BBM : Butir-Butir Motivasi

Dibawakan oleh RP Hadrianus Tedjoworo, OSC pada acara planning day Kuria Bunda Penasehat yang Baik. 
Bandung, 15 Januari 2017

Evaluasi sering terlalu mencari kekurangan dan hal-hal yang negatif. Mungkin lebih baik mengambil inspirasi serta motivasi dari istilah apresiasi → menghargai usaha yang sudah dilakukan dan apa yang masih bisa dikembangkan dan sampai saat ini baru merupakan potensi. Potensi-potensi apa sajakah yang bisa makin mengembangkan Legio Maria?

Tidak seperti kelompok-kelompok kategorial gerejawi lainnya, Legio Maria tidak berorientasi pada kesuksesan, melainkan lebih pada ketulusan pelayanan dan kesetiaan dalam diri para anggotanya. Kelompok ini bertujuan pada kerasulan Gereja: mewartakan Kabar Baik kepada sesama (Buku Pegangan Bab 2). Diandaikan ada kerja sama dengan hierarki Gereja, sehingga legioner tidak semestinya bekerja sendiri, atau hanya mewakili kelompoknya sendiri. Semangat Maria yang menjadi teladan para legioner bisa menjadi inspirasi, yakni mengimani bahwa bagi Allah, segala sesuatu adalah mungkin (BP Bab 3). Itu berarti bahwa keberanian lebih daripada ‘kewajiban’ adalah penggerak kita untuk selalu maju dan mengembangkan kerasulan kita sebagai legioner.

Butir-butir motivasi:

  1. Bentuk-Bentuk Kerasulan: Legio Maria punya keuntungan, yakni bisa masuk ke mana saja, baik itu liturgi, bina iman anak, katekese, pendampingan, pertemuan lingkungan, pelayanan pastoral, dan lain-lain.

  1. Memperkenalkan Spiritualitas Maria: konsekuensi dari fleksibilitas kehadiran kita ialah: membawa pengaruh dari Spiritualitas Maria. Artinya, kita mesti menimba kembali inspirasi dari Kitab Suci dan devosi-devosi Maria, kemudian membawanya dalam keterlibatan di berbagai kelompok untuk menginspirasi bentuk-bentuk kerasulan mereka juga!

Maria punya kekuatan yang besar dalam dirinya, yakni kemampuan untuk mempengaruhi, bahkan juga mempengaruhi Yesus, Puteranya (Yoh. 2). Apabila devosi Maria kurang berkembang di suatu lingkungan, biasanya itu karena kehadiran para legioner tidak mendorong tindakan-tindakan pelayanan yang seharusnya sudah terjadi di wilayah itu (bdk. BP Bab 5 No. 6). Devosi bukan hanya tampak dari penampilan seorang legioner yang berdoa, tetapi lebih-lebih dari bagaimana ia mempengaruhi dengan spiritualitas Maria, kelompok atau tempat apapun yang didatanginya itu. Dalam bahasa pengajaran Kristus, kita diajak menjadi seperti ‘garam’ yang mengasinkan sekitarnya. Kalau kita sendiri tidak terkesan dengan semangat Maria, kita tidak akan mempengaruhi siapapun. Kita bisa mulai dengan membuat refleksi, apakah kehadiran kita sebagai legioner dikenali secara baik oleh kelompok-kelompok yang lain?

 

taken from www.legionofmarytidewater.com
  1. Sebagai seorang kristiani: ketika menjalankan tugas, legioner mestinya memakai semangat Maria yang merangkul kerasulan dan kehidupan kristianinya (BP Bab 6. No. 3). Maksudnya ialah, bahwa tugas-tugas dijalankan bukan hanya sebagai ‘legioner’, tetapi sebagai seorang kristiani, pengikut Kristus. Kita tidak perlu menjadi ‘eksklusif’ sebagai legioner. Bukankah setiap orang kristiani seharusnya memandang Maria sebagai model hidup kristiani?

Kadang-kadang kita perlu belajar dari keseharian para anggota auxilier yang pertama-tama menjalani kehidupan imannya sebagai pengikut Kristus. Cara hidup dan semangat hidup mereka yang bersahaja dapat menjadi cara kita melayani, yakni dengan tidak berusaha menonjolkan ‘hasil’ atau ‘jumlah statistik’, melainkan mengedepankan keteladanan. Apakah hidup sehari-hari kita bisa dicontoh oleh orang lain? Mungkin yang dikhawatirkan di masa kita ini ialah kalau terjadi pemisahan tindakan kita sebagai legioner dan sebagai orang Katolik. Oleh karenanya apa yang kita rencanakan sebagai legioner Maria di masa mendatang ini sebisa mungkin semakin melibatkan umat Katolik yang lain. Kerasulan kita perlu semakin inklusif.

  1. Daya tarik: kebanyakan presidia menghadapi masalah yang serupa, yakni kesulitan menambah jumlah keanggotaan. Apakah proses merekrut anggota baru sama saja dengan kelompok lain? Mungkin tidak. “Bahaya besar” yang disebutkan oleh Buku Pegangan (Bab 10 No. 3) ialah ketika kerasulan ini “tidak mempunyai daya pikat sehingga kaum awam tidak bereaksi terhadap tujuan luhur yang terkandung di dalamnya”. Daya tarik rohani tidak bisa diselesaikan hanya dengan membuat sebanyak mungkin program kerja.

Daya tarik rohani, seperti disinggung Kardinal Riberi, mungkin muncul karena (1) kualitas keanggotaan, dijaga oleh (2) doa dan pengorbanan diri yang berlimpah, dan (3) dalam kerja sama dengan hierarki. Para legioner bisa merenungkan: mengapa aktivitas di paroki seringkali lebih menarik daripada kegiatan-kegiatan yang ditawarkan oleh Legio Maria? Barangkali sebagian dari ke-3 hal di atas kurang kita tekankan dalam perencanaan kegiatan tahunan. Salah satu karakter kegiatan yang membuat orang tertarik untuk terlibat ialah: relevansi. Orang akan menoleh dan memperhatikan sesuatu kalau itu menyentuh kerinduan pribadinya. Kita bisa menduga bahwa di zaman ini orang merindukan suasana doa, misalnya, tapi kita masih harus menemukan problem-problem personal dan aktual untuk dibawa ke dalam doa itu. Oleh karenanya, penentuan tema kegiatan-kegiatan legioner menjadi sesuatu yang sangat penting untuk menyapa kerinduan terdalam banyak orang. Sebagai sebentuk evaluasi, kita bisa meneliti kembali tema-tema yang kita angkat untuk pertemuan Patrisi, apakah akan menarik banyak orang, ataukah hanya menarik bagi diri kita sendiri.

  1. Persaudaraan dan keakraban: kedua semangat ini tidak pernah gagal membesarkan kelompok kerasulan apapun dalam Gereja. Selama persaudaraan dijaga dan diperjuangkan, suatu kelompok akan terus hidup. Semangat ini dikisahkan dengan indah dalam Kis 2:46-47, yakni ketika para murid setelah kenaikan Yesus ke surga, bertekun dan sehati berkumpul dalam kegembiraan dan ketulusan hati. Lukas mencatat, “mereka disukai semua orang”! Itulah kesaksian yang paling kuat dari Gereja Perdana, dan seharusnya menjadi kesaksian para legioner.

Dalam semangat seruan dan surat apostolik Paus Fransiskus, para legioner mesti belajar hidup bersama dalam persaudaraan. Hidup bersama adalah sebentuk kesaksian yang sangat efektif kepada dunia. Orang akan segera melihat kalau kebersamaan kita, misalnya, adalah palsu. Kebersamaan ini diuji dalam menjalankan tugas, dalam berdoa/rapat, dalam merencanakan kegiatan, dan kehadiran di berbagai kelompok kerasulan lain. Salah satu tantangan yang sangat sulit terjadi dalam kenyataan ialah saling mendukung. Jauh lebih mudah “saling mengkritik”. Mestinya sikap saling mendukung dan melengkapi inilah penafsiran kita atas penekanan keakraban seperti yang disebut oleh BP Bab 39 No. 8). Keakraban itu bukanlah soal banyak tertawa dan bercanda, tetapi adalah perkara bekerja sama menemukan kehendak Tuhan. Kalau dalam persiapan kegiatan para legioner justru saling mengkritik, bagaimana itu akan menjadi kesaksian bagi orang lain? Setiap kali ada usulan dari seseorang, mari kita memberikan apapun sumbangan (pikiran dan tindakan) untuk melengkapi dan merealisasikannya. Dalam kenyataan, saling mendukung itu bukan hal yang mudah, karena kita sering lebih ingin tampil beda dan membuktikan kemampuan diri.


Pastor Hadrianus Tedjoworo, OSC adalah Pemimpin Rohani Kuria Bunda Penasehat Yang Baik – Bandung Barat 1, Komisium Bunda Rahmat Ilahi – Keuskupan Bandung

Pengetahuan dan Kesadaran Tindakan

Bacaan Rohani : Buku Pegangan Legio Maria halaman 29 dan 31, Bab 6, Subbab 2: ‘Meniru kerendahan hati Maria adalah akar maupun instrumen kegiatan Legioner.”

Pengetahuan dan Kesadaran Tindakan

Tanggung jawab kesaksian Legio Maria terletak di atas pundak masing-masing pribadi legioner. Kita masing-masing dipanggil untuk bertanggungjawab terhadap kelangsungan hidup Legio Maria. Tanggungjawab ini harus diwujudnyatakan dalam tindakan yang bersungguh-sungguh sebagai buah dari pengetahuan. Pengetahuan yang tidak diikuti tindakan bukanlah sikap iman yang bermutu.

Dalam ‘tindakan’ ini juga terkandung nilai pengorbanan. Mengikuti retret, rekoleksi, pendalaman iman, mengerti arti sakramen-sakramen adalah hal baik, namun hal itu belumlah cukup bila tidak diikuti dengan tindakan-tindakan konkret sebagai kesaksian iman Katolik.

Pada peristiwa perkawinan di Kana, Bunda Maria tahu bahwa keluarga pengantin tiba-tiba mengalami kesulitan karena kehabisan persediaan anggur, namun Bunda Maria tidak diam, ia mengambil tindakan dengan berbicara kepada Yesus. Tindakan Bunda Maria ini membuahkan mukjizat pertama Yesus.

Santo Petrus juga merupakan teladan sebagai orang yang selalu bertindak. Ia tak hanya puas dengan tahu siapa Yesus yang menderita, wafat, dan bangkit kembali, namun ia bertindak dengan antusias mewartakan kabar keselamatan itu. Sikap penuh tindakannya membuat Ia dipercaya sebagai paus pertama – bahkan membawa kita juga mengenal Yesus sebagai juru selamat.

Ada kata bijak dari Mgr. Ignatius Suharyo: “Dunia bukanlah masalah; yang menjadi masalah adalah ketidaksadaran Anda”. Ketidaksadaran adalah sikap masa bodoh yang berbahaya.

Marilah kita sebagai duta Kerahiman Allah tidak hanya puas dengan tahu, namun juga mengembangkan kesadaran bertindak sungguh-sungguh untuk bersaksi atas iman keselamatan kita.

Oleh : Frater Robertus Guntur

Gereja memiliki dua bentuk ‘penyembahan pada Allah’

Bacaan Rohani : Buku Pegangan Legio Maria halaman 262, Subbab 6: ‘Bekerja bagi orang yang paling malang dan terlantar.”

Gereja memiliki dua bentuk ‘penyembahan pada Allah’

a. Liturgi Resmi Gereja Katolik
Liturgi resmi meliputi sakramen-sakramen. Liturgi resmi sifatnya baku dan tak bisa diubah. Nilai sakramen-sakramen sifatnya sangat mendasar dan tak tergantikan. Perumpamaan dalam hidup sehari-hari: Liturgi resmi adalah makanan wajib harian kita (makan pagi, makan siang, dan makan malam dengan bahan makanan pokok nasi, sayur, lauk pauk). Makanan wajib ini mutlak harus ada untuk menjamin kelangsungan hidup badan kita.

b. Devosi-devosi.
Dalam hidup sehari-hari devosi diumpamakan sebagai makanan tambahan (snack). Snack bukanlah makanan wajib. Snack boleh ada dan boleh tidak ada. Ketiadaan snack tidak akan mempengaruhi kelangsungan hidup badan kita. Snack sifatnya memberi variasi cita rasa. Tidak pernah ada berita orang meninggal karena tidak makan snack, namun kematian karena kelaparan bisa terjadi bila seseorang tidak makan makanan baku (makan nasi dan kelengkapannya). Devosi-devosi memiliki peluang berkembangnya perasaan berlebihan (terhadap Bunda Maria).

Perasaan yang berlebihan mengandung bahaya karena perasaan bisa menipu. Dalam prakteknya orang-orang yang terseret dalam perasaan berlebihan akan menganggap hal-hal (yang nampaknya) mistik sebagai tanda keimanan. Orang-orang demikian senang sekali menyebarkan berita-berita penampakan (Maria) yang banyak beredar, atau kesaksian-kesaksian gaib/mimpi yang sulit dipertanggungjawabkan. Kita harus mengendalikan dorongan perasaan berlebihan dengan akal sehat.

Suatu kali Santo Filipus Neri mendapatkan penampakan Bunda Maria. Namun Filipus bukannya hanyut dalam kekaguman pesona penampakan itu. Filipus justru meludahi penampakan itu. Tiba-tiba saja panampakan itu mendadak berubah menjadi wajah aslinya – Si Iblis Jahat.

Devosi yang benar harus membawa kita pada mutu pelayanan yang bertumbuh, yakni pelayanan kepada mereka yang terpinggirkan. Tahun ini ditetapkan oleh Gereja sebagai tahun Kerahiman, Legio Maria sebagai pembawa wajah Gereja harus mampu menampilkan kerahiman Allah kepada setiap orang. Dalam menghadirkan kerahiman ini, kita harus melakukannya karena dorongan ilahi dalam hati, bukan karena ditugaskan oleh presidium. Tindakan karena sebatas ditugaskan adalah tindakan yang kering dan tidak membawa pada pengenalan pada Allah. Marilah berdevosi secara tepat dengan dasar iman Katolik yang tepat.

Oleh : RD Petrus Tunjung Kusuma

Gereja adalah persekutuan umat beriman

Bacaan Rohani : Buku Pegangan Legio Maria halaman 70, Subbab 6: ‘Buah-hasilnya adalah Idealisme dan Tindakan yang Penuh Semangat.”

Gereja adalah persekutuan umat beriman

Sebagai pesekutuan, maka gerak langkah setiap bagian dalam pesekutuan ini harus senada dengan gerak langkah Gereja. Apa yang menjadi sukacita dan penderitaan Gereja seyogyanya menjadi sukacita dan penderitaan kita semua – termasuk Legio Maria. Misalnya: Bila Gereja gigih memperjuangkan perhatian pada lingkungan hidup, maka hendaknya Legio Maria juga mengambil peran memperjuangkan kelestarian lingkungan hidup. Den gan demikian Legio Maria harus mampu mengemban tugasnya sebagai pembawa ‘wajah Gereja’ .

Home vs House

Home adalah kata bahasa Inggris yang berarti rumah, dalam arti suasana kebersamaan, ikatan kasih,dan semangat saling mendukung. Home menunjukkan aspek-aspek kejiwaan dan kerohanian dari para penghuninya. Sedangkaun House adalah kata bahasa Inggris yang berarti rumah dalam arti ‘benda yang kelihatan dan sifatnya mati’. House merujuk pada tembok, atap, pintu, jendela, toilet, pagar, dan lain-lain. Legio Maria sebagai komunitas umat beriman selayaknya mampu menjadikan presidium/kuria/komisium/regia/senatus menjadi sebuah HOME alih-alih menjadi sebuah HOUSE. Dengan demikian Legio Maria menjadi rumah kita yang mampu memberikan kekuatan, ikatan kasih, dan daya dukung bagi kita dalam menghadapi kehidupan. Dari Legio kita menimba inspirasi hidup dan menjadikannya sumber pertumbuhan iman. Mengelola Legio Maria sebagai house tidak akan membuat para penghuni bertumbuh. Jadi mari kita upayakan agar Legio Maria adalah HOME bagi para anggotanya.

Oleh : Frater Robertus Guntur

Natal dalam Tradisi Katolik dan Hubungannya dengan Legio Maria

Bacaan Rohani : Buku Pegangan Hal 303 “Tanpa Maria tidak ada ajaran Kristen yang sejati”

Natal adalah peristiwa pertemuan antara tawaran keselamatan Allah dan sikap manusia. Dalam peristiwa Natal ada sebagian manusia yang menerima tawaran keselamatan itu, yakni Bunda Maria, para majus, para gembala termasuk ternak-ternaknya. Di lain pihak ada pula Herodes yang menolak dengan terang-terangan tawaran ini.

Iman Katolik yang benar adalah kehendak untuk menerima tawaran keselamatan ini dan menghidupinya. Maria adalah orang yang pertama-tama menunjukkan iman ini dengan sangat sempurna. Ketika malaikat Gabriel memberitahukan akan kelahiran Yesus melalui dirinya, Maria tidak berpanjang-panjang dalam pertimbangan dan permenungan (red: galouw). Namun Maria justru bisa segera mengatakan “Ya” agar kehendak Allah itu terjadi melalui dirinya. Padahal waktu itu Maria tak mengerti apa-apa siapakah Yesus yang akan dia kandung, dan ia tak ambil pusing dengan apa yang akan terjadi di kemudian hari sebagai konsekwensi mengandung tanpa menikah. Kehendak Allah adalah misteri baginya. Maria hanya tahu bahwa ia harus menerima kehendak Allah sebagai jawaban atas panggilan karya keselamatan Allah sendiri. Kita para Legioner diajak untuk meneladan Maria yang mau menanggapi panggilan karya keselamatan Allah ini – yakni kita harus mau menanggapi kehadiran Yesus secara penuh. Mencintai Iman Katolik adalah upaya nyata kita untuk menerima Yesus.

Oleh : RD Petrus Tunjung Kusuma

Iman yang Tepat adalah Mencintai Kekatolikan Secara Tepat

Bacaan Rohani : Buku Pegangan Hal 334 Bab 39 Point 33 ” Legioner harus berada di garis depan dalam medan pertempuran Gereja “

Kita para legioner berada dalam suasana sosial yang kompleks, termasuk keberadaan pengajaran kekristenan yang beragam.Akibatnya pemaknaan terhadap pribadi Yesus juga sangat beragam – dan banyak di antaranya yang tak sejalan dengan pengajaran iman Katolik. Kedangkalan pengertian terhadap iman Katolik akan membuat kita mudah diresapi dengan ajaran-ajaran ke-kristenan yang tidak benar.Menyikapi hal ini para legioner perlu mengembangkan sikap mau belajar segala hal tentang Kekatolikan secara lebih mendalam. Kemauan belajar dan menghayati iman Katolik  adalah bagian mendasar  pertempuran  legioner di barisan terdepan Gereja.

Gereja Katolik menerbitkan Katekismus sebagai salah satu sumber pengajaran resmi. Marilah kita menimba banyak hal benar daripadanya , sehingga kita juga  terhindar dari praktek-praktek yang salah (contoh: menganggap air suci atau rosario sebagai benda keramat, mengukur iman seseorang dari kemampuan supranaturalnya atau pengalaman  mujizat yang bombastis). Orang-orang suci bukanlah mereka yang melakukan hal-hal besar dan berbagai mukjizat namun mereka yang menghayati Iman Katoliknya secara benar dan tulus serta melakukan ajaran Kristus. Dalam memaknai  segala hal yang terjadi, Gereja juga mengajak kita bukan hanya menggunakan kedalaman hati dan rasa namun juga menggunakan  akal budi yang sehat.

Marilah kita mempelajari dan menghayati ajaran Gereja Katolik sebagai kebiasaan harian Legio Maria.

Oleh : RD Petrus Tunjung Kusuma

Kehormatan Seorang Legioner

Bacaan Rohani : Buku Pegangan Legio Maria Hal 114, Bab 17 “Jiwa-jiwa legioner yang sudah meninggal”

Kehormatan kita terletak pada tuntasnya menjalankan hidup sebagai seorang legioner. Untuk itu perlu dimengerti bahwa ber-legio bukanlah sekedar berkegiatan mengisi hidup, melainkan sebuah cara hidup.

Legio Maria sesungguhnya adalah wadah pendidikan, penyiapan, dan pembentukan bagi kita untuk dilayakkan menikmati kehidupan abadi kelak. Kadang kita tak mengerti mengapa Legio Maria penuh dengan hal-hal yang kurang mengenakkan. Hal serupa terjadi pada para murid Yesus (Mateus, Bartolomeus, dkk) pada awal mengikuti Yesus. Yesus mendidik, menyiapkan, dan membentuk mereka untuk kehidupan kekal. Kadang Yesus juga ‘tak mengenakkan’ bagi para murid. Pernah Yesus menghardik Petrus dengan kata-kata;”Enyahlah wahai kau iblis!”

Namun para murid itu kini menjadi orang-orang kudus, kita tak lagi menyebut mereka sebagai Mateus atau Petrus, tetapi Santo Mateus dan Santo Petrus, demikian pula dengan para kudus yang lain. Mereka menjadi santo sebagai buah nyata proses pembentukan yang dilakukan Yesus. Legio Maria pun mendidik kita seperti halnya Maria mendidik Yesus agar kita bertumbuh. Menghayati Legio Maria sekedar wadah ber-kegiatan yang penuh aturan adalah sikap keliru. Ber-legio harus menghasilkan pertumbuhan sehingga kita makin mirip Kristus dan layak menyatu dengan Kristus.

Oleh : RD Petrus Tunjung Kusuma

Di Balik Peziarahan Maria yang Mengandung

Elegant smiling man standing in the street

Sebagai seorang Katolik, merenungkan sosok Bunda Maria rasanya tidak ada habisnya untuk menemukan kedalaman hidup dari sang Bunda. Namun, sekali lagi merenungkan saja tidaklah cukup, kalau teladan hidup Bunda Maria yang begitu mendalam belum “mendarat“ pada keseharian hidup kita. Momen perayaan Natal adalah kesempatan yang tepat bagi kita untuk bersukacita bersama seluruh umat kristiani, sekaligus menyelami peziarahan awal Bunda Maria sebagai ibunda dari bayi mungil Yesus. Di balik awal peziarahan itu, mari kita melihat satu per satu rangkaian peristiwa yang dihadapi Bunda Maria. Satu keutamaan Bunda Maria dalam peziarahan itu adalah intimitasnya bersama dengan Allah. Intimitasnya bersama dengan Allah terjaga manakala ia berada dalam posisi hidup yang sangat sulit, penuh kecemasan, dan misteri. Rangkaian peristiwa dari penginjil Lukas yang menimbulkan kecemasan bagi Maria bisa kita lihat sebagai berikut: MENGANDUNG TAPI BELUM BERSUAMI (bdk. Luk 1:30-35), MENDAFTARKAN DIRI SAAT MENGANDUNG (bdk. Luk 2:1-5), TIDAK ADA TEMPAT DI RUMAH PENGINAPAN (bdk. Luk 2:6-7). Setidaknya tiga peristiwa di atas, kalau kita kontemplasikan menggambarkan situasi batin Maria yang takut, cemas, bingung, dan mungkin hampir tidak tahu harus berbuat apa.

