NATAL 2017: DAMAI SEJAHTERA BAGI SELURUH ALAM CIPTAAN

RP. Markus Yumartana, SJ

Direktur Tahun Rohani Seminari Tinggi Keuskupan Agung Jakarta


Peristiwa natal adalah peristiwa yang penuh misteri. Bagaimana Allah yang agung berkenan menjadi manusia lemah, dalam Yesus yang lahir ditengah keluarga Maria dan Yusuf? Yang kita rayakan dalam natal adalah misteri inkarnasi, Allah yang menjadi manusia ini.

Namun, menyadari bahwa Allah berkenan menjadi manusia seperti kita, tidak cukup hanya untuk sekedar dipahami begitu saja. Perayaan semestinya menuntun kita pada kesadaran konsekuensi dari pengakuan iman itu. Allah berkenan menjadi manusia berarti Allah sangat peduli untuk mengangkat martabat manusia dalam keluhuran keilahiannya. Bila Allah mengangkat manusia dalam tingkat luhur, maka pada gilirannya manusia yang merayakan meluhurkan Allah dalam kemanusiaannya.

Kita perlu belajar dinamika Roh dalam peristiwa inkarnasi itu. Allah yang meninggalkan keallahannya untuk menjadi manusia yang lemah dan hina, hinggal sampai pada kematiannya di Salib. Yesus, Sang Putera Allah, berkenan mengosongkan dirinya untuk menyelesaikan misi penebusannya sampai tuntas, hingga menyerahkan nyawaNya. Roh itulah yang diberikan kepada dunia, untuk penebusan dosa-dosa kita. Dan akhirnya, RohNya itulah yang membuka mata manusia untuk percaya dan menerima serta mengimani Dia sebagai Allah yang menjadi manusia untuk menebus dosa-dosa kita.

Maria memuliakan Allah

Orang yang pertama kali memberi tanggapan atas misteri inkarnasi itu adalah Maria. Ia tidak hanya dipanggil menjadi Bunda Putera Allah, tetapi ia juga dipanggil menjadi Bunda seluruh umat manusia, yang menanggapi misteri inkarnasi itu. Maria menanggapi dengan magnificat-nya. Yang intinya adalah komitmen untuk memuliakan Allah dalam hidupnya. Bagaimana Maria memuliakan Allah dalam hidupnya? Tidak hanya dalam pengakuan akan karya Allah, tetapi dalam kesetiaannya mengikuti dinamika hidup bersama Putera Allah. Menjadi Bunda Putera Allah tidak membuat Maria terpisah dari martabat kemanusiaannya. Justru semakin dekat dengan Puteranya, ia semakin masuk lebih dalam menghayati kemanusiaannya lewat jalan salib Puteranya. Maria ikut memikul secara nyata kemanusiaan kita. Itulah jalan “gloria Dei, vivens homo” (memuliakan Allah dengan hidup sebagai manusia).

Para Rasul menjadi saksi

Dalam Kisah Para Rasul kita melihat bahwa setelah mendapatkan anugerah Roh Kudus, para rasul dianugerahi karunia mengerti misteri Allah dalam peristiwan Yesus Kristus. Para Rasul menjadi terbuka mata batinnya. Mereka pun memberikan kesaksian dengan perkataan dan pengajarannya, tetapi juga dalam dinamika hidupnya yang penuh tantangan. Hidup memuliakan Allah dalam kemanusiaan selalu ditandai dengan “pertentangan”. Maka Salib bukan hanya mengingatkkan pada peristiwa penderitaan dan kematian Yesus Kristus, tetapi juga membawa pengalaman kemanusiaan kita yang terus menerus robek dan rusak. Jalan Salib para rasul itu hidup terus menerus dalam ketegangan dan pertentangan sebagai pengikut Kristus. Roh Kudus menuntun mereka melewati jalan salib itu.

Kita pun dipanggil

Kita merayakan natal, perayaan akan misteri inkarnasi Allah yang menjadi manusia dalam diri Yesus dari Nasaret. Namun kita pun dipanggil untuk memuliakan Allah dalam hidup kita. Bagaimana? Pertama-tama adalah pengakuan bahwa Allah terlibat dalam kehidupan kita sekarang ini. Bila kita mengakui hal ini, kita menemukan panggilan untuk meluhurkan Dia yang sudah terlibat dalam keemanusiaan kita. Kita memuliakan Allah dalam kemanusiaan kita. Kita terlibat dalam keilahian Allah dengan membangun komitmen hidup seturut cita-cita Allah bagi kita, yakni nilai kasih sayang dan perdamaian, persaudaraan dalam keadilan. Hidup dalam persaudaraan dan kasih sayang itu nyata dalam hidup penuh hormat di tengah kebhinekaan kita.

Kemanusiaan bukan robotik

Kemanusiaan jaman kita sekarang ada di persimpangan. Perkembangan teknologi cenderung menempatkan manusia dalam persaingan dengan kehadiran mesin-mesin dengan artificial intelligence (robot). Pergaulan manusia cenderung dibentuk oleh pola hidup robotik, yang cenderung meninggalkan imajinasi dan nurani. Kemanusiaan robotik adalah kemanusiaan yang kehilangan roh. Sebab, segala kebaikan dalam mentalitas robotik itu harus diklik dahulu baru jalan. Dalam cara bertindak robotik, tidak ada peluang untuk imajinasi dan daya kreatif iman.

We walk by faith, and not by sight! (cf. 2 Kor 5:7).

Kita hidup dengan iman bukan dengan logika robotik! Masihkah kita mampu memuliakan Allah dalam kemanusiaan yang paradoksal? Ditengah robotisasi, kita dipanggil untuk humanisasi. Di tengah cara berpikir aku – kamu menjadi aku- barangku, kita dipanggil untuk mengangkat hormat kemanusiaan dengan mengangkat sesama dalam semangat persaudaraan dalam kebhinekaan. Mungkinlah membangun persaudaraan dalam kebhinekaan?

Misteri inkarnasi adalah misteri Allah yang berkenan keluar dari diriNya dan menjadi setara dan seperasaan dengan kita. Oleh karena kita pun semestinya menanggapinya dengan keluar dari keakuan kita untuk masuk dalam ke-saudara-an bagi seluruh alam ciptaan. Bila kita bisa bersaudara, maka itulah damai sejahtera bagi seluruh alam ciptaan.

Selamat Natal 2017!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *