Oleh: Fr. Joseph Biondi Mattovano
Saudari-saudara yang terkasih, doa disamping menjadi sarana perjumpaan kita sebagai seorang beriman dengan Allah. Bagian dari doa sesungguhnya menggerakkan kita untuk turut ambil bagian dalam tugas pewartaan (evangelisasi) dan mencari kebaikan sesama. (Evangelii Gaudium-Suka Cita Injil art. 281) Inilah yang menjadi poin keutamaan relasi antara doa dan karya/pelayanan kita. Melalui karya pelayanan yang senantiasa kita bawa dalam doa, sesulit dan seberat apapun pengalaman itu membuat kita kerap bisa merasakan betapa Allah bersedia membentuk pribadi kita.
Dalam anjuran apostoliknya itu, Paus Fransiskus mengajak kita untuk belajar dari Santo Paulus yang berdoa sungguh dari hati. Maka, doa dari dalam HATI itu penting, bukan sekadar hafalan atau rumusan doa semata. “Dan setiap kali aku berdoa untuk kamu semua, aku berdoa untuk kamu semua, aku selalu berdoa dengan sukacita. Memang sudah sepatutnyalah aku berpikir demikian akan kamu semua, sebab kamu ada di dalam hatiku, oleh karena kamu semua turut mendapat bagian dalam kasih karunia yang diberikan kepadaku, baik pada waktu aku dipenjarakan, maupun pada waktu aku membela dan meneguhkan Berita Injil.” (Fil 1:4,7) Dalam situasi sulit (di penjara) sekalipun, seorang pewarta seperti Paulus tidak mengawali doanya dengan sebatas berkontemplasi (bertapa dan berdiam diri). Sebab, sejatinya doa juga selalu menyediakan “tempat” (ruang hati) kita bagi sesama. Seorang pewarta Injil yang hidup berimannya tumbuh dari doa, hatinya akan mampu semakin terluka, dan semakin menyadari siapa dirinya sesungguhnya dihadapan Allah dan sesama. Hatinya akan selalu mengarah kepada kebaikan dan berbagi kehidupan dengan sesama. (Evangelii Gaudium art. 281)
Saudari-saudara legioner yang terkasih, kesatuan antara doa dan karya pelayanan sebisa mungkin mari kita maknai seperti kedua kepak sayap burung yang dikepakkan ketika terbang. Seekor burung tidak mungkin bisa terbang hanya dengan satu sayap saja. Demikian pula dengan kita sebagai seorang beriman. Bagaimana mungkin seseorang bisa mempunyai relasi dengan Allah kalau ia tidak pernah berdoa? Tanpa relasi yang personal dan intim dengan Allah, alih-alih motivasi yang tulus dan murni hanya akan menjadi batu sandungan bagi pelayanan kita. Sekarang ini, keutamaan hidup beriman antara doa dan karya pelayanan sudah tidak hanya menjadi perhatian dari para kaum religius atau klerus (imam). Mari kita sama-sama patut bersyukur bahwa telah begitu banyak gerakan atau komunitas awam, salah satunya Legio Mariae yang mempunyai perhatian pada mereka yang kecil, lemah, putus asa, dan menderita, namun tidak melupakan semangat doa sebagai bagian dari spiritualitas pelayanan.
Melalui Evangelii Gaudium ini, akhirnya Paus Fransiskus mengajak seluruh umat beriman untuk masuk kedalam pemahaman dan kebenaran akan Allah, sehingga setiap dari kita mampu memandang segala sesuatu yang sedang terjadi atau yang akan kita alami dari ‘kaca mata’ Allah. Kini bukan saatnya lagi kita bisa merasa ‘damai’ karena dininabobokan dengan rasa aman dan nyaman dalam hidup kita sehari-hari. Kemampuan kita untuk memaknai hidup menjadi semakin nyata manakala kita sebagai seorang Kristiani berani bangkit dari keterpurukan dalam pelayanan kita, seperti penolakan, caci-maki, tidak diakui, dan merasa diri selalu terbatas. Maka, dalam menghayati tugas pewartaan Injil untuk melayani dan mendoakan semakin banyak orang, kita tidak boleh sekali-kali kehilangan kebahagiaan. Hilangnya kebahagiaan dalam doa dan karya pelayanan tentu bisa meruntuhkan kesaksian panggilan hidup kita sebagai seorang Kristiani. Selain Roh Kudus yang membakar dan menuntun semangat evangelisasi, kita yang lemah dan terbatas ini tetap butuh dievangelisasi oleh mereka yang kecil, lemah, miskin, tersingkir, dan menderita.
SEKIAN. BERKAH DALEM