Awal perjalanan Bunda Maria mulai dari mengandung hingga menjelang kelahiran Putranya, Yesus, sekali lagi tidaklah mudah. Lantas, jalan yang ditempuh Maria selama hidupnya bertahun-tahun adalah tetap “tinggal“ dalam intimitas bersama misteri Putranya. Bahkan, nanti ketika mau dibunuh oleh Herodes, Yusuf melarikan Maria dan Yesus ke Mesir. (bdk. Mat 2:13-15). Inilah kisah hidup Maria yang sekaligus menjadi peziarahan imannya. Situasi yang penuh kecemasan untuk mengemban tugas yang berat dari Allah, ia hadapi justru bukan dengan lari dari kenyataan, melainkan tetap berpegang penuh pada kekuatan Allah yang pasti. “Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu.” (Luk 1:38) Kata-kata itu tidak hanya terucap sambil lalu ketika ia menerima kabar dari Malaikat Gabriel, malahan nyatanya sungguh ia hidupi.

Tidak hanya itu, kita pun meyakini bahwa pada diri Maria ada keutamaan paling kuat, yakni kerendahan hati. Kerendahan hati tentu tidak sama dengan hanya pasrah (yang tanpa berusaha atau berbuat apa-apa). Kerendahan hati nampak dari Bunda Maria dengan seolah ia menjadi seperti tanah subur yang berani “diinjak-injak“ oleh kenyataan. Tetapi karena tanah ini subur, tanah ini dapat memberikan kehidupan segar bagi siapa pun yang ia jumpai. “Model“ teladan Maria inilah yang oleh Paus Fransiskus dikatakan sebagai model evangelisasi Gereja. Manakala, kita memandang Maria, kita berani datang untuk percaya sekali lagi bahwa pada pribadi Maria telah terjadi perubahan dari kecemasan menuju cinta akan Allah (lih. Evangelii Gaudium no. 288) Kiranya perspektif-perspektif terhadap Maria inilah yang cocok untuk menggambarkan situasi batin kita yang cemas, panik, galau, ketika harus menutup tahun 2014 ini. Dan, tentu masih menjadi perjuangan bagi kita sebagai anak-anak Allah untuk sepenuh hati meletakkan masa depan, terlebih dalam menyongsong tahun 2015, bersama-sama dengan Allah pula. Seraya kita juga menyadari bahwa selama ini acapkali dalam situasi cemas dan serba tidak pasti, kita terlalu banyak menuntut dari pihak Allah. Semoga teladan iman Bunda Maria mampu menolong dan mendorong kita untuk mengatasi kecemasan yang masih merongrong di setiap relung-relung hati dan pikiran kita. AVE MARIA.

Oleh: Fr. Joseph Biondi Mattovano

Beriman Tidak Sama dengan Berdagang

IMG-20141121-WA0014Bacaan Rohani: Buku Pegangan hal 16 No. 5 “Harus Mencapai Garis Akhir” (2 Tim 4:7)

Suatu kali seorang pemuda di salah satu paroki bertemu dengan aku. Seperti biasanya kami memang banyak bercerita. Dia memang sudah sangat familiar untuk kegiatan acara OMK di paroki. Ternyata dia tidak hanya aktif di OMK dan misdinar, tapi ia juga aktif di di Legio Maria dan persekutuan doa. Suatu kali dia menghadapi masalah yang cukup berat, yakni ayah-ibunya selalu bertengkar. Ia selalu mengeluh kaarena ia merasa sudah berdoa-doa berkali-kali namun belum dikabulkan permohonannya. Doa novena ini, doa novena itu sudah berkali-kali dilakukannya, namun ternyata apa yang diharapkan belum juga terkabul. Kita mungkin sering mengalami hal yang serupa. Sudah berkali-kali kita berdoa novena, rosario, dan sebagainya tetapi mengapa belum terkabul juga? Sudah berusaha untuk matiraga, beramal, dan berderma sekian banyak tetapi tidak ada sesuatu yang pasti. Kita sering merasa kecewa dan putus asa, sampai-sampai tidak jarang kita mempertanyakan “Dimana Engkau Tuhan?”

Kita sering merasa bahwa segala yang kita berikan untuk Tuhan dan sesama kita melalui pelayanan, secara otomatis kita merasa mempunyai hak untuk memperoleh apa yang kita inginkan. Sadar atau tidak sadar, prinsip hidup kita adalah “DO UT DES, aku memberi agar engkau memberi.” Tentu saja itu bukan doa, amal, apalagi beriman, tetepi itu adalah bisnis. Mari kita sebagai legioner menyadari bahwa jika kita berbuat baik untuk Tuhan dan sesama janganlah kita hitung berapa jumlahnya, karena Tuhan sesungguhnya telah memberi banyak kemurahan kepada kita yang tak terhitung lagi.

“Panggilan Legio merupakan suatu pelayanan yang tanpa batas atau tanpa pamrih. Pelayanan merupakan kebutuhan.”

PRINSIP HARUS DIUBAH MENJADI: Untuk Tuhan tidak perlu berhitung (waktu, amal, persembahan, pelayanan, dsb.)

Kesalahan yang sering kita buat setiap kali mendoakan arwah yang meninggal: “Semoga amal dan ibadahnya diterima oleh Allah yang Maha Kuasa.” Atau “Semoga Tuhan membalas segala kebaikan yang telah ia buat selama hidupnya di dunia.” Itu bukan doa yang kristiani. Lagi-lagi itu bukan doa, melainkan seperti berdagang. Seharusnya, “Semoga berkat kerahiman-Nya, Allah mempersatukan ia dalam kebahagiaan Kerajaan Surga.”AVE MARIA.

Oleh : Fr. Joseph Biondi Mattovano

Antara Doa dan Pelayanan

IMG-20141121-WA0019Oleh: Fr. Joseph Biondi Mattovano

Saudari-saudara yang terkasih, doa disamping menjadi sarana perjumpaan kita sebagai seorang beriman dengan Allah. Bagian dari doa sesungguhnya menggerakkan kita untuk turut ambil bagian dalam tugas pewartaan (evangelisasi) dan mencari kebaikan sesama. (Evangelii Gaudium-Suka Cita Injil art. 281) Inilah yang menjadi poin keutamaan relasi antara doa dan karya/pelayanan kita. Melalui karya pelayanan yang senantiasa kita bawa dalam doa, sesulit dan seberat apapun pengalaman itu membuat kita kerap bisa merasakan betapa Allah bersedia membentuk pribadi kita.

Dalam anjuran apostoliknya itu, Paus Fransiskus mengajak kita untuk belajar dari Santo Paulus yang berdoa sungguh dari hati. Maka, doa dari dalam HATI itu penting, bukan sekadar hafalan atau rumusan doa semata. “Dan setiap kali aku berdoa untuk kamu semua, aku berdoa untuk kamu semua, aku selalu berdoa dengan sukacita. Memang sudah sepatutnyalah aku berpikir demikian akan kamu semua, sebab kamu ada di dalam hatiku, oleh karena kamu semua turut mendapat bagian dalam kasih karunia yang diberikan kepadaku, baik pada waktu aku dipenjarakan, maupun pada waktu aku membela dan meneguhkan Berita Injil.” (Fil 1:4,7) Dalam situasi sulit (di penjara) sekalipun, seorang pewarta seperti Paulus tidak mengawali doanya dengan sebatas berkontemplasi (bertapa dan berdiam diri). Sebab, sejatinya doa juga selalu menyediakan “tempat” (ruang hati) kita bagi sesama. Seorang pewarta Injil yang hidup berimannya tumbuh dari doa, hatinya akan mampu semakin terluka, dan semakin menyadari siapa dirinya sesungguhnya dihadapan Allah dan sesama. Hatinya akan selalu mengarah kepada kebaikan dan berbagi kehidupan dengan sesama. (Evangelii Gaudium art. 281)

Saudari-saudara legioner yang terkasih, kesatuan antara doa dan karya pelayanan sebisa mungkin mari kita maknai seperti kedua kepak sayap burung yang dikepakkan ketika terbang. Seekor burung tidak mungkin bisa terbang hanya dengan satu sayap saja. Demikian pula dengan kita sebagai seorang beriman. Bagaimana mungkin seseorang bisa mempunyai relasi dengan Allah kalau ia tidak pernah berdoa? Tanpa relasi yang personal dan intim dengan Allah, alih-alih motivasi yang tulus dan murni hanya akan menjadi batu sandungan bagi pelayanan kita. Sekarang ini, keutamaan hidup beