Dibawakan oleh RP H. Tedjoworo, O.S.C pada Planning Day Kuria Bunda Penasihat yang Baik, Bandung Barat 1.
Cimahi, 21 Januari 2018
Situasi pelayanan dalam Gereja mengalami banyak tantangan dari luar masyarakat, namun juga godaan yang mungkin berasal dari dalam diri para pelayannya sendiri. Para legioner adalah pelayan umat. Pelayanan kita sebagai legioner bersifat unik, sebab “harus dapat bertahan terus, menolak untuk menyerah” (Buku Pegangan / BP, Bab 4 No. 5). Sifat tidak mudah menyerah sebetulnya mencerminkan spirit yang menjaga kesetiaan kita dalam keanggotaan Legio. Dan ketika spirit kita terganggu, pelayanan pun terganggu atau bahkan menyeleweng dari arah yang seharusnya ditempuh.
Tantangan yang kita alami dari luar dihadapi bersama dengan seluruh Gereja, tetapi godaan dari dalam perlu direfleksikan dengan rendah hati oleh para legioner. Di tengah iklim ‘persaingan’ kelompok-kelompok pelayanan dewasa ini, legioner tidak perlu ikut-ikutan berlomba membuat program kerja yang serba hebat. Mungkin ini waktu yang baik bagi kita untuk melihat ke dalam, pada spiritualitas pelayanan kita. Dari penghayatan iman yang tulus, pasti muncul tindakan-tindakan kerasulan yang mengesankan. Pada saat yang sama, dengan rendah hati kita bisa mengoreksi mentalitas kita masing-masing, sebelum merencanakan pelayanan kita di tahun mendatang ini.
Bahan permenungan berikut bisa ditemukan kembali dalam Buku Pegangan, khususnya dimulai dari Bab 3, “Semangat Legio Maria adalah semangat Maria sendiri. Legio terutama berusaha meniru kerendahan hatinya yang luar biasa…” Sebelum berbagai keutamaan lainnya, kerendah-hatian disebutkan pertama kali sebagai spiritualitas kita (Bacalah terutama BP, 6.2, seluruhnya tentang kerendah-hatian). Perubahan hanya bersifat otentik kalau kita berani mengoreksi diri, dan mengoreksi diri hanya terjadi kalau kita memiliki kerendah-hatian.
1. Kerohanian: Apakah pembicaraan kita dengan orang lain cenderung mengenai hal-hal rohani? Situasi kerasulan dalam Gereja akhir-akhir ini sangat dipengaruhi sekularisme. Percakapan yang spontan muncul adalah tentang hal-hal profan, yang duniawi. Orang lebih antusias membicarakan tentang hobby, pekerjaan, keuntungan, prestasi, dan hiburan ketimbang hidup doa, saat teduh, Sabda Tuhan, serta pengalaman rohani.

Kalau legioner terbawa oleh arus profan (duniawi) dalam percakapannya dengan orang lain, berarti spirit atau semangat di dalam dirinya pun sudah menjadi kurang rohani. Bibit ‘kemunafikan’ (ketidakcocokan antara ibadat dan kelakuan) juga bermula dari godaan untuk lebih sering berbicara tentang hal-hal duniawi. Kita bisa mulai dengan saat-saat perjumpaan dengan sesama legioner: hal pertama apa yang kita ceritakan satu sama lain? Masih adakah dorongan untuk mengisahkan pengalaman rohani kita satu sama lain? Pengalaman ini adalah cara Tuhan menginterupsi keseharian kita, agar kita jangan tenggelam dalam sekularisme. Roh Kudus berjalan bersama kita karena Kristus menghadirkan-Nya (Yoh 14:16, Yun. ‘parakletos’= yang dipanggil untuk berjalan di samping). Buku Pegangan (5.5) menegaskan apa yang mestinya menjadi kebiasaan kita: “organisasi yang bertekun dengan sehati dalam doa bersama-sama Maria (Kis 1:14) yang telah menerima semuanya dari Allah”. Oleh karenanya, cara pertama kembali pada semangat kita sebagai legioner ialah: berbicara mengenai hal-hal rohani lebih dari biasanya. Tidak boleh ada rasa malu untuk membagikan pengalaman rohani, yakni sesuatu yang menyentuh hati dan iman kita, dari kejadian atau perjumpaan yang sangat sederhana sekalipun. Masyarakat yang terlalu ‘sekuler’ bahan percakapannya mesti dipengaruhi oleh cerita-cerita para legioner yang selalu mengingatkan bahwa Tuhan hadir di sekitar kita, bahwa penyelenggaraan Ilahi selalu terjadi kendati kita tidak menyadarinya. Membiasakan diri bercakap-cakap tentang hal-hal rohani juga menjadi sebentuk “penyucian diri” yang merupakan sarana pokok untuk berkarya (bdk. BP, 11.1).
2. Sikap Melegakan: Apakah kunjungan kita melegakan orang lain? Kita mungkin pernah mendengar komentar bahwa kunjungan para legioner tidak selalu dikehendaki. Sebaiknya tidak usah kita lekas-lekas mengatakan bahwa mungkin orang punya prasangka. Lebih baik kita melihat diri sendiri, sebab siapa tahu kedatangan kita malah cenderung merepotkan atau mengganggu ketenangan batin orang lain.
Kunjungan rumah (keluarga) menjadi ciri khas Legio (BP, 37.2), maka harus diteliti dengan seksama apakah kunjungan kita sungguh-sungguh membawa kelegaan. Kehadiran Yesus senantiasa menawarkan kelegaan dan penghiburan (Mat 11:28). Oleh karenanya, legioner harus memiliki semangat untuk melegakan dan mempermudah orang lain. Sebagai bagian dari keberadaan kita sebagai pelayan, motivasi kita harus selalu kembali pada hasrat untuk membantu sesama, dan ini akan sangat konkret dihayati dalam setiap kunjungan kita. Mungkinkah legioner tidak disukai karena kedatangannya malah menambah beban atau rasa bersalah? Itu bisa terjadi kalau kita terlalu banyak menasihati dan menegur, daripada mendengarkan dan menawarkan alternatif atas masalah (rohani) yang dialami orang lain. Selama kita tetap berusaha bersikap rendah hati, kunjungan dan perjumpaan dengan orang lain pasti akan mengurangi beban hidup mereka.

Sebaliknya, kalau kita merasa lebih tahu tentang berbagai hal, juga yang rohani, kunjungan itu akan berakhir dengan tidak menyenangkan bagi orang yang kita kunjungi. Bagian BP yang dirujuk di atas mengatakan, “Setiap rumah harus dilihat dari sudut pandang pemberian pelayanan”. Jelas ada yang keliru dalam hal motivasi kalau kedatangan kita malah mempersulit, meresahkan, apalagi mengesalkan orang lain. Semangat mempermudah dari Bunda Maria ditemukan dalam peristiwa Perkawinan di Kana (Yoh 2).
3. Bahagia Menjadi Legioner: Apakah kita senang menjadi legioner? Pertanyaan ini tidak mudah dijawab, dengan jujur. Jawaban yang kita ucapkan secara spontan sering kali hanya supaya “kedengaran baik”. Kalau direnungkan dengan lebih tenang, pertanyaan ini sebenarnya sangat personal, seperti halnya ketika seseorang ditanya mengenai pilihan jalan hidupnya.
Tidak ada yang memaksa kita untuk menjadi legioner. Bahwa kita masih menjadi legioner, mestinya juga bukan karena ada teman dekat kita di sana atau karena merasa tidak enak terhadap siapapun. Kalau kita dengan senang hati menjadi legioner, kerasulan kita pun akan dialami oleh orang lain sebagai pengalaman yang menyenangkan. BP membayangkan bahwa kerasulan legioner dapat menjadi “sinar terang” yang memotivasi banyak orang hingga membawa mereka ke “jalan baru yang lebih menyenangkan, menuju keselamatan dan kesucian” (37.10). Ketika dulu memanggil murid-murid pertama-Nya, Yesus juga menawarkan suatu jalan hidup baru yang kemudian disambut para murid itu dengan antusias (Mrk 1:14-20). Perasaan bangga sebagai legioner itu penting untuk menghayati kesetiaan dalam setiap kerasulan dan pelayanan. Mari kita sadari bahwa orang lain akan mampu merasakan, apakah kita ini memang bahagia dengan panggilan hidup kita atau sekadar ‘bertahan’ saja di dalam pelayanan ini.
4. Kelemahlembutan: Apakah kita dikenal sebagai pribadi yang lemah lembut? Kelemahlembutan sangat erat dengan kesabaran. Ketika merasa tidak sabar, biasanya orang mulai memaksa atau bahkan bersikap kasar. Meskpun berkali-kali semangat ini diingatkan kembali, dalam praktiknya kita lekas lupa.
Legio memang menekankan disiplin dalam doa, rapat, kegiatan, dan pelayanannya, karena namanya memang merujuk pada sifat suatu kesatuan tentara atau pasukan Maria. Di bagian awal kita sudah diingatkan tentang karakter pelayanan kita yang seharusnya tidak mudah menyerah. Akan tetapi, tekanan berlebihan pada disiplin dan ketegasan bisa membuat seorang legioner menjadi kaku dan kurang lemah lembut. Bunda Maria akan menghendaki sifat lemah lembut yang penuh belas kasih untuk menunjukkan bahwa mutu kerja seorang legioner adalah berbeda (BP, 39.2). Kelemahlembutan, seharusnya, adalah yang membedakan kita sebagai legioner dibandingkan pelayanan-pelayanan lain. Kita tidak mau memaksa siapapun, dan tidak boleh membuat siapapun merasa bersalah. Itu didasari oleh kesabaran Yesus sendiri yang menggambarkan diri-Nya sebagai sosok yang lemah lembut dan rendah hati (Mat 11:29). Yesus pasti mengalami kelembutan bersikap itu dari bunda-Nya sendiri yang telah membesarkan-Nya. Bila dalam pelayanan kita tergoda untuk kurang sabar, hendaknya mengingat sabda Tuhan yang membiarkan lalang tumbuh bersama dengan gandum (Mat 13:28-29). Tuhan membimbing setiap orang dengan cara yang berbeda-beda.
5. Berkorban: Apakah kita membedakan antara sikap bertahan dan berkorban? Kesetiaan yang kita hayati sebagai legioner suatu saat bisa terpancing menjadi sekadar ‘bertahan’. Tidak setiap kesulitan dan penderitaan harus dihadapi dengan sikap demikian, melainkan mesti diberi makna sehingga menjadi pengorbanan yang pantas dijalani dengan senang hati.
BP menjelaskan dengan tegas bahwa “kasih, kesetiaan, dan disiplin tidak mempunyai arti bila dilaksanakan tanpa pengorbanan dan semangat” (39.3). Kesusahan yang kita alami dalam tugas-tugas mesti diberi makna, sehingga niscaya bagi diri kita sendiri kesetiaan untuk melakukannya akan menumbuhkan iman kita agar lebih dewasa. Legioner mesti punya rasa syukur karena diizinkan Tuhan mengalami berbagai kesulitan (bukan kemudahan!) dalam setiap pelayanannya, seperti juga para rasul pada waktu itu, yang bersukacita karena boleh menderita karena nama Yesus (Kis 5:41).

Sikap mau berkorban mirip dengan keyakinan seseorang untuk memilih jalan hidup tertentu, meskipun berbeda dengan kecenderungan banyak orang di sekitarnya. Menjadi legioner adalah sebentuk jalan hidup yang membuat kita masih mampu tersenyum, kendati menghadapi berbagai situasi yang tidak ideal maupun tekanan. Penderitaan akan menjadi salib yang membanggakan untuk dipikul sebagai legioner, kalau kita menemukan makna di dalamnya.
RP. Hadrianus Tedjoworo, O.S.C. adalah Pemimpin Rohani Kuria Bunda Penasihat yang Baik, Bandung Barat 1 – Komisium Bunda Rahmat Ilahi.