paulus mengajarkan bahwa kita diselamatkan dalam pengharapan (lih. Rm 8:24). Seseorang yang tidak mempunyai pengharapan akan berputus asa dan tidak akan melakukan perbuatan-perbuatan baik ataupun berusaha menghindari dosa. Tanpa pengharapan, maka seseorang dapat kehilangan semangat untuk berjuang. Oleh karena itu, dalam salah satu tulisannya, St. Agustinus mengajarkan bahwa kekudusan yang membawa kita pada keselamatan didirikan di atas iman, dibangun dalam pengharapan, dan diselesaikan dalam kasih. Setelah kita sampai ke Sorga, maka pengharapan tidak lagi diperlukan karena kita telah sampai pada tujuan.

6. Pengharapan kristiani adalah pemberian Allah yang mengalir dari rahmat pengudusan

Pengharapan Kristiani sebagai salah satu tiga kebajikan ilahi diberikan secara cuma-cuma kepada kita pada saat kita dibaptis, yang olehnya pada saat bersamaan kita juga menerima rahmat pengudusan. Semakin rahmat pengudusan meningkat maka pengharapan Kristiani juga akan meningkat, sehingga pengharapan untuk mencapai kehidupan kekal juga menjadi satu kerinduan.

Apakah Kehidupan kekal

Di dalam perikop tentang penghakiman terakhir, Yesus berkata, “Dan mereka ini akan masuk ke tempat siksaan yang kekal, tetapi orang benar ke dalam hidup yang kekal.” (Mat 25:46) Dua kekekalan ini dihadapkan kepada manusia, yaitu siksaan/kematian kekal dan kehidupan kekal (bdk Ul 30:19). Bagi yang menerima kehidupan kekal, dia akan memperoleh kebahagiaan yang sempurna dan tanpa batas di dalam Kerajaan Sorga, sedangkan yang menerima siksaan kekal akan menerima penderitaan abadi di neraka.

Kebahagiaan abadi di Sorga

Ketika umat Katolik menerima berkat perjalanan sebelum meninggal dunia, pastor akan mendoakan doa penyerahan jiwa sebagai berikut (dikutip dari KGK 1020):

“Bertolaklah dari dunia ini, hai saudara (saudari) dalam Kristus, atas nama Allah Bapa yang maha kuasa, yang menciptakan engkau; atas nama Yesus Kristus, Putera Allah yang hidup, yang menderita sengsara untuk engkau; atas nama Roh Kudus, yang dicurahkan atas dirimu; semoga pada hari ini engkau ditempatkan dalam ketenteraman dan memperoleh kediaman bersama Allah di dalam Sion yang suci, bersama Maria Perawan yang suci dan Bunda Allah, bersama santo Yosef dan bersama semua malaikat dan orang kudus Allah. … Kembalilah kepada Penciptamu, yang telah mencipta engkau dari debu tanah. Apabila engkau berpisah dari kehidupan ini, semoga Bunda Maria bersama semua malaikat dan orang kudus datang menyongsong engkau. … Engkau akan melihat Penebusmu dari muka ke muka…” (Doa penyerahan jiwa).

Dari doa ini, kita melihat bahwa bagi umat Kristen, kematian bukanlah merupakan satu akhir, namun menjadi satu awal untuk memulai hubungan yang lebih erat dengan Allah di dalam kehidupan kekal di Sorga. Bagaimanakah kehidupan kekal ini? St. Thomas Aquinas dalam bukunya – The Aquinas Catechism – menggambarkan kehidupan kekal ini sebagai berikut:

1. Kesempurnaan pandangan akan Allah. Persatuan dengan Allah adalah melihat Allah sebagaimana adanya Dia, melihat Allah muka dengan muka secara jelas dan bukan hanya merupakan gambaran yang samar-samar seperti dari dalam cermin (lih. 1Kor 13:12).

2. Kesempurnaan pengetahuan akan Allah. Kesempurnaan pengetahuan akan Allah memungkinkan manusia untuk dapat mengasihi Allah dengan lebih sempurna.

3. Kesempurnaan pujian kepada Allah. Melihat dan mengetahui Allah yang adalah baik, indah dan benar akan membawa kita untuk dapat memuji Allah dengan sesungguhnya. Dalam bukunya, City of God,  St. Agustinus menuliskan bahwa kita akan melihat, akan mengasihi dan akan memuji Allah.

4. Kesempurnaan penggenapan keinginan. Dalam kehidupan di dunia ini, tidak ada seseorangpun yang dapat menjadi pemenuhan keinginan kita, yang dapat membuat kita bahagia secara sempurna. Di dalam Sorga, Tuhan sendiri akan menjadi pemenuhan keinginan kita. St. Agustinus dalam bukunya, confession, menuliskan “Engkau telah menciptakan kami untuk diri-Mu sendiri, ya Tuhan, dan hati kami tidak dapat beristirahat dengan tenang sampai beristirahat di dalam Engkau.”

5. Kesempurnaan keamanan. Di dalam dunia ini tidak ada kesempurnaan keamanan, karena seseorang yang mempunyai banyak hal dan mempunyai posisi tinggi, akan semakin merasa takut kehilangan apa yang telah dimiliki. Namun, di dalam Kerajaan Sorga tidak ada kesusahan, jerih payah, ataupun ketakutan.

6. Persahabatan dengan para kudus. Di dalam Sorga kita akan mendapatkan persahabatan dengan para kudus yang diwarnai dengan sukacita, karena setiap orang akan memiliki segala sesuatu yang baik bersama-sama. Mereka akan saling mengasihi seperti diri mereka sendiri dan bergembira terhadap kebaikan yang dipunyai oleh orang lain. Dengan demikian, kegembiraan dan kebahagiaan seseorang juga akan menjadi kebahagiaan dan kegembiraan yang lain.

Penderitaan abadi di neraka

Untuk menggambarkan kehidupan di Sorga, Rasul Paulus menuliskan, “Apa yang tidak pernah dilihat oleh mata, dan tidak pernah didengar oleh telinga, dan yang tidak pernah timbul di dalam hati manusia: semua yang disediakan Allah untuk mereka yang mengasihi Dia.” (1Kor 2:9) Sebaliknya, neraka dapat digambarkan sebagai kebalikan dari semua kebahagiaan tersebut. St. Thomas Aquinas menggambarkannya sebagai berikut:

1. Keterpisahan abadi dengan Tuhan. Di dalam neraka maka para terhukum akan terpisah secara abadi dengan Tuhan maupun dengan segala sesuatu yang baik. Ini adalah penderitaan karena kehilangan (pain of loss / poena damni). Kehilangan ini melebihi penderitaan badani. Yesus menggambarkannya sebagai berikut: “Dan campakkanlah hamba yang tidak berguna itu ke dalam kegelapan yang paling gelap. Di sanalah akan terdapat ratap dan kertak gigi.” (Mat 25:30) Kegelapan akan ada di dalam diri terhukum dan juga di luar mereka.

2. Penyesalan hati nurani. Di neraka mereka akan mempunyai penyesalan. Namun penyesalan ini tidaklah berguna, karena penyesalan mereka bukanlah karena membenci dosa, namun penyesalan karena mendapatkan hukuman kekal.

3. Intensitas siksaan inderawi. Kitab Mazmur menggambarkannya demikian, “Seperti domba mereka meluncur ke dalam dunia orang mati, digembalakan oleh maut; mereka turun langsung ke kubur, perawakan mereka hancur, dunia orang mati menjadi tempat kediaman mereka.” (Mzm 49:14) Di dalam neraka akan terjadi penderitaan badani (poena sensus), di mana mereka yang masuk di dalamnya mengalami kematian untuk selamanya.

4. Keputusasaan akan keselamatan. Karena tidak ada pengharapan apapun untuk keselamatan, maka hal ini akan semakin memperberat penderitaan mereka. Nabi Yesaya menuliskan, “Mereka akan keluar dan akan memandangi bangkai orang-orang yang telah memberontak kepada-Ku. Di situ ulat-ulatnya tidak akan mati, dan apinya tidak akan padam, maka semuanya akan menjadi kengerian bagi segala yang hidup.” (Yes 66:24)

Berfokus pada kehidupan kekal mulai dari sekarang

Sesungguhnya kalau kita tahu bahwa Tuhan telah menyatakan kepada kita jalan kehidupan dan jalan kematian, maka sudah seharusnya kita memilih jalan kehidupan yang akan membawa kita kepada kehidupan kekal. Kehidupan kekal ini tidak bisa kita peroleh dengan kekuatan kita sendiri, namun merupakan pemberian Allah, yang harus kita tanggapi secara bebas oleh iman, dengan terus bekerjasama dengan rahmat-Nya, senantiasa berharap kepada janji-Nya, dan terus bertumbuh dalam kasih. Marilah, sekali lagi kita mengarahkan pandangan kita kepada tujuan akhir kita, yaitu kehidupan kekal. Kapan harus kita mulai? Sekarang juga!

Ekaristi: Bekal rohani untuk sampai ke Surga

[Hari Minggu Biasa ke XIX: 1Raj 19:4-8; Mzm 34:2-9; Ef 4:30-5:2; Yoh 6:41-51]

Hari Minggu ini kita mendengarkan kisah Nabi Elia yang melarikan diri ke padang gurun, untuk menviaticum-1-640x360ghindar dari kejaran para suruhan Ratu Izebel yang ingin membunuhnya. Dalam kelelahan dan keputusasaannya, Nabi Elia berseru kepada Tuhan, agar ia dibiarkan mati saja (lih. 1Raj 19:4). Namun Allah mengutus malaikat-Nya untuk memberi Elia makan dan minum, untuk melanjutkan perjalanannya. Dari makanan itu, Nabi Elia dapat bertahan dalam perjalanan empat puluh hari empat puluh malam sampai ke gunung Tuhan.

Suatu saat dalam hidup ini, kitapun  dapat mengalami pengalaman seperti yang dialami oleh Nabi Elia. Kita dapat merasa lelah—karena kesibukan rutin, permasalahan hidup atau karena kelemahan diri kita sendiri—yang mendorong kita menyerah. Namun Tuhan mengutus malaikat-Nya, yaitu Gereja, yang memberikan kita santapan rohani—yaitu Ekaristi—untuk membuat kita bertahan dan dapat melanjutkan perjalanan, sampai ke gunung Tuhan, yaitu Surga. Tak mengherankan, Gereja di abad-abad awal menyebut Ekaristi sebagai Viaticum, artinya: bekal bagi perjalanan jauh. Namun demikian, istilah Viaticum kini lebih dihubungkan sebagai bekal terakhir bagi seseorang di saat ajal, yaitu ketika hendak beralih dari hidup di dunia ini ke kehidupan selanjutnya. Maka bacaan hari ini juga mengingatkan kita pentingnya Ekaristi bagi kita, terutama di saat menjelang kematian. Saat itu kita sungguh membutuhkan kekuatan dari Tuhan sendiri, agar kita dapat mengalahkan godaan untuk menyerah dalam keadaan keputusasaan, seperti yang dialami oleh Nabi Elia. Di saat ajal itulah, kita akan menghadapi godaan terbesar, akankah kita tetap percaya kepada Kristus Juruselamat kita, sementara kita  mengalami puncak penderitaan ataupun rasa kesendirian yang tak terungkapkan. “Sesungguhnya barangsiapa percaya, ia mempunyai hidup yang kekal…. Akulah roti yang turun dari surga. Jikalau seorang makan dari roti ini, ia akan hidup selama-lamanya…” (Yoh 6:47,51). Betapa ini adalah janji Tuhan yang layak kita pegang teguh sampai akhir! Jika kita percaya akan sabda Yesus ini, layaklah kita berusaha sedapat mungkin untuk mengusahakan penerimaan sakramen Ekaristi bagi mereka yang sedang dalam sakrat maut. Betapa luhurnya pengabdian seorang imam yang mau berkorban melakukan apa saja, untuk memberikan Komuni Viaticum ini kepada umat yang membutuh
kannya! Betapa sepantasnya kita bersyukur kepada Tuhan Yesus atas pemberian diri-Nya melalui Gereja-Nya, para imam-Nya, dan sakramen Ekaristi!

Namun Ekaristi bukan hanya Roti hidup yang layak diterima saat menjelang ajal. Tuhan Yesus menghendaki kita  menyambut Dia secara teratur dalam kehidupan kita: setiap Minggu, atau jika memungkinkan, setiap hari. Dengan demikian, kita dapat mengambil bagian di dalam hidup-Nya sendiri, agar kita dapat mengalahkan godaan dan dapat senantiasa hidup dalam rahmat Allah, seturut panggilan kita sebagai anak-anak-Nya.  “Melalui penerimaan Komuni setiap hari, kehidupan rohani menjadi lebih penuh dan jiwa diperkaya dengan kebajikan- kebajikan. Orang yang menerima Komuni menerima tanda yang pasti akan kehidupan kekal” (Paus Paulus VI, Eucharisticum Mysterium, 37). Tentu perkataan ini didasari oleh janji Kristus sendiri, “Barangsiapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia mempunyai hidup yang kekal…, [ia] akan hidup oleh Aku…, ia akan hidup selama-lamanya” (Yoh 6:54,56,58). Sebab dengan mengambil bagian dalam Tubuh dan Darah Kristus, kita diubah oleh-Nya menjadi semakin menyerupai Dia yang kita sambut itu. Hal ini jelas kita lihat dalam kehidupan para orang kudus—yaitu para Santo-Santa—namun juga dalam kehidupan kita di masa ini, asalkan kita mau menyambut Kristus dengan sikap batin yang baik, sebagaimana yang dilakukan oleh para orang kudus itu.

Ketika Hosti diangkat oleh tangan imam, dan yang melalui perkataan Sabda Tuhan, telah diubah menjadi Tubuh Kristus Sang Roti hidup, mari kita memandang-Nya, sambil berkata, “Tuhan, aku mau menerima Engkau, sebagai Roti hidup yang turun dari surga… Biarlah ini menjadi santapan dan bekal bagiku untuk sampai kepada hidup yang kekal dalam kebahagiaan abadi bersama-Mu…” Dan saat Roti Hidup itu kita terima, biarlah kidung Anima Christi ini bergema di hati kita:

“Jiwa Kristus, kuduskanlah aku
Tubuh Kristus, selamatkanlah aku

Darah Kristus, sucikanlah aku
Air lambung Kr
istus, basuhlah aku
Sengsara Kristus, kuatkanlah aku
Yesus yang murah hati, luluskanlah doaku
Dalam luka-luka-Mu sembunyikanlah aku.
Jangan aku dipisahkan daripada-Mu, ya Tuhan.
Terhadap seteru yang curang, lindungilah aku.
Di waktu ajalku, terimalah aku.
Supaya bersama para kudus, aku memuji Engkau,
selamanya.”