Sebagai seorang Katolik, merenungkan sosok Bunda Maria rasanya tidak ada habisnya untuk menemukan kedalaman hidup dari sang Bunda. Namun, sekali lagi merenungkan saja tidaklah cukup, kalau teladan hidup Bunda Maria yang begitu mendalam belum “mendarat“ pada keseharian hidup kita. Momen perayaan Natal adalah kesempatan yang tepat bagi kita untuk bersukacita bersama seluruh umat kristiani, sekaligus menyelami peziarahan awal Bunda Maria sebagai ibunda dari bayi mungil Yesus. Di balik awal peziarahan itu, mari kita melihat satu per satu rangkaian peristiwa yang dihadapi Bunda Maria. Satu keutamaan Bunda Maria dalam peziarahan itu adalah intimitasnya bersama dengan Allah. Intimitasnya bersama dengan Allah terjaga manakala ia berada dalam posisi hidup yang sangat sulit, penuh kecemasan, dan misteri. Rangkaian peristiwa dari penginjil Lukas yang menimbulkan kecemasan bagi Maria bisa kita lihat sebagai berikut: MENGANDUNG TAPI BELUM BERSUAMI (bdk. Luk 1:30-35), MENDAFTARKAN DIRI SAAT MENGANDUNG (bdk. Luk 2:1-5), TIDAK ADA TEMPAT DI RUMAH PENGINAPAN (bdk. Luk 2:6-7). Setidaknya tiga peristiwa di atas, kalau kita kontemplasikan menggambarkan situasi batin Maria yang takut, cemas, bingung, dan mungkin hampir tidak tahu harus berbuat apa.
Awal perjalanan Bunda Maria mulai dari mengandung hingga menjelang kelahiran Putranya, Yesus, sekali lagi tidaklah mudah. Lantas, jalan yang ditempuh Maria selama hidupnya bertahun-tahun adalah tetap “tinggal“ dalam intimitas bersama misteri Putranya. Bahkan, nanti ketika mau dibunuh oleh Herodes, Yusuf melarikan Maria dan Yesus ke Mesir. (bdk. Mat 2:13-15). Inilah kisah hidup Maria yang sekaligus menjadi peziarahan imannya. Situasi yang penuh kecemasan untuk mengemban tugas yang berat dari Allah, ia hadapi justru bukan dengan lari dari kenyataan, melainkan tetap berpegang penuh pada kekuatan Allah yang pasti. “Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu.” (Luk 1:38) Kata-kata itu tidak hanya terucap sambil lalu ketika ia menerima kabar dari Malaikat Gabriel, malahan nyatanya sungguh ia hidupi.
Tidak hanya itu, kita pun meyakini bahwa pada diri Maria ada keutamaan paling kuat, yakni kerendahan hati. Kerendahan hati tentu tidak sama dengan hanya pasrah (yang tanpa berusaha atau berbuat apa-apa). Kerendahan hati nampak dari Bunda Maria dengan seolah ia menjadi seperti tanah subur yang berani “diinjak-injak“ oleh kenyataan. Tetapi karena tanah ini subur, tanah ini dapat memberikan kehidupan segar bagi siapa pun yang ia jumpai. “Model“ teladan Maria inilah yang oleh Paus Fransiskus dikatakan sebagai model evangelisasi Gereja. Manakala, kita memandang Maria, kita berani datang untuk percaya sekali lagi bahwa pada pribadi Maria telah terjadi perubahan dari kecemasan menuju cinta akan Allah (lih. Evangelii Gaudium no. 288) Kiranya perspektif-perspektif terhadap Maria inilah yang cocok untuk menggambarkan situasi batin kita yang cemas, panik, galau, ketika harus menutup tahun 2014 ini. Dan, tentu masih menjadi perjuangan bagi kita sebagai anak-anak Allah untuk sepenuh hati meletakkan masa depan, terlebih dalam menyongsong tahun 2015, bersama-sama dengan Allah pula. Seraya kita juga menyadari bahwa selama ini acapkali dalam situasi cemas dan serba tidak pasti, kita terlalu banyak menuntut dari pihak Allah. Semoga teladan iman Bunda Maria mampu menolong dan mendorong kita untuk mengatasi kecemasan yang masih merongrong di setiap relung-relung hati dan pikiran kita. AVE MARIA.
Oleh: Fr. Joseph Biondi Mattovano