Komisium Bintang Timur – Bogor

Keberadaan Legio Maria di Keuskupan Bogor dirintis oleh seorang envoy (utusan) dari dewan Konsilium Morning Star Dublin, yang bernama Miss Joaquina Lucas. Hasilnya, pada tanggal 2 Februari 1963 berdiri presidium pertama di Paroki Katedral Bogor dengan nama Perawan Tersuci.  Pendirinya Bapak Aloysius Martondang (RIP: Mei 1964) dan Pater Jacobus Bruno Peperzaak, OFM. (Pastor Paroki Santa Perawan Maria Katedral Bogor saat itu). Selanjutnya Pater Peperzaak menjadi Pemimpin Rohani (PR) Legio Katedral Bogor.  Presidium (Pres.) Perawan Tersuci ini berkembang dengan pesat, sehingga dibentuklah presidium kedua dengan nama Perawan Setia.  Sayangnya  presidium kedua  ini hanya bertahan hingga tahun 1968, sedangkan sisa anggotanya bergabung kembali dengan Presidium Perawan Tersuci.

Besarnya minat umat Katolik terhadap Legio Maria, telah mendorong Pres. Perawan Tersuci untuk mengutus beberapa anggotanya menghadap Pater W. Kohler, OFM (Pastor Paroki Santo Fransiskus Asisi Sukasari Bogor saat itu) dan meminta izin untuk mendirikan sebuah presidium di Paroki Sukasari. Setelah mendapat izin, Sdri. Maria Agnes Jannie Tjiam (Ibu Mattheus) segera mendirikan dan menjadi ketua pertama Pres. Ratu Yang Diangkat ke Surga Sukasari,  pada tanggal 8 September 1963.

Tiga presidium pertama di Keuskupan Bogor, yakni Perawan Tersuci Katedral, Perawan Setia Katedral, dan Ratu Yang Diangkat ke Surga Sukasari menjadi kekuatan awal berdirinya dewan Kuria Bintang Timur Bogor. Kuria ini diresmikan oleh dewan Komisium Bunda Rahmat Ilahi Bandung pada tanggal 27 November 1963, dengan Sdr. Suluh Prayogo sebagai ketua Kuria dan Sdri. Sherly Simatupang sebagai sekretaris. Pada tahun 1966 Sdr. Suluh Prayoga mengundurkan diri, sehingga jabatan ketua kuria digantikan oleh Sdr. Bram Usmanij.

Pada tahun 1964, berdiri presidium keempat di Paroki Katedral Bogor, yakni Pres. Perawan Yang Amat Bijaksana, dengan ketua Sdr. Eddi Putera.  Presidium ini bertugas membimbing presidium junior pertama, yakni : Pres. Regina Pacis di SMA Regina Pacis Bogor, yang berdiri tahun 1964.  Selanjutnya pada 26 Agustus 1964 Sdri. Maria Agnes Jannie Tjiam bersama teman-temannya mendirikan Pres. Cermin Kekudusan di Bondongan.  Sayangnya presidium ini merosot,  tidak berkembang dan akhirnya hilang.  Pertumbuhan legio berikutnya terjadi di luar kota Bogor, yakni Pres. Ratu Para Rasul (berdiri 16 November 1966) di Paroki Santo Yoseph Sukabumi. Beberapa tahun kemudian, RP. Anselmus Sutono, OFM mendirikan Presidium Bunda Penebus dan Presidium Bintang Laut di Paroki Serang.

Dalam perkembangan selanjutnya, berdirilah Presidium Junior Perawan Yang Setia di Bondongan, Sukasari Bogor, pada 11 Maret 1973.  Sementara di Paroki Katedral Bogor berdiri Presidium Junior Perawan Yang Termulia di SMP Budi Mulia Bogor, pada 4 Oktober 1973, dengan Ketua Ibu Lisa Trenggono (anggota Presidium Perawan Tersuci).  Sayangnya presidium junior ini hanya mampu bertahan selama dua tahun.

Aktivitas Legio Maria Bogor di era tahun 1963-1980 antara lain : melakukan kunjungan ke rumah-rumah, rumah sakit, rumah sakit jiwa dan penjara, serta menjual lilin pada malam Paskah.  Kunjungan yang dilakukan tidak terbatas pada umat Katolik belaka.  Umat yang berbeda agama pun dikunjungi untuk menjalin persaudaraan antar agama.  Sementara tugas kunjungan ke umat Katolik dititik beratkan pada keluarga-keluarga yang bermasalah.  Contohnya keluarga kawin campur,  umat yang sudah lama tidak ke gereja dengan berbagai alasan, umat yang sedang sakit, ataupun meninggal.

Setiap kali para imam mendapat informasi mengenai umat yang sakit, atau bermasalah, mereka langsung meminta legioner untuk mengunjungi umat yang bermasalah tersebut.   Para legioner berusaha membantu umat yang bermasalah itu dengan cara mendengarkan permasalahan atau keluhan mereka,  dan kemudian bersama dengan imam berusaha membantu menyelesaikan masalah tersebut. Spesialisasi tugas legio pada masa itu adalah mengajak umat untuk kembali ke pangkuan gereja. Tugas-tugas ini terasa menantang tetapi juga berat, sehingga menuntut kerjasama yang baik dengan para imam dan ketua-ketua wilayah.

Selain melakukan kunjungan, legio juga diminta untuk mengasuh ME (Marriage Encounter) supaya mereka bisa berkembang dengan baik.  Setelah komunitas ME mandiri, mereka dilepas oleh Legio Maria.  Aktivitas legioner yang lain yaitu mengurus keberangkatan perwakilan-perwakilan paroki di Keuskupan Bogor yang akan menyambut kedatangan (alm) Paus Paulus VI di Senayan pada tahun 1970.  Dapat dikatakan pada masa itu Legio Maria menjadi tangan kanan para imam.  Hal ini dapat terjadi karena pada masa itu belum banyak organisasi yang ada dan aktif (baru ada PMKRI dan Kongregasi Maria).

Pater Peperzaak pada Acies 1973 di Sukasari

Legio Maria Bogor merintis pembentukan Legio Maria Jakarta.

Pada 13 Oktober 1972 berdiri presidium pertama di Jakarta, yaitu Pres. Santa Maria de Fatima di Paroki Toasebio Maria de Fatima Jakarta Barat, atas prakarsa Pater Salis. Sementara Presidium kedua berdiri di Paroki Santo Yoseph Matraman Jakarta.  Kedua presidium ini pun bergabung dengan Kuria Bintang Timur Bogor.  Semenjak itu, Kuria Bogor mendapat tugas untuk  membimbing dan merintis pendirian presidium-presidium di Jakarta.  Maka Sdr. Bram Usmanij (Ketua Kuria Bogor waktu itu) dan Bruder Tethard, BM (Pembimbing Rohani Legio Maria Bogor saat itu)  menghadap Uskup Agung Jakarta waktu itu, Mgr. Leo Soekoto, SJ. untuk meminta dukungan pendirian Legio Maria di Jakarta.

Ternyata perkembangan Legio Maria Jakarta sangat pesat dalam waktu yang singkat.  Maka muncullah keinginan dari presidium-presidium Jakarta untuk membentuk kuria sendiri, terpisah dari Kuria Bogor.  Untuk menindaklanjuti hal ini, maka Bruder Tethard, BM (Pembimbing Rohani Legio Maria Bogor) bersama envoy Bruder Jose Tugelida mengusulkan pembentukan kuria tersendiri di Jakarta kepada Komisium Bandung pada Bulan Februari 1979.  Kuria pertama ini berhasil mekar menjadi tiga kuria, sehingga pada bulan Juli 1983 terbentuklah Komisium Jakarta, dengan ketua Sdr. Max Parera.

Perpindahan Kuria Bogor ke Komisium Jakarta

Pada Bulan Oktober 1984, Kuria Bogor dan Komisium Bandung diundang Komisium  Jakarta untuk menghadiri pertemuan dengan envoy Father Mc. Grath dari Hongkong.  Dalam pertemuan ini antara lain dibahas masalah pembinaan Kuria Bogor. Karena jarak tempuh Bogor-Jakarta lebih dekat dibandingkan Bogor-Bandung, dan ketua Kuria Bogor  (Sdr. Bram) sering berhubungan dengan Komisium Jakarta (Sdr. Max Parera), maka Sdr. Bram Usmanij (Ketua Kuria Bogor) mengusulkan untuk memindahkan pembinaan Kuria Bogor ke Komisium Jakarta.  Gagasan ini disambut baik oleh Komisium Jakarta dan Bandung.

Tak lama kemudian Kuria Bogor mengirimkan surat pengunduran diri dari Komisium Bandung.  Surat tersebut diterima dengan baik tetapi tidak dibalas karena dianggap telah selesai. Selanjutnya Komisium Bandung melaporkan hal ini dalam rapat Senatus Malang, minggu pertama Januari 1985.  Beberapa hari kemudian dalam Konferensi Legio Senatus Malang di rumah retret Giri Sonta, terungkap kalau Kuria Bogor belum dianggap anggota oleh Komisium Jakarta karena mereka belum menerima surat pengalihan keanggotaan dari Komisium Bandung.  Tanpa disengaja Kuria Bogor dalam status quo selama beberapa bulan. Akhirnya dengan surat no 01/II/1985/SEK I  dari Komisium Bandung kepada Kuria Bogor dengan tembusan ke Komisium Jakarta, masalah keanggotaan Kuria Bogor menjadi tuntas.   Maka sejak saat itu Kuria Bogor bergabung ke Komisium Jakarta dengan alasan  letak geografis dan demi efisiensi kerja.

Beberapa waktu kemudian, Senatus Malang mengajukan usul kepada Konsilium Dublin untuk membentuk dewan senatus kedua di Jakarta.  Alasannya, Senatus Malang merasa berat dan kewalahan untuk menangani Legio Maria di seluruh Indonesia.  Usul tersebut mendapat tanggapan positif.  Senatus ”Sinar Bunda Karmel” Malang ditugaskan untuk mempersiapkan hal ini dan envoy Sdri. Soccoro B. Crus dari Philipina datang untuk membantu.  Maka pada tanggal 29 Maret 1987, Komisium Jakarta diresmikan menjadi senatus kedua dengan wilayah kerja seluruh Pulau Sumatra, Kalimantan, dan Jawa Barat.  Adapun ketua Senatus Jakarta pertama yang terpilih adalah Sdr. Max Parera.

Rapat Kuria Bogor tanggal 15 Februari 1987 bersama Envoy Sdri. Soccoro de Cruz

Legio Maria Keuskupan Bogor Periode Tahun 1980-1990

Legio Maria Keuskupan Bogor di era tahun 1980-1990 mengalami pertumbuhan yang amat pesat.  Hal ini ditandai dengan berdirinya banyak presidium di berbagai paroki.  Pada 7 September 1980 berdiri Pres. Bunga Mawar Yang Gaib, Katedral. Satu bulan kemudian, yaitu pada 8 Oktober 1980, di Paroki Cibinong berdiri  Pres.  Bejana Rohani,  disusul dengan Pres. Pintu Surga, yang didirikan pada 26 Februari 1981.  Pada 1 Mei 1982 berdiri  Pres. Junior Tahta Kebijaksanaan, SMKK Baranangsiang, Katedral.  Di bagian barat Keuskupan Bogor, tepatnya di Paroki Rangkasbitung, berdiri presidium pertama, yakni Pres. Bunda Pelindung Rangkasbitung, pada 22 Mei 1985, dan tak lama kemudian disusul oleh Pres. Maria Dikandung Tidak Bernoda. Pada 19 Oktober 1986 berdiri Pres. Sumber Segala Rahmat (yang pada tahun 2001 berganti nama menjadi Pres. Bunda Gereja) di Paroki Katedral.   Di bagian utara Keuskupan Bogor, kehadiran Legio Maria diawali di Depok Jaya, dengan lahirnya Pres. Rumah Kencana pada 14 April 1986.  Pada 15 Februari 1987 berdiri Pres. Putri Kerahiman, Katedral Bogor.  Pada 20 Desember 1987 berdiri Pres. Ratu Para Saksi Iman, Sukabumi, disusul dengan pendirian Pres. Ratu Pencinta Damai, Cianjur pada 15 Mei 1988. Keuskupan Bogor akhirnya memiliki presidium seminari setelah Pres. Seminari Menengah Stella Maris Bogor didirikan  pada 18 September 1988, dan presidium di Paroki Katedral pun bertambah lagi dengan berdirinya Pres. Ratu Yang Sungguh Merakyat, Katedral Bogor, sekitar tahun 1990.

Aktivitas Legio Maria Katedral Periode tahun 1980-2000

Legio Maria Paroki Katedral Bogor mengalami puncak perkembangan sekitar tahun 1985 hingga 2000.  Pada periode ini ada lima presidium senior (Pres. Perawan Tersuci, Pres. Bunga Mawar Yang Gaib, Pres. Sumber Segala Rahmat (Bunda Gereja), Pres. Putri Kerahiman dan Pres. Ratu Yang Sungguh Merakyat) dan tiga presidium junior (Pres. Regina Pacis, Pres. Tahta Kebijaksanaan dan Pres. Seminari Stella Maris).  Presidium senior pada masa itu didominasi oleh karyawan muda dan mahasiswa IPB.  Walaupun demikian, ada juga ibu-ibu yang aktif sebagai legioner, dan mereka berkumpul dalam Pres. Puteri Kerahiman.

Untuk menjalin kerjasama yang baik dan membuat pembagian tugas yang merata antar presidium-presidium di Paroki Katedral Bogor, maka dibentuklah koordinator Legio Maria. Jabatan sebagai koordinator Legio Maria digilir antar presidium, dengan jangka waktu tugas selama satu tahun. Adapun jabatan Ketua koordinator dipegang oleh Ketua Presidium yang presidiumnya mendapat giliran menjadi koordinator.  Tugas dari Koordinator Legio Maria waktu itu antara lain : mengkoordinasikan tugas-tugas dari Paroki, menyelenggarakan Misa Legio setiap Sabtu pertama  di Kapel Seminari.  Misa Legio ini kemudian dilanjutkan dengan rapat koordinator yang membahas pembagian wilayah tugas kunjungan setiap presidium dan tugas-tugas gabungan yang lain.

Aktivitas yang rutin dikerjakan legioner pada masa itu, antara lain : mengunjungi lansia di rumah-rumah dan panti werda, mengunjungi orang sakit di rumah dan rumah sakit, mengunjungi pasien di Rumah Sakit Jiwa Cilendek, membersihkan gereja menjelang Natal dan Paskah, menyiapkan dan menjual lilin Paskah pada malam Paskah, membantu mempersiapkan rajangan daun pandan dan bunga tabur untuk ibadat sabda Jumat Agung, mengantar jemput oma-oma untuk mengikuti Misa Natal dan Paskah di gereja dan menyiapkan bangku khusus lansia di gereja, mengadakan dan memimpin doa rosario setiap hari di gereja pada Bulan Mei dan Oktober, mengadakan pendalaman kitab suci khusus legio setiap prapaskah dan adven, serta mengadakan ziarah dan rekoleksi bagi presidium-presidium Katedral Bogor.  Pada Oktober 1994 para legioner ikut berperan serta sebagai petugas penyambut tamu dan petugas tata tertib kolektan dalam Misa Pelantikan Uskup Bogor Mgr. Michael angkur, OFM di Graha Widya Wisuda, Dramaga Bogor.

Legioner berfoto bersama Mgr. Michael seusai pelantikan Uskup Bogor di

Sekitar tahun 1991, RD. Christophorus Lamen Sani (PR Katedral waktu itu) mempelopori pembentukan koor Legio Maria di Katedral Bogor untuk membantu pelaksanaan Misa di gereja Katedral.  Kelompok koor legio ini berkembang dengan baik berkat dukungan dan pelatihan dari Fr. Yohanes Driyanto (Asisten PR Pres. Puteri Kerahiman).  Kelompok koor ini bertahan hingga sekitar tahun 1997.

Pada tahun 1992, Kuria Bintang Timur Bogor yang diwakili oleh delapan legioner  melakukan exploratio dominicalis ke Cikotok, Cibeber Banten. Rombongan dipimpin oleh RD. Yohanes Driyanto (PR Legio Maria Katedral) dan Sdr. Herkulanus Dos Santos (Ketua Kuria Bogor sekaligus Ketua Pres. Sumber Segala Rahmat).  Mereka berangkat ke Cikotok menggunakan satu mobil, dan tiba di lokasi pada malam hari.  Di sana para legioner diterima dengan baik oleh ketua umat.  Rombongan menginap di gedung gereja stasi. Keesokan harinya (Minggu), sekitar pukul 09.00 diadakan Misa.  Karena di gereja stasi Cikotok, Misa  biasanya diadakan pada hari Selasa atau Rabu, maka ketua umat terlebih dahulu berkeliling ke rumah-rumah untuk memanggil umat Katolik.  Setelah umat berkumpul, Misa dimulai dan setelahnya dilanjutkan dengan ramah-tamah, serta sosialisasi Legio Maria.  Setelah makan siang, para legioner kembali ke Bogor. Kegiatan ini sangat menarik dan diterima dengan baik oleh umat di sana. Sayangnya tidak ada tindak lanjut dari kegiatan ini.

Pada akhir tahun 1992,  Legio Maria Katedral Bogor mendapat tugas untuk membina anak-anak bina iman di lingkungan-lingkungan yang belum memiliki pembina BIA (Bina Iman Anak).  Tugas ini membuat  hampir semua anggota legioner diturunkan sebagai pembina bina iman anak dadakan di berbagai lingkungan.  Dalam tahap selanjutnya legioner yang menjadi pembina BIA, ikut berperan serta dalam pembentukan koordinator BIA Paroki Katedral Bogor dan penyelenggaraan kegiatan BIA tingkat Paroki.  Tugas ini terus berlanjut hingga sekitar tahun 2003.  Setelah tahun 2003 aktivitas membina BIA tidak lagi dimasukkan dalam daftar tugas Legio Maria.  Alasannya pada masa itu para pembina BIA telah dikoordinasikan dalam suatu kelompok tersendiri  di Paroki Katedral Bogor dan banyak legioner yang sudah tidak berperan serta lagi sebagai pembina.

Peningkatan Dewan Kuria Bogor menjadi Komisium Bogor

Sekitar tahun 1994 Sdr. Herkulanus Dos Santos (Ketua Kuria Bogor masa itu) mengusulkan pendirian Kuria Regina Rosari di wilayah Dekenat Selatan.  Pada masa itu, ada dua presidium di Paroki Sukabumi (Pres. Ratu Para Rasul dan Pres. Ratu Para Saksi Iman), dua presidium di Paroki Cianjur dan satu presidium di Paroki Cipanas.  Perwira-perwira presidium-presidium ini jarang datang ke Bogor untuk rapat kuria karena jaraknya jauh dan area jalannya rawan kemacetan, khususnya pada hari Minggu.  Karena itu, kelima presidium ini disarankan untuk membentuk dewan kuria.  Realisasi dari harapan ini terjadi pada tahun 1995.  Dengan berdirinya Kuria Regina Rosari, maka Kuria Bogor dinaikkan tingkatnya menjadi Dewan Komisium oleh Senatus Bejana Rohani Jakarta pada tanggal 11 Februari 1996.

Sayangnya sekitar tahun 2001, Kuria Regina Rosari mulai menghilang,  karena ada tiga presidium yang mati (Pres. Ratu Para Saksi Iman  Sukabumi, satu presidium di Cianjur dan satu presidium di Cipanas). Akibatnya wilayah kerja Kuria Regina Rosari hanya tinggal dua presidium yang masih aktif, yakni Ratu Pencinta Damai, Cianjur dan Ratu Para Rasul, Sukabumi. Kedua presidium ini pun kembali tergabung langsung di bawah Komisium Bogor.

Mengingat dewan komisium legio harus memiliki minimal satu kuria, maka Komisium Bogor mulai mengadakan pendekatan-pendekatan untuk membentuk kuria baru di Dekenat Utara (Depok, Kelapa Dua dan Cinere). Wilayah ini menjadi pilihan, karena sejak tahun 2002, perkembangan Legio Maria di sana lebih pesat dibanding dekenat lainnya. Satu persatu presidium Depok yang didominasi oleh kaum muda mulai bermunculan.  Selain itu ada tiga presidium dari Paroki Cinere yang berpindah dari Kuria Santo Stefanus Cilandak Jakarta ke Komisium Bintang Timur Bogor.  Perpindahan terjadi karena adanya keputusan baru dari Konferensi Waligereja Indonesia, bahwa Paroki Cinere dimasukkan dalam wilayah kerja Keuskupan Bogor. Akhirnya pada tanggal 22 Mei 2010, berdirilah Kuria Ratu Para Rasul, Depok yang membawahi tujuh presidium senior.

Legio Maria Bogor era abad 21

Dengan berjalannya waktu, legioner Katedral Bogor satu persatu mulai menghilang.  Ada yang masuk ke biara, ada yang kuliah di luar kota, ada yang menikah, ada yang pulang kampung setelah menyelesaikan studinya di Bogor, atau bekerja di kota lain.  Akibatnya presidium-presidium di Katedral Bogor ikut menghilang. Diawali oleh Pres Bunga Mawar Yang Gaib, yang  mulai sering vaccum rapat, dan akhirnya menghilang.  Hal ini disusul oleh Pres. Bunda Gereja (alihan dari Pres. Sumber Segala Rahmat) yang anggotanya menyusut, dan presidium-presidium junior yang tak lagi muncul saat ada pertemuan.  Akhirnya pada saat Pres. Perawan Tersuci menyatakan akan membubarkan diri, para legioner membuat kesepakatan untuk melakukan merger presidium.  Sisa anggota Pres. Bunga Mawar Yang Gaib, diajak bergabung dengan Pres. Putri Kerahiman, sementara Pres. Ratu Yang Sungguh Merakyat bergabung dengan Pres. Perawan Tersuci untuk mempertahankan keberadaan presidium pertama di Paroki Katedral Bogor.  Maka saat memasuki abad ke 21, Legio Maria Katedral Bogor hanya memiliki dua presidium senior (Puteri Kerahiman dan Perawan Tersuci) dan satu presidium junior (Tahta Kebijaksanaan) dan Presidium Seminari Stella Maris, dimana kedua presidium junior ini kondisinya kadang hidup, kadang mati.

Ternyata kemunduran Legio Maria ini tidak hanya terjadi di Bogor, tetapi juga di Jakarta dan di kota-kota yang lain.  Kondisi Legio Maria Indonesia yang memprihatinkan ini telah mendorong Konsilium Dublin untuk mengirimkan dua orang utusan datang ke Indonesia. Pada tanggal 4 Agustus 2005, Miss Catherine Donohoe (tim korespondensi Konsilium Dublin) dan Mr. Seamus Rickard datang ke Indonesia. Selama dua minggu mereka berkeliling ke Jakarta, Bogor, Bandung, Medan, Surabaya, Malang, dan Maumere untuk bertemu dengan Kardinal dan Uskup-Uskup setempat, serta bertatap muka dengan para legioner.

Ms Catherine Donohoe dan Mr. Seamus Rickard tiba di Bogor pada tanggal 6 Agustus 2005, pukul 10.00.  Mereka diantar oleh perwira-perwira Senatus Jakarta (Sdr. Prasetya – ketua senatus, Sdr. Yanto-wakil ketua senatus, Sdri. Ellen, Sdri. Isabella Mardiyanti – sekretaris senatus, Sdri. Lidya dan Sdri. Marcella).  Pertama-tama mereka bertemu dengan Bapa Uskup Mgr. Michael Cosmas Angkur Djadu, OFM untuk memohon dukungan penyelenggaraan Legio Maria di Keuskupan Bogor.  Setelah beramah-tamah, Bapa Uskup mengajak tamu-tamunya untuk berkeliling area Katedral Bogor.  Sore harinya Ms. Catherine dan Mr. Seamus Rickard bertatap muka dengan 100 legioner Keuskupan Bogor. Mereka menjelaskan tujuan kedatangan mereka ke Indonesia antara lain :  pertama untuk menyemangati dewan dibawahnya. Kedua untuk mengingatkan dan menjaga agar sistem legio diterapkan sesuai dengan buku pegangan.  Ketiga untuk mencari informasi mengenai perkembangan Legio Maria di Indonesia.  Keempat untuk memecahkan berbagai masalah yang dihadapi oleh legioner setempat.  Setelah puas bertanya jawab secara langsung dengan legioner Bogor, Ms Catherine, Mr. Rickard dan para perwira Senatus pun kembali ke Jakarta.

Saat ini, Komisium  Bintang Timur Bogor membawahi satu Kuria (Kuria Ratu Para Rasul, Depok) dan sembilan belas presidium yang tergabung langsung, dengan komposisi satu presidium seminari, lima belas presidium senior, serta tiga presidium junior di Seminari Stella Maris, Paroki Katedral, Sukasari, Sukaraja, Parung, Sentul, Semplak, Kota Wisata, Cianjur, Rangkasbitung, dan Sukabumi.

Adapun Kuria Ratu Para Rasul Depok saat ini membawahi sepuluh presidium senior dan satu presidium junior di Paroki Depok Lama, Depok Jaya, Depok Timur, Kelapa Dua, dan Cinere.

Masih ada ada tujuh  paroki di Keuskupan Bogor yang belum  memiliki Legio Maria.  Menjadi suatu tantangan bagi Komisium Bogor untuk menghidupkan kembali presidium-presidium yang pernah ada dan membentuk presidium-presidium baru di paroki-paroki yang belum memiliki Legio Maria.


Sumber : Buku Kenangan Perayaan 50 Tahun Legio Maria di Keuskupan Bogor, November 2013 (Tulisan Sdri. Inawati)