Menjadi Anak-Anak Maria

 

by : RP Markus Yumartana SJ.
Pemimpin Rohani Presidium-Presidium
di Katedral Jakarta


Seperti Maria yang tulus memberi persembahan diri,
begitulah semestinya menjadi anak-anak Maria yang sejati.

Seperti Maria yang taat sepenuh hati,
begitulah semestinya sikap hidup anak-anak Maria kini.

Seperti Maria yang memberikan rahimnya bagi Kristus, menyatukan hati dengan hati ilahi,
begitu jugalah semestinya anak-anak Maria yang terus menyambut Kristus dalam Ekaristi setiap hari.

Seperti Maria memiliki kelembutan yang manis untuk menabur persaudaraan sejati,
begitulah semestinya anak-anak Maria hidup dan hadir memberi citarasa kasih yang merajut hati, bukan malah membawa keretakan relasi insani.

Seperti Maria memiliki kerendahan hati yang selalu membawa sakit dan luka di hati sebagai persembahan diri,
begitulah semestinya anak-anak Maria rela menanggung kelemahan sesama dengan pengampunan setiap hari.

Seperti Maria memiliki kesabaran menanggung luka dan derita Putera-Nya,
demikian pula anak-anak Maria siap di garda depan bersama Gereja-Nya yang berjuang demi kerukunan dan perdamaian di tengah perpecahan dunia.

Seperti Maria yang memiliki keberanian iman di tengah ketidakpastian masa depan,
begitulah semestinya anak-anak Maria berani setia mengandalkan iman dalam doa-doanya bagi kebaikan sesama.

Sebab, Maria telah mengandalkan cinta Tuhan di atas segala-galanya,
maka anak-anak Maria pun semestinya tak jemu mengandalkan cinta Tuhan di atas kepentingan dirinya.

Maria Bunda Berhikmat : Teman Perjalanan Kita

Homili RP. Markus Yumartana, SJ pada misa bulanan Legio Maria Katedral Jakarta, 8 Maret 2019.


Legioner sebagai pencinta Bunda Maria pasti mencintai Yesus, karena Bunda Maria mengantar kita kepada Yesus. Bunda Maria, Bunda berhikmat, ia teman perjalanan hidup kita. Maria adalah yang paling setia mendampingi dalam setiap fase kehidupan Yesus sejak lahir sampai ke Golgota, hingga digambarkan Maria menggendong Putranya yang mati di salib. Inilah kesetiaan Maria dalam menyertai Putranya sampai tugasNya selesai. Dalam tradisi latihan rohani St. Ignatius, Maria adalah yang pertama mengalami penampakan Yesus yang bangkit. Maka dalam tradisi Spanyol yang dirayakan di Filipina ketika paskah, ada sebuah perayaan yang disebut sebagai Salubong* yang menggambarkan perjumpaan antara Maria dengan Yesus yang telah bangkit. (Salubong dalam Bahasa Tagalog berarti perjumpaan).

Maria dipanggil untuk menjadi bunda bagi Yesus, putraNya. Ibu yang baik pasti punya relasi batin dengan anaknya. Jika anaknya sakit, ibu yang baik juga akan merasa sakit. Maria memiliki kesetiaan sejak awal ia dipanggil menjadi Bunda Penebus. Sejak Yesus ada di rahim, Maria sudah seperasaan dengan Yesus. Kita sebagai anak-anak Tuhan; anak-anak Maria, juga disertai oleh Maria. Gereja sejak awal mula telah didampingi oleh Maria, seperti yang dikisahkan dalam kitab Kisah Para Rasul, dimana para rasul berdoa dan disana hadir Bunda Maria. Maria tidak digambarkan sebagai seorang yang banyak bicara namun ia hadir mendampingi. Itulah cara Maria menyertai kita, Gereja, ia tidak banyak bicara namun seperasaan dengan kita.

Maria melahirkan Yesus dalam situasi yang amat sederhana, di tengah kedinginan yang luar biasa. Maria tidak ingin Yesus ada dalam kedinginan maka Maria menemani Yesus. Ketika Yesus dipersembahkan di Bait Allah dan berjumpa dengan Hanna dan Simeon, sebetulnya Maria mempersembahkan juga hatinya. Kala Simeon menubuatkan bahwa hati Maria akan ditembus pedang, Maria sadar bahwa ketika ia mempersembahkan anaknya, Maria telah melepaskan anaknya bagi Tuhan. Mana ada seorang ibu yang mau melepaskan anaknya ketika anaknya masih kecil dan begitu dekat dengan dirinya. Coba bayangkanlah perasaan Maria ketika Yesus dipersembahkan.

Ketika Keluarga Kudus mengungsi ke Mesir, Maria bersama Yosef membawa Yesus untuk menyelamatkanNya dari ancaman Herodes.

Kejadian ini menggambarkan Maria yang seperasaan dengan Gereja dalam suka dan duka. Ketika Gereja mengalami penganiayaan dalam perang, doa rosario telah menyelamatkannya. Ketika Gereja dalam bahaya, Maria yang paling setia menjaga. Pengalaman iman dari berbagai macam penampakan Maria menunjukkan Maria yang tetap setia menemani suka duka Gereja hingga hari ini.

Ketika Yesus hilang di Yerusalem, Maria mencari Yesus sampai seharian. Ini tergambar dengan manis pada lagu Aina Maria dari Timor :

Aina Maria ain alekot
Aina Maria pah Timor e
Naleok ka naleok
Naleok ka naleok
Aina Maria hit ain alekot

Naleok ka naleok (Bahasa Dawan, Timor) memiliki makna yang begitu dalam : meskipun kamu adalah anak nakal, namun Maria tetap menjadi bunda yang baik. Meskipun anak-anaknya sering sesat dan jalan sendiri juga sering melupakan Tuhan, namun Maria akan tetap setia untuk kita. Gambaran kesetiaan Maria bisa kita refleksikan dalam kehidupan kita. Waktu kecil kita pasti pernah diceboki oleh ibu kita. Maria pun mau mengambil kotoran dari hidup kita. Senakal-nakalnya kita semua, Maria mau berkotor-kotor untuk membersihkan kita. Maria masih mau mencari jika kita lari dan kurang ajar.

Saya punya pengalaman dengan ibu saya ketika kecil dulu : saya pernah minta sesuatu namun tidak dikabulkan oleh orang tua, lalu saya berlari seharian dari pagi hingga sore memancing di sungai yang jauh dari rumah. Ketika sudah sore, saya kaget ketika menyadari ibu saya mencari dan memanggil-manggil nama saya dari kejauhan. Saya kaget dan tersentuh ternyata saya masih dicari dan dicintai oleh ibu saya.

Seorang ibu mau mencari karena mencintai anaknya. Jika ibu kita masing-masing mau membersihkan kotoran kita dan mau mencari kita ketika hilang, apalagi Bunda Maria. Bunda Maria adalah bunda yang penuh cinta, bunda yang penuh rahmat, bunda Yesus. Maria akan selalu mencari dan mendekati kita. Maria adalah teman perjalanan hidup kita. Maria sedemikian rupa mencintai Gereja dan Maria akan selalu lebih setia daripada kita sendiri. Oleh karena itu pada bagian akhir dokumen-dokumen Gereja selalu ada sebutan Maria. Kita sebagai legioner apakah sering menyebut Bunda Maria?

Maria disebut sebagai mempelai Roh Kudus, maka akan seperasaan dengan Gereja dan anak-anaknya. Seorang pengantin yang kehilangan mempelainya pasti akan merasa sedih. Inilah gambaran betapa Maria seperasaan dengan Yesus. Maria tak hanya sekadar Bunda bagi Yesus, tapi juga pendamping yang setia. Dalam jalan salib Yesus, ketika melihat Putranya memikul salib yang berat, Maria berhenti dan memandang Yesus. Ini menunjukkan Maria seperasaan dengan orang-orang yang memikul beban. Betapa bahagianya kita menjadi anak-anak Maria karena Maria mau seperasaan dengan setiap kita yang memikul beban. Tapi apakah kita sadar bahwa Maria ikut memikul beban dan persoalan-persoalan hidup kita?

Karena Maria seperasaan dengan Yesus yang meminggul salib, ia pun seperasaan dengan kita. Digambarkan dalam syair Stabat Mater Dolorosa** : jika kita merasa sakit, hati Maria pun ikut tertusuk; ketika kita menangis, Maria ikut menangis; kalau kita menumpahkan air mata, Maria ikut berair mata untuk kita. Stabat Mater menunjukkan Maria sebagai ibu yang berdiri seperasan dengan putranya yang berduka; ibu yang seperasaan dengan orang yang berbeban berat. Ketika Yesus dicemeti, dipukul, dan dipaku pada kayu salib, Maria ikut terluka. Tapi tidak ada sepatah katapun keluar dari mulut Maria. Maria seperasaan dengan kita tanpa kata namun ia hadir untuk kita. Maria ikut setia dalam perjalanan salib Yesus sedangkan murid yang lainnya lari bersembunyi. Hanya Yohanes yang dikatakan setia bersama Maria.

Di bawah salib Yesus mengatakan “Inilah anakmu” ketika Yohanes diserahkan kepada Maria. Lalu Yesus juga berkata, “Inilah ibumu” untuk menyerahkan Maria kepada Yohanes. Legioner bisa mengkontemplasikan hal ini dengan merenungkan kalimat “Inilah anakmu” untuk pribadi kita masing-masing. Yesus telah menyerahkan kita satu persatu pada perlindungan Bunda Maria. Maria pun diserahkan kepada kita untuk menjadi ibu kita. Siapa yang tidak merasa aman memiliki bunda seperti Maria? Ia jauh lebih setia daripada kita, ia adalah bunda yang memperhatikan kita.

Naleok ka naleok, Aina Maria hit ain alekot..

Meskipun kamu nakal, ibu Maria tetap baik padamu..

Kesetiaan Maria bagi kita juga sampai pada saat kita menghadapi ajal, inilah kebahagiaan kita sebagai putra-putra Maria. Maria setia bersama Yesus sampai kematianNya maka Maria akan setia pada anak-anaknya juga sampai akhir. Ini perlu terus-menerus kita kontemplasikan. Tidak ada alasan putus asa bagi kita untuk menyebut Maria dalam doa kita.

“Santa Maria Bunda Allah, doakanlah kami yang berdosa ini sekarang dan waktu kami mati.”

Sebagai legioner, pencinta dan anak-anak Maria, kita perlu untuk terus-menerus mengeruk semangat Maria ini. Kita tak perlu putus asa. Legioner mungkin tidak kelihatan, karyanya tersembunyi, tak perlu banyak bicara, tapi karya-karya baiknya adalah buah anak-anak Maria. Jika kita mengandalkan iman ini dalam menghadapi macam-macam tantangan dan kelemahan, buah kebaikan itu pasti ada karena Maria yang menemani kita.

Mari kita serahkan seluruh pengalaman hidup kita, suka duka hidup kita dalam tangan Maria. Maria yang sudah menemani Yesus sampai di salib akan menemani kita juga sampai akhir. Amin.

* Salubong berasal dari Bahasa Tagalog yang berarti perjumpaan. Ini adalah salah satu bentuk tradisi devosi umat Katolik Filipina yang menggambarkan perjumpaan antara Yesus yang bangkit dengan ibunya. Pagi-pagi pada hari raya Paskah, umat beriman secara terpisah mengarak patung Yesus bangkit dan patung Maria mengelilingi kota. Patung Yesus yang telah bangkit diarak oleh para pria dalam suasana kegembiraan, sedangkan patung Bunda Maria mengenakan kerudung hitam diarak oleh para wanita dalam suasana duka cita. Kedua rombongan itu lalu bertemu di suatu titik, biasanya di depan gereja, dimana seorang gadis kecil berpakaian malaikat membuka kerudung hitam dari patung Maria.

**Stabat Mater Dolorosa adalah sebuah himne dari abad ke-13 yang menggambarkan duka cita Maria ketika mendampingi Yesus dalam perjalanan salib-Nya. Stabat Mater dolorosa berarti Bunda berduka cita yang sedang berdiri (iuxta crucem lacrimosa dum pendebat Filius : sambil menangis di sisi salib tempat Putranya bergantung). Lihat disini.


RP. Markus Yumartana, SJ adalah pemimpin rohani Legio Maria di Paroki Katedral Jakarta.

Sikap Toleransi Menciptakan Harmoni

Oleh : RP. Alexander Palino, MSC (Vikaris Jenderal Keuskupan Tanjung Selor)

Catatan : Renungan ini diambil dari materi pertemuan Adven 2018 Keuskupan Tanjung Selor.


Bacaan Injil : Luk 16:1-8

Toleransi secara etimologis memang berasal dari kata “tolerare” yang berarti ‘menanggung’ atau ‘membiarkan’. Toleransi dapat mempunyai warna etis-sosial, religius, politis dan yuridis serta filosofis maupun teologis. Secara umum toleransi menunjuk pada sikap membiarkan perbedaan pendapat dan perbedaan melaksanakan pendapat untuk beberapa lapisan hidup dalam satu komunitas. Pada umumnya arah pemahaman toleransi mencakup pendirian mengenai membiarkan berlakunya keyakinan atau norma atau nilai sampai ke sistem nilai pada level religius, sosial, etika politis, filosofis, maupun tindakan-tindakan yang selaras dengan keyakinan tersebut di tengah mayoritas yang memiliki keyakinan lain dalam suatu masyarakat atau komunitas.

Ide dasarnya adalah bahwa tak ada manusia yang bisa memiliki kebenaran utuh maupun cara menemukan kebenaran secara sempurna. Sebab pencarian kebenaran diakui sebagai proses majemuk yang menyejarah, tidak sekali jadi. Selain itu toleransi diperlukan agar suara hati masing-masing orang dapat berfungsi secara wajar dan saling dihargai. Dalam masyarakat tertutup pun sesungguhnya toleransi diperlukan agar berlakunya norma umum (bukan keinginan seorang pemuka masyarakat) terjamin, seraya memungkinkan agar pendapat mayoritas berkembang demi keseimbangan masyarakat; di lain pihak diharapkan pula bahwa orang yang berbeda pendapat tidak ditindas dan didiskriminasikan.
Tiadanya toleransi menyebabkan ‘yang kuat’ menang habis-habisan, sementara yang kalah hancur tanpa bekas. Dengan cara itu masyarakat rugi, karena benih-benih pendapat yang baru tumbuh dan belum kuat dapat hancur sebelum memperoleh kesempatan untuk dilaksanakan dan diuji oleh praksis. Dalam masyarakat demokratis, toleransi mutlak diperlukan bagi perkembangan berpikir secara kreatif dan aktif serta justru untuk memperkembangkan segala potensi masyarakat.

Menciptakan kehidupan beragama yang baik bukanlah berdasarkan toleransi yang semu, yang mempunyai tendensi untuk mengatakan bahwa semua agama sama saja. Gereja Katolik tetap menghormati agama-agama yang lain, mengakui adanya unsur-unsur kebenaran di dalam agama-agama yang lain, namun tanpa perlu mengaburkan apa yang dipercayainya, yaitu sebagai Tubuh Mistik Kristus, di mana Kristus sendiri adalah Kepala-Nya. Oleh karena itu, Gereja Katolik tetap melakukan evangelisasi, baik dengan pengajaran maupun karya-karya kasih. Dengan kata lain, Gereja terus mewartakan Kristus dengan kata-kata dan juga dengan perbuatan kasih.

Konsili Vatikan II dalam Nostra Aetate mengatakan demikian :

“Gereja Katolik tidak menolak apapun yang benar dan suci di dalam agama-agama ini. Dengan sikap hormat yang tulus Gereja merenungkan cara-cara bertindak dan hidup, kaidah-kaidah serta ajaran-ajaran, yang memang dalam banyak hal berbeda dari apa yang diyakini dan diajarkannya sendiri, tetapi tidak jarang toh memantulkan sinar Kebenaran, yang menerangi semua orang. Namun Gereja tiada hentinya mewartakan dan wajib mewartakan Kristus, yakni “jalan, kebenaran dan hidup” (Yoh 14:6); Dalam Dia manusia menemukan kepenuhan hidup keagamaan, dalam Dia pula Allah mendamaikan segala sesuatu dengan diri-Nya. Maka Gereja mendorong para puteranya, supaya dengan bijaksana dan penuh kasih, melalui dialog dan kerja sama dengan para penganut agama-agama lain, sambil memberi kesaksian tentang iman serta perihidup kristiani, mengakui, memelihara dan mengembangkan harta-kekayaan rohani dan moral serta nilai-nilai sosio-budaya, yang terdapat pada mereka.”

Setelah membaca Injil Luk 16: 1-8, maka beranilah kita berkata bahwa adalah sesuatu yang tidak tahu diri kalau manusia tidak mau memberi toleransi kepada manusia lain; juga orang lain yang lebih kecil atau lebih lemah. Sebab Allah begitu rela berbesar hati terhadap manusia yang penuh kesalahan dan dosa. Dengan kata lain, manusia mau memberi toleransi kepada orang atau kelompok lain hanya masalah realisasi: bahwa manusia mengakui dirinya sudah diberi toleransi oleh Tuhan. Dengan latar belakang itu, toleransi bukanlah jasa manusia melainkan kewajiban manusia.

Dalam konteks itu dapatlah kita lebih memahami Konsili Vatikan II yang mendukung kebebasan beragama dan suara hati. Sebab “Dignitatis Humanae” menunjukkan kebesaran hati mentoleransi pendapat dan keyakinan lain bahwa tugas-tugas itu menyangkut serta mengikat suara hati, dan bahwa kebenaran itu sendiri, yang merasuki akal budi secara halus dan kuat. Adapun kebebasan beragama, yang termasuk hak manusia dalam menunaikan tugas berbakti kepada Allah, menyangkut kekebalan terhadap paksaan dalam masyarakat. Kebebasan itu sama sekali tidak mengurangi ajaran katolik tradisional tentang kewajiban moral manusia dan masyarakat terhadap agama yang benar dan satu-satunya Gereja Kristus. Selain itu dalam menguraikan kebebasan beragama Konsili suci bermaksud mengembangkan ajaran para paus akhir-akhir ini tentang hak-hak pribadi manusia yang tidak dapat di ganggu-gugat, pun juga tentang penataan aturan masyarakat.

Ajaran Sosial Gereja juga melarang kekerasan atas nama agama dengan menyatakan : Tindak kekerasan tidak pernah menjadi tanggapan yang benar. Dengan keyakinan akan imannya di dalam Kristus dan dengan kesadaran akan misinya, Gereja mewartakan :

“Bahwa tindak kekerasan adalah kejahatan, bahwa tindak kekerasan tidak dapat diterima sebagai suatu jalan keluar atas masalah, bahwa tindak kekerasan tidak layak bagi manusia. Tindak kekerasan adalah sebuah dusta, karena ia bertentangan dengan kebenaran iman kita, kebenaran tentang kemanusiaan kita. Tindak kekerasan justru merusakkan apa yang diklaim dibelanya: martabat, kehidupan, kebebasan manusia.”

Apa pun kenyataan yang ada, komunikasi perlu terus dijalin melalui berbagi forum komunikasi antar umat beragama. Bangsa Indonesia membutuhkan munculnya kepemimpinan yang baik, pemimpin yang memberikan teladan hidup dan sanggup mengayomi serta memberikan jalan keluar dari krisis yang dihadapi bangsa; pemimpin yang kuat yang dihormati dan disegani; pemimpin yang cerdas, jujur, amanah, dan dapat berkomunikasi dengan baik; pemimpin yang mampu mengatur dan mampu menyelesaikan berbagai konflik yang ada di tengah masyarakat; pemimpin yang mampu menjadi perekat antar komponen bangsa yang mungkin bertentangan satu dengan lainnya.

Jadi, kehidupan beragama yang baik, hanya dapat terlaksana jika terjadi suasana dan lingkungan yang memberikan kebebasan beragama dan setiap umat dapat melaksanakan agama masing-masing dengan bijaksana. Pada saat yang bersamaan, maka umat Katolik juga harus tetap berakar pada doktrin yang kuat, serta bijaksana dalam proses evangelisasi.

Evangelisasi yang paling efektif adalah dengan memberikan kesaksian akan Kristus dalam kehidupan sehari-hari, yaitu dalam perjuangan untuk hidup kudus.

 

 

 

 

Keluarga Kudus Sebagai Teladan Dalam Menjalin Persahabatan

Oleh RP. Yanno Leyn, MSF (Pastor Paroki Santo Yosef Pekerja – Juata)

Catatan : Renungan ini diambil dari materi pertemuan Adven 2018 Keuskupan Tanjung Selor.


Bacaan Injil : Luk 2:41-52

Ada sebuah lirik lagu yang selalu saya ingat dan kenang, berjudul “Keluarga Cemara”, yang diangkat dari sinetron besutan Arswendo Atmowiloto dan Adi Kurdi. Begini penggalan liriknya,

Harta yang paling berharga adalah keluarga,

Istana yang paling indah adalah keluarga.

Puisi yang paling bermakna adalah keluarga.

Mutiara tiada tara adalah keluarga….

Lewat penggalan lagu ini kita bisa membaca salah satu pesan, bahwa keluarga adalah segalanya. Keluarga adalah tempat kita saling berbagi rasa, saling memperhatikan, saling menyayangi, dan saling membantu satu dengan lainnya. Keluarga demikianlah yang sungguh memelihara dan mengembangkan nilai-nilai kasih.

Suatu komunitas atau keluarga kristiani perlu dibangun atas dasar kasih. Tanpa kasih, keluarga yang utuh dan bersekutu tidak mungkin berdiri kokoh dalam mengarungi samudera arus zaman.

Bertolak dari spiritualitas Keluarga Kudus Nazaret, kita membangun persahabatan dengan yang lain. Dalam lingkup keluarga, Yusuf, Maria, dan Yesus mengalami dan merasakan kepenuhan akan kebutuhan jasmani maupun rohani yang sangat mendalam.

Berdasarkan pada latar belakang masing-masing, mereka diutus untuk bersatu membentuk sebuah keluarga baru yang di dalamnya saling memberi dan menerima, mendidik dan dididik. Mereka saling belajar satu sama lain baik dalam menyelesaikan berbagai macam masalah kehidupan maupun dalam meningkatkan perkembangan rohaninya. Walau mereka memiliki keterikatan batin yang kuat namun ketiganya tetaplah pribadi-pribadi yang tidak melebur dalam pribadi yang lainnya. Masing-masing tetap memiliki kekhasannya, pribadi yang mandiri dan utuh serta yang memiliki perannya masing-masing.

Keluarga Kudus Nazareth merupakan model keluarga yang ideal bagi hidup pribadi atau kelompok masyarakat dalam menjalin persahabatan. Mengapa menjadi model yang tepat dan yang diharapkan? Kisah Injil yang ditampilkan dalam teks Lukas memperlihatkan gambaran tersebut.

Relasi keluarga Kudus Nasaret ini sangat harmonis, Mereka hidup dalam ketaatan kepada Allah. Misalnya tiap-tiap tahun mereka pergi ke Bait Allah di Yerusalem untuk merayakan Paskah. Kemudian ketika Yesus berusia dua belas tahun, mereka bertiga pergi bersama-sama ke Bait Allah. Kesetiaan Yusuf dan Maria sebagai orang tua tercermin juga ketika Yesus hilang dalam perjalanan pulang ke Nasaret setelah merayakan Paskah. Tiga hari penuh mereka mencari puteranya sampai menemukan kembali di kota suci tersebut. Ketika menemukanNya, mereka tidak mendakwa atau memarahi Yesus tetapi mencoba menerima dan merenungkannya di dalam hati walau tidak mengerti dengan alasan Yesus. Yesus hidup dalam asuhan orangtuaNya dan semakin dikasihi Allah dan manusia. (bdk. Luk. 2:42-51).

Atas dasar inilah hubungan cinta kasih timbal balik antara ayah, ibu, dan anak terjalin. Keluarga Kudus Nazareth saling hormat penuh cinta, bersatu dan berdoa bersama. Dalam keluarga Nazareth yang beriman itu, tampak gambaran manusia yang hidup dalam pelayanan, kerukunan dan kedamaian. Yesus, Maria, dan Yosef merupakan pribadi-pribadi yang sungguh murni dalam kesetiaan, iman, pengharapan, dan pelayanan. Mereka mampu menangkap dan menjawab panggilan Tuhan.

Bagaimana kita mengejawantahkan spiritualitas Keluarga Kudus Nazareth dalam kehidupan zaman ini? Fokus Pastoral Keuskupan Tanjung Selor tahun ini mengambil tema, “Gereja yang Ramah, Menyapa dan Memasyarakat”. Sejalan dengan tema ini, Paus Fransikus dalam homili malam Paskah 2015 yang lalu menyerukan agar keluarga-keluarga Katolik berani meninggalkan zona nyamannya masing-masing dan melihat keadaan sekeliling, terutama memperhatikan dan menolong orang-orang yang membutuhkan.

Hubungan atau relasi kita dengan yang sesama kerap kali ditandai dengan kehadiran. Dalam kehadiran ini kita menciptakan komunikasi dan relasi persaudaraan. Sebuah relasi-komunikasi yang menjadikan kita bagian dari yang lain.

Sikap rendah hati penuh kasih hendaknya menjadi spiritualitas kita dalam menerima yang lain.

Maria Sebagai Model Hidup Bermasyarakat Dalam Menciptakan Perdamaian

Oleh : RP Andreas Rinanto Herdianto, MSF (Ketua Komisi Keluarga Keuskupan Tanjung Selor)

Catatan : Renungan ini diambil dari materi pertemuan Adven 2018 Keuskupan Tanjung Selor.


Bacaan Injil : Luk 1. 39-45

Sejak manusia melakukan dosa untuk pertama kalinya, hubungan manusia dengan Allah menjadi tidak harmonis. Allah mengusir manusia dari Taman Eden dan memaksa manusia untuk bekerja dan berusaha memperjuangkan hidupnya (lih. Kej. 3). Allah yang merasa dirinya dilukai itu tak bisa mendekati manusia lagi karena hati manusia yang tertutup dan sebaliknya manusia, karena telah melukai Allah tak mampu untuk mendekati Allah kembali. Untuk waktu yang sangat lama itu hubungan manusia dengan Allah menjadi renggang, tidak harmonis bahkan terputus. Keterputusan hubungan manusia dengan Allah itu tentu membuat hati Allah menjadi gelisah dan takut kalau manusia semakin menjauh dari Allah bahkan sampai tidak lagi mengenali Allah yang sesungguhnya sangat mencintai Allah.

Karena Allah sangat mengasihi dan mencintai manusia, maka Allah terus menerus berusaha untuk mendekati manusia dan memulihkan hubungan relasiNya dengan manusia yang telah lama tidak harmonis (putus hubungan). Setelah banyak nabi-nabi dipakai untuk membangun kembali relasiNya dengan manusia supaya harmonis kembali, Allah pun memilih dan menetapkan Maria sebagai bagian dari rencana besarNya untuk menyelamatkan manusia (memulihkan kembali hubungan Allah dan manusia).

Maria sejak semula sudah ditetapkan dan dipilih Allah mempersembahkan seluruh hidupnya untuk bisa memperdamaikan kembali hubungan manusia dengan Allah. Kesediaan Maria agar manusia itu kembali kepada Allah dimulai dengan sikapnya yang bersedia membuka diri untuk menjadi ibu bagi sang juru selamat. Berawal dari kerinduan Allah yang mau memperbaiki hubungan dengan manusia setelah lama terputus dan tertutup, Maria telah mewakili manusia yang menanggapi tawaran perdamaian dari Allah itu dengan kesediaannya bekerjasama kembali pada Allah.

Maria dalam melaksanakan tugasnya tidak hanya berhenti pada melahirkan bayi Yesus, membesarkan, dan menemani Puteranya sampai wafat di salib. Keinginan Maria untuk agar hubungan manusia dengan Allah terus menerus semakin baik dan terjalin harmonis diperlihatkan Maria dalam seluruh hidupnya sampai ia naik ke surga. Hal itu bisa ditemukan dari jejak-jejak penampakan Bunda Maria yang ketika menampakkan dirinya di beberapa tempat selalu membawa pesan pertobatan (perdamaian). Salah satunya adalah kisah penampakan bunda Maria kepada dha anak kecil Maximin Giroud dan Melani Calvat yang sedang menggembalakan domba-domba mereka di pegunungan La Salette (Perancis).

Dalam kisah penampakan itu, Maria mengajak seluruh manusia untuk tidak terus menerus melakukan perbuatan dosa. Semakin banyak manusia berbuat dosa maka semakin beratlah lengan Yesus di salib. Kegagalan panen kentang yang membusuk pada saat itu menjadi pertanda hidup manusia yang dipenuhi dosa dan jauh dari beriman kepada Allah. Karena seruan dan pesan pertobatannya itu, Maria La Salette disebut sebagai bunda Rekonsiliatrik (pertobatan). Sikap Maria sebagai bunda rekonsiliatrik yang selalu menghendaki manusia terus menerus bertobat, memperbaharui hidupnya dengan semakin sering membangun relasi dan komunikasi dengan Allah dalam doa, telah menjadikan Maria sebagai Bunda pembawa perdamaian.

Sampai saat ini Maria senantiasa menghendaki manusia untuk berdamai dengan Allah.

Gereja yang Bersahabat di Tengah Keanekaragaman Agama

Oleh RD. Kanisius Kopong Daten (Ketua Komisi Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Tanjung Selor)

Catatan : Renungan ini diambil dari materi pertemuan Adven 2018 Keuskupan Tanjung Selor.


Bacaan Injil : Matius : 22 : 1-10

Amanat Konsili Vatikan II membawa pembaruan paham Gereja : dari paham institusi keselamatan kepada paham Gereja sebagai sakramen keselamatan. Paham ini mengamanatkan kepada kita bahwa letak keselamatan tidak lagi pada lembaga atau institusi Gereja, melainkan pada kesatuan umat manusia dengan Allah (Lumen Gentium/ LG 1). Untuk itu Gereja memiliki paham baru yakni sebagai Umat Allah. Maka Gereja sebagai umat Allah hadir di tengah dunia sebagai tanda sekaligus sarana yang mewujudkan kesatuan mesra manusia dengan Allah dan persatuan seluruh umat manusia dengan manusia (LG 9). Pesan ini menginspirasi seluruh gerak karya pastoral untuk menjalin relasi persaudaraan kristiani dengan sesama seiman dan terpanggil untuk membangun persaudaraan sejati dengan sesama yang bukan seiman agar terjalin relasi persahabatan.

Tahun 2018 ini Keuskupan Tanjung Selor secara istimewa memfokus gerak pastoralnya dan menjadikan tahun 2018 sebagai Tahun Persahabatan.

Membangun persahabatan dengan sesama di tengah keanekaragaman agama khususnya di bumi Indonesia saat ini merupakan hal yang penting dan urgen untuk dilaksanakan. Mengingat potensi keretakan hidup berbangsa menjadi ancaman besar dalam kehidupan bersama sebagai satu bangsa. Masih terasa adanya masalah-masalah seperti relasi yang buruk antar umat beragama, diskriminasi dan sasaran terorisme terhadap kelompok minoritas, klaim asli dan pendatang, pribumi dan non pribumi, rasa curiga terhadap kelompok lain, minimnya komunikasi antar umat beragama, agama disalahgunakan untuk kepentingan politik dan bisnis, dan penghayatan agama yang bersifat formalistis dan legalistis sehingga dalam hidup keseharian kurang dihayati sebagai nilai dan sikap hidup pribadi dan kelompok.

Hal ini merupakan tantangan terbesar utuk menjalin relasi persahabatan yang sejati ditengah keaneragaman agama. Namun dengan hati terbuka untuk berdialog dan kerelaan mau bekerjasama yang tulus, sebetulnya kita telah meneladani sikap dan perilaku Yesus Kristus sendiri. Ia mengundang dan memanggil semua orang pada perjamuanNya yang telah Ia sediakan. Ia ingin agar semua yang percaya kepada Allah BapaNya duduk makan bersama dengan penuh sukacita dan damai. Ia menyuruh hamba-hambaNya pergi ke persimpangan-persimpangan jalan, menjumpai semua orang yang sudah pasti memiliki latar belakang agama dan kepercayaan beraneka ragam, terlebih mereka yang masih bersikap acuh tak acuh, bahkan tertutup hati bagi Allah dan intoleran dengan sesama untuk datang duduk makan bersama dalam semangat persahabatan dan cinta.

Sikap dialog terbuka yang telah ditunjukkan Tuhan Yesus ini, menginspirasi karya pastoral dan perutusan semua umat Katolik Keuskupan Tanjung Selor untuk mau menghadirkan sikap hidup Gereja yang ramah, menyapa dan bersaudara. Inilah langkah kecil pastoral yang terfokus di tahun 2018 ini. Langkah ini mengarah ke penghujung tahun. Jika langkah pastoral ini haruslah dilaksanakan dengan kerendahan hati maka kitapun telah turut mengubah dunia di tahun persahabatan ini.

Kita kerap kali orang mengeluh dan beralasan bahwa waktu kita sedikit. Bahkan alasan tersebut dijadikan jurus ampuh untuk menolak suatu tawaran atau kesempatan. Dengan kesadaran akan waktu yang terbatas, semestinya seseorang akan berusaha memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya. Banyak orang sebagaimana dalam Injil tadi menolak tawaran Tuhan Yesus dengan mengajukkan berbagai bentuk alasan untuk manjauh dari undangan Tuhan untuk bersahabat dengan-Nya. Justru semakin menjauh dengan Tuhan dan mengajukan keberatan itu malah jatuh dalam dosa dan kejahatan dan menimbulkan murka Allah yang dahsyat.

Maka gunakanlah waktu yang terbatas ini untuk menjalin persahabatan dengan Tuhan dalam doa di masa Advent ini. Gunakanlah waktu yang terbatas untuk bersilaturahmi. Jumpai dan sapalah semua orang sebagai sahabat. Berilah waktumu untuk mendengarkan, untuk mengunjungi sesamamu, terlebih bagi mereka yang letih lesu dan berbeban berat.

Karena Saya, Anda, dan Kita adalah sahabat.

Saya Punya Waktu

Alokusio oleh Br. Albertus Sigit Permana, MSF pada Rapat Kuria Bejana Kerahiman – Tanjung Selor (Sabtu, 17 November 2018)


Bacaan rohani : Buku Pegangan Halaman 201 point (d)

Saudara-saudari para legioner Maria yang terkasih.

Renungan sore hari ini adalah soal waktu atau time. Banyak orang memakai alasan waktu untuk pembenaran diri : Tidak ada waktu lah, sibuk lah. Memang banyak orang yang sibuk, tetapi kesibukan mereka tidak diisi dengan kegiatan-kegiatan rohani. Sepertinya kegiatan rohani seperti Legio, doa, ekaristi, tidak dipandang, bahkan mungkin dianggap membuang-buang waktu saja.

Para legioner yang terkasih,

Banyak orang punya prioritas, tetapi seringkali Tuhan, dengan segala kebenaranNya dan kekuasaanNya, tidak dijadikan prioritas. Sering kali kita egois, prioritas hanya untuk memenuhi kebutuhan dan kesenangan sendiri. Orang lain juga kurang mendapat perhatian.

Para Laskar Maria yang terkasih,

Seringkali kita mengatakan “sibuk”, tetapi selama sehari hanya omong saja, dan waktu habis berlalu. Ada orang yang berkata “Selama sehari ini aku berteman dengan setan.” Paulus pernah mengajak, “Making the best use of the time, because the days are evil.”Artinya pergunakanlah waktu yang ada, karena hari-hari ini adalah jahat. (Ef 5:16). Kita diajak untuk menggunakan waktu sebaik-baiknya. Maka penyair Romawi – Lucanus (39-65 M) berkata : “Duce tempus eget“, waktu juga membutuhkan pembimbing.

Kita, saya dan Anda adalah pengelola dan pemilik waktu. Waktu yang kita miliki sama, sayangnya ada yang merasa  kurang waktu. Ada yang merasa kelebihan waktu, sehingga seolah-seolah membuang-buang waktu. “Omnis hebet sua dona dies“, setiap hari memiliki anugerahnya sendiri-sendiri. Atau bahkan ada ungkapan “Tempus edax rerum“, artinya waktu itu memakan segalanya.

Waktu adalah uang, time is money, atau “Empta dolore docet experential” : waktu adalah pengalaman. Pengalaman yang dibayar dengan kesungguhan mengajari seseorang untuk lebih bijak. Kita sebagai anggota Legio Maria seharusnya sudah banyak memiliki pengalaman yang indah dan unik, karena banyak waktu yang bernilai untuk kita persembahkan kepada Maria, baik lewat rapat, tugas-tugas, kegiatan-kegiatan, dsb. Mari jangan selalu memakai alasan waktu untuk mencari rasa aman, menghindar, dan sebagainya, tetapi kita gunakan waktu dengan bijak supaya lebih berdaya guna. Bapak pendiri Legio sendiri selalu menyediakan waktu untuk Tuhan dan sesama, apapun situasinya.

Tuhan memberkati dan Bunda Maria menyertai. Amin.


Br. Albertus Sigit Pramana, MSF adalah Asisten Pemimpin Rohani Kuria Bejana Kerahiman, Keuskupan Tanjung Selor.

Sumpit

Bacaan Rohani : Buku Pegangan Bab IX “Legioner dan Tubuh Mistik Kristus”, point 2 “Maria dan Tubuh Mistik” (hlm. 58-60)

ADAKAH SUMPIT MAKAN HANYA SATU BUAH?

Marilah kita memulai alokusio pada hari ini dengan pergi ke rumah makan mie. Lokasinya di Pecenongan atau dimana pun yang penting kita makan di rumah makan mie. Mie tentunya dapat dimakan dengan banyak macam cara. Ada orang yang makan mie dengan menggunakan sendok saja atau dipasangkan dengan garpu. Tapi ada juga yang makan mie dengan menggunakan sumpit. Sumpit itu selalu dan dimana pun pasti berjumlah dua tidak pernah hanya satu. Kalau kita hanya diberikan satu sumpit maka kita pasti akan mengeluh, karena bagaimana kita akan memakan mie jika hanya ada satu sumpit satu sumpit saja. Itu berarti jika kita ingin makan mie kita harus menggunakan dua buah sumpit. Gerakannya pun harus sejalan. Tidak mungkin satu ke depan dan satu ke belakang, bagaimana makanannya akan terjepit? Jika kedua-duanya digerakkan ke depan secara bersamaan maka mie dan mungkin bakso akan terjepit. Sehingga kalau ditanyakan adakah sumpit makan hanya satu buah? Jawabannya pastilah tidak ada.

Legioner, Bacaan Rohani hari ini mengajak kita juga untuk mengingat kisah sumpit di atas tadi. Pertama, kalau kita semua di dalam presidium adalah pasangan sumpit-sumpit maka kita tidak dapat mengatakan bahwa kita tidak membutuhkan anggota yang lain. Tidak ada sumpit yang hanya satu buah, demikian juga di dalam presidium tidak ada satu orang yang sendirian. Kalau begitu jadilah pasangan sumpit bagi yang lain dalam presidium dan satukanlah gerak masing-masing agar dapat “menjepit” mie dan bakso sehingga kita semua merasa enak ketika memakan mie dan bakso. Dan ingat gerakannya harus maju ke depan bukan ke belakang. Apa artinya? Artinya : tataplah ke depan dan bergandengan tangan bersama menuju kepada Allah lewat Maria. Bukankah kita sepakat bahwa di dalam presidium tidak ada orang asing, yang ada hanyalah semangat devosional kepada Maria dalam semangat iman, harap dan kasih Kristiani?

Kedua, kalau kita adalah salah satu sumpit dan pasangan sumpit kita adalah Tubuh Mistik Kristus, maka berlaku prinsip yang sama seperti yang di atas. Yang hendak saya sampaikan adalah manakala kita mengesampingkan, melalaikan, dan menjauhkan tugas doa dan karya kerasulan kita bukankah kita patut bertanya dimanakah pasangan sumpit saya yang satu? Atau bukankah hidup doa dan karya pelayanan kita kepada Maria pincang karena kita berperan sebagai satu sumpit saja?

Sumpit selalu berarti ada dua, tidak hanya satu. Sama halnya dengan kita, mengatakan kita adalah presidium berarti kita semua bukan individu-individu tertentu saja. Mengatakan melayani Tubuh Mistik berate tidak meninggalkan tugas doa dan karya kerasulan kita bagi Tubuh Mistik.

Jakarta, 23 Desember 2005

Oleh Fr. Christian Luly, MSC (saat ini sudah menjadi Imam di Banggai – Sulawesi Tengah), asisten pemimpin rohani Presidium Cermin Kekudusan – Paroki Bunda Hati Kudus Kemakmuran.

Bunda Maria, Bunda yang Menderita.

​Oleh Octavian Andreas Elang Diawan


Para legioner, tanggal 29 Maret 2018 kita merayakan hari jadi Senatus Bejana Rohani ke-31. Tanggal itu bertepatan dengan perayaan agung Kamis Putih di mana kita dan seluruh umat Katolik di dunia bersekutu hati  memulai masa Tri Hari Suci mengenangkan pengurbanan Tuhan Yesus Kristus.

Membicarakan kehidupan Yesus sesungguhnya membicarakan kehidupan Bunda Maria. Pada tulisan ini saya mengajak Anda untuk merenungkan pengurbanan Yesus dengan penglihatan Bunda Maria.

Seperti kita ketahui, Bunda Maria merupakan satu-satunya pribadi yang paling mengerti kehidupan Yesus Kristus. Sebagai ibu yang melahirkan, merawat, dan mendidik Yesus selama 24 jam dalam sehari selama 33 tahun, tentu Bunda Maria benar-benar mengerti siapakah Yesus. Bunda Maria memahami Yesus bukan sekedar karena pengajaran kataketik melalui guru sekolah atau membaca melalui laman-laman internet. Nah, bila St. Paulus saja bisa menjadi rasul yang sangat hebat karena mendengarkan pengajaran orang dan mengalami peristiwa mujizat, betapa Bunda Maria menerima mengajaran yang jauh melebihi Paulus. Sungguh Bunda Maria bukan hanya seorang ibu namun juga menjadi murid pertama Yesus – bahkan murid yang sempurna melebihi murid-murid Yesus di kemudian hari.

Dengan memahami prinsip ini maka beruntunglah kita sebagai devosan Maria karena kita bisa dengan mudah belajar dari Maria bagaimana mencintai Yesus. Kita tak perlu meraba-raba atau me-reka-reka bagaimana mencintai Yesus yang mungkin justru membawa kita pada kekeliruan teologis. Namun kita bisa secara sederhana meniru sikap Bunda Maria secara kongkrit. Sikap hidup Bunda Maria mampu membawa kita pada pengertian  bahwa Yesus Kristus adalah benar-benar manusia dan benar-benar Allah. Bunda Maria memperlakukan Yesus bukan sebagai anak biologisnya semata namun juga menghormatinya sebagai anak Allah.

Bertepatan dengan ulang tahun Senatus Bejana Rohani yang ke-31, kita mengenangkan puncak ketotalan cinta Allah melalui pengurbanan Yesus. Allah tak berhemat sedikitpun dalam mencintai manusia. Allah memberikan semuanya, bahkan seluruh pintu-pintu surga dibuka lebar-lebar agar kita semua dapat masuk dan tinggal di dalamnya. Allah mau seluruh manusia kembali ke rumah sukacita dan tiada satu orang pun  tercecer menikmati pesta abadi-Nya.  Namun semua itu harus terjadi melalui cara yang menyayat hati manusia.

Pada peristiwa paskah  ini kita menyaksikan  Bunda Maria mengalami puncak penderitaannya. Bayi elok menawan serba menggemaskan bernama Yesus yang 33 tahun sebelumnya yang ditimang digendong penuh peluk cium, kini tubuh yang sama harus dihajar-tuntas dengan cambuk sulur-sulur besi bergerigi; dan akhirnya harus  mati dengan cara Yahudi yang paling menjijikkan (hina) pada waktu itu, yakni direntangkan di kayu salib bermandi darah.  Kita  mengetahui bahwa hukuman salib (qisas) bukan hanya sekedar untuk membunuh badan, namun juga mempermalukan dia yang dibunuh dan keluarga yang ditinggalkannya. Sungguh hukuman yang super maksimal.

 

Mari kita merenungkan dan mengambil posisi sebagai Bunda Maria! Bagaimana perasaan kita? Tentu kita akan merasakan  kepedihan luar biasa menyaksikan anak sendiri yang begitu baik dan kudus didakwa menistakan agama (Yahudi) lalu dibunuh. Namun Bunda Maria sebagai murid Yesus belajar untuk taat pada kehendak Allah Bapa, membiarkan Allah melakukan segala hal atas hidupnya walau hal itu tidak masuk akal sehat dan terasa sangat menyakitkan.  Saya pribadi meyakini saat itu Bunda sebagai wanita  mengalami ‘kegalauan iman’ yang sangat dahsyat seperti yang dialami Yesus sendiri  melalui kata-kata pilu-Nya  “Eloi-Eloi, lama sabakhtani..!”. Bunda tentu merasa seolah-olah Allah pergi jauh meninggalkannya.

Namun kegalauan itu berubah menjadi kekuatan karena Bunda berserah menerima hal itu sebagai sebuah ketetapan. Tentu Bunda Maria teringat kata-kata Nabi Simeon ketika menerima bayi Yesus di bait Allah beberapa waktu setelah Yesus dilahirkan. Simeon mengatakan bahwa Bayi itu kelak akan menimbulkan perbantahan, dan sebuah pedang akan menembus jiwa Bunda Maria. Dan inilah waktu yang dimaksud Simeon: hari penyaliban Yesus.  Bunda Maria memiliki iman bahwa peristiwa maha pahit itu harus terjadi sebelum hal-hal yang indah akan terungkap di kemudian hari, di tengah derai air mata ia mau menerima kenyataan penyaliban itu sebagai proses pengudusan diri baginya dan para anggota komunitas umat manusia. Bayangkan bila Bunda Maria menolak untuk taat, tentu tak akan pernah ada gelar Maria Bunda Gereja, Maria Bunda Allah, Maria Pengantara Segala Rahmat atau yang lain.

Paskah tentu saja bukanlah sebatas mengulang liturgi Gereja tahun-tahun sebelumnya (ketaatan sistem), namun merupakan pendalaman terhadap pengenalan akan hakekat Allah yang cintanya tak bisa dibandingkan dengan apa pun – termasuk cinta orang tua kita sendiri. Liturgi boleh sama dan akan selalu sama dari tahun ke tahun, namun kita diharapkan untuk mampu mencercap hakekat misteri agung ini semakin dalam daripada waktu-waktu lalu; Sehingga akhirnya kita sampai pada titik di mana  mampu dengan jiwa tulus total tanpa kepalsuan mengatakan: “Aku mengagungkan Tuhan, hatiku bersukaria karena Allah penyelamatku”.

Di ulang tahun yang ke-31 ini marilah kita bersama mengupayakan pertumbuhan batin untuk lebih teguh kukuh mencintai Yesus dengan belajar bagaimana Bunda Maria mencintai Yesus. Pada masa kini Tubuh Kristus hadir sebagai Gereja Kudus.  Seturut teladan  Bunda Maria yang mencintai Yesus, maka kita harus menunjukkan ketotalan cinta pada Gereja. Semangat yang mendasari karya komunitas Legio Maria adalah mencintai Gereja. Oleh sebab itu marilah kita merefleksikan diri sejauh mana kita beperan dalam setiap keprihatinan (derita Gereja) terkait dengan pelayanan pastoral evangelisasi-nya? Semoga kita bukan malah sibuk ber-legio demi legio sendiri sehingga kita tidak  cukup mendengar  suara  Gereja yang memanggil-mangggil kita agar masuk barisan perjuangan Gereja melawan kuasa dunia.

Sahabat, mari bersama kita masuk ke hati Bunda Maria yang terdalam, bersama Bunda kaki bergerak mengikut Yesus yang tertatih-tatih meniti jalan-jalan berbatu memikul salib kematian-Nya sendiri yang begitu berat;  Mari hadir bersama  di  puncak Kalvari – di mana Ekaristi Agung dilaksanakan oleh Allah sendiri, dengan pengurbanan Tubuh dan Darah Anak Domba terbaik.

Biarlah pedang tajam yang menusuk jiwa Bunda tersebut.. juga menusuk jiwa kita… Memang memilukan……, menyakitkan…, tak tertahankan…

Tetapi biarlah itu terjadi

Agar kita semua tahu betapa sakitnya Anak Manusia menanggung sengsara atas nama…. cinta!


Sdr. Octavian Andreas Elang Diawan adalah Asisten Pemimpin Rohani Senatus Bejana Rohani – Indonesia Bagian Barat.

PEMURNIAN MOTIVASI PELAYANAN

Dibawakan oleh RP H. Tedjoworo, O.S.C pada Planning Day Kuria Bunda Penasihat yang Baik, Bandung Barat 1.

Cimahi, 21 Januari 2018


Situasi pelayanan dalam Gereja mengalami banyak tantangan dari luar masyarakat, namun juga godaan yang mungkin berasal dari dalam diri para pelayannya sendiri. Para legioner adalah pelayan umat. Pelayanan kita sebagai legioner bersifat unik, sebab “harus dapat bertahan terus, menolak untuk menyerah” (Buku Pegangan / BP, Bab 4 No. 5). Sifat tidak mudah menyerah sebetulnya mencerminkan spirit yang menjaga kesetiaan kita dalam keanggotaan Legio. Dan ketika spirit kita terganggu, pelayanan pun terganggu atau bahkan menyeleweng dari arah yang seharusnya ditempuh.

Tantangan yang kita alami dari luar dihadapi bersama dengan seluruh Gereja, tetapi godaan dari dalam perlu direfleksikan dengan rendah hati oleh para legioner. Di tengah iklim ‘persaingan’ kelompok-kelompok pelayanan dewasa ini, legioner tidak perlu ikut-ikutan berlomba membuat program kerja yang serba hebat. Mungkin ini waktu yang baik bagi kita untuk melihat ke dalam, pada spiritualitas pelayanan kita. Dari penghayatan iman yang tulus, pasti muncul tindakan-tindakan kerasulan yang mengesankan. Pada saat yang sama, dengan rendah hati kita bisa mengoreksi mentalitas kita masing-masing, sebelum merencanakan pelayanan kita di tahun mendatang ini.

Bahan permenungan berikut bisa ditemukan kembali dalam Buku Pegangan, khususnya dimulai dari Bab 3, “Semangat Legio Maria adalah semangat Maria sendiri. Legio terutama berusaha meniru kerendahan hatinya yang luar biasa…” Sebelum berbagai keutamaan lainnya, kerendah-hatian disebutkan pertama kali sebagai spiritualitas kita (Bacalah terutama BP, 6.2, seluruhnya tentang kerendah-hatian). Perubahan hanya bersifat otentik kalau kita berani mengoreksi diri, dan mengoreksi diri hanya terjadi kalau kita memiliki kerendah-hatian.

1. Kerohanian: Apakah pembicaraan kita dengan orang lain cenderung mengenai hal-hal rohani? Situasi kerasulan dalam Gereja akhir-akhir ini sangat dipengaruhi sekularisme. Percakapan yang spontan muncul adalah tentang hal-hal profan, yang duniawi. Orang lebih antusias membicarakan tentang hobby, pekerjaan, keuntungan, prestasi, dan hiburan ketimbang hidup doa, saat teduh, Sabda Tuhan, serta pengalaman rohani.

Kalau legioner terbawa oleh arus profan (duniawi) dalam percakapannya dengan orang lain, berarti spirit atau semangat di dalam dirinya pun sudah menjadi kurang rohani. Bibit ‘kemunafikan’ (ketidakcocokan antara ibadat dan kelakuan) juga bermula dari godaan untuk lebih sering berbicara tentang hal-hal duniawi. Kita bisa mulai dengan saat-saat perjumpaan dengan sesama legioner: hal pertama apa yang kita ceritakan satu sama lain? Masih adakah dorongan untuk mengisahkan pengalaman rohani kita satu sama lain? Pengalaman ini adalah cara Tuhan menginterupsi keseharian kita, agar kita jangan tenggelam dalam sekularisme. Roh Kudus berjalan bersama kita karena Kristus menghadirkan-Nya (Yoh 14:16, Yun. ‘parakletos’= yang dipanggil untuk berjalan di samping). Buku Pegangan (5.5) menegaskan apa yang mestinya menjadi kebiasaan kita: “organisasi yang bertekun dengan sehati dalam doa bersama-sama Maria (Kis 1:14) yang telah menerima semuanya dari Allah”. Oleh karenanya, cara pertama kembali pada semangat kita sebagai legioner ialah: berbicara mengenai hal-hal rohani lebih dari biasanya. Tidak boleh ada rasa malu untuk membagikan pengalaman rohani, yakni sesuatu yang menyentuh hati dan iman kita, dari kejadian atau perjumpaan yang sangat sederhana sekalipun. Masyarakat yang terlalu ‘sekuler’ bahan percakapannya mesti dipengaruhi oleh cerita-cerita para legioner yang selalu mengingatkan bahwa Tuhan hadir di sekitar kita, bahwa penyelenggaraan Ilahi selalu terjadi kendati kita tidak menyadarinya. Membiasakan diri bercakap-cakap tentang hal-hal rohani juga menjadi sebentuk “penyucian diri” yang merupakan sarana pokok untuk berkarya (bdk. BP, 11.1).

2. Sikap Melegakan: Apakah kunjungan kita melegakan orang lain? Kita mungkin pernah mendengar komentar bahwa kunjungan para legioner tidak selalu dikehendaki. Sebaiknya tidak usah kita lekas-lekas mengatakan bahwa mungkin orang punya prasangka. Lebih baik kita melihat diri sendiri, sebab siapa tahu kedatangan kita malah cenderung merepotkan atau mengganggu ketenangan batin orang lain.

Kunjungan rumah (keluarga) menjadi ciri khas Legio (BP, 37.2), maka harus diteliti dengan seksama apakah kunjungan kita sungguh-sungguh membawa kelegaan. Kehadiran Yesus senantiasa menawarkan kelegaan dan penghiburan (Mat 11:28). Oleh karenanya, legioner harus memiliki semangat untuk melegakan dan mempermudah orang lain. Sebagai bagian dari keberadaan kita sebagai pelayan, motivasi kita harus selalu kembali pada hasrat untuk membantu sesama, dan ini akan sangat konkret dihayati dalam setiap kunjungan kita. Mungkinkah legioner tidak disukai karena kedatangannya malah menambah beban atau rasa bersalah? Itu bisa terjadi kalau kita terlalu banyak menasihati dan menegur, daripada mendengarkan dan menawarkan alternatif atas masalah (rohani) yang dialami orang lain. Selama kita tetap berusaha bersikap rendah hati, kunjungan dan perjumpaan dengan orang lain pasti akan mengurangi beban hidup mereka.

Sebaliknya, kalau kita merasa lebih tahu tentang berbagai hal, juga yang rohani, kunjungan itu akan berakhir dengan tidak menyenangkan bagi orang yang kita kunjungi. Bagian BP yang dirujuk di atas mengatakan, “Setiap rumah harus dilihat dari sudut pandang pemberian pelayanan”. Jelas ada yang keliru dalam hal motivasi kalau kedatangan kita malah mempersulit, meresahkan, apalagi mengesalkan orang lain. Semangat mempermudah dari Bunda Maria ditemukan dalam peristiwa Perkawinan di Kana (Yoh 2).

3. Bahagia Menjadi Legioner: Apakah kita senang menjadi legioner? Pertanyaan ini tidak mudah dijawab, dengan jujur. Jawaban yang kita ucapkan secara spontan sering kali hanya supaya “kedengaran baik”. Kalau direnungkan dengan lebih tenang, pertanyaan ini sebenarnya sangat personal, seperti halnya ketika seseorang ditanya mengenai pilihan jalan hidupnya.

Tidak ada yang memaksa kita untuk menjadi legioner. Bahwa kita masih menjadi legioner, mestinya juga bukan karena ada teman dekat kita di sana atau karena merasa tidak enak terhadap siapapun. Kalau kita dengan senang hati menjadi legioner, kerasulan kita pun akan dialami oleh orang lain sebagai pengalaman yang menyenangkan. BP membayangkan bahwa kerasulan legioner dapat menjadi “sinar terang” yang memotivasi banyak orang hingga membawa mereka ke “jalan baru yang lebih menyenangkan, menuju keselamatan dan kesucian” (37.10). Ketika dulu memanggil murid-murid pertama-Nya, Yesus juga menawarkan suatu jalan hidup baru yang kemudian disambut para murid itu dengan antusias (Mrk 1:14-20). Perasaan bangga sebagai legioner itu penting untuk menghayati kesetiaan dalam setiap kerasulan dan pelayanan. Mari kita sadari bahwa orang lain akan mampu merasakan, apakah kita ini memang bahagia dengan panggilan hidup kita atau sekadar ‘bertahan’ saja di dalam pelayanan ini.

4. Kelemahlembutan: Apakah kita dikenal sebagai pribadi yang lemah lembut? Kelemahlembutan sangat erat dengan kesabaran. Ketika merasa tidak sabar, biasanya orang mulai memaksa atau bahkan bersikap kasar. Meskpun berkali-kali semangat ini diingatkan kembali, dalam praktiknya kita lekas lupa.

Legio memang menekankan disiplin dalam doa, rapat, kegiatan, dan pelayanannya, karena namanya memang merujuk pada sifat suatu kesatuan tentara atau pasukan Maria. Di bagian awal kita sudah diingatkan tentang karakter pelayanan kita yang seharusnya tidak mudah menyerah. Akan tetapi, tekanan berlebihan pada disiplin dan ketegasan bisa membuat seorang legioner menjadi kaku dan kurang lemah lembut. Bunda Maria akan menghendaki sifat lemah lembut yang penuh belas kasih untuk menunjukkan bahwa mutu kerja seorang legioner adalah berbeda (BP, 39.2). Kelemahlembutan, seharusnya, adalah yang membedakan kita sebagai legioner dibandingkan pelayanan-pelayanan lain. Kita tidak mau memaksa siapapun, dan tidak boleh membuat siapapun merasa bersalah. Itu didasari oleh kesabaran Yesus sendiri yang menggambarkan diri-Nya sebagai sosok yang lemah lembut dan rendah hati (Mat 11:29). Yesus pasti mengalami kelembutan bersikap itu dari bunda-Nya sendiri yang telah membesarkan-Nya. Bila dalam pelayanan kita tergoda untuk kurang sabar, hendaknya mengingat sabda Tuhan yang membiarkan lalang tumbuh bersama dengan gandum (Mat 13:28-29). Tuhan membimbing setiap orang dengan cara yang berbeda-beda.

5. Berkorban: Apakah kita membedakan antara sikap bertahan dan berkorban? Kesetiaan yang kita hayati sebagai legioner suatu saat bisa terpancing menjadi sekadar ‘bertahan’. Tidak setiap kesulitan dan penderitaan harus dihadapi dengan sikap demikian, melainkan mesti diberi makna sehingga menjadi pengorbanan yang pantas dijalani dengan senang hati.

BP menjelaskan dengan tegas bahwa “kasih, kesetiaan, dan disiplin tidak mempunyai arti bila dilaksanakan tanpa pengorbanan dan semangat” (39.3). Kesusahan yang kita alami dalam tugas-tugas mesti diberi makna, sehingga niscaya bagi diri kita sendiri kesetiaan untuk melakukannya akan menumbuhkan iman kita agar lebih dewasa. Legioner mesti punya rasa syukur karena diizinkan Tuhan mengalami berbagai kesulitan (bukan kemudahan!) dalam setiap pelayanannya, seperti juga para rasul pada waktu itu, yang bersukacita karena boleh menderita karena nama Yesus (Kis 5:41).

Sikap mau berkorban mirip dengan keyakinan seseorang untuk memilih jalan hidup tertentu, meskipun berbeda dengan kecenderungan banyak orang di sekitarnya. Menjadi legioner adalah sebentuk jalan hidup yang membuat kita masih mampu tersenyum, kendati menghadapi berbagai situasi yang tidak ideal maupun tekanan. Penderitaan akan menjadi salib yang membanggakan untuk dipikul sebagai legioner, kalau kita menemukan makna di dalamnya.


RP. Hadrianus Tedjoworo, O.S.C. adalah Pemimpin Rohani Kuria Bunda Penasihat yang Baik, Bandung Barat 1 – Komisium Bunda Rahmat Ilahi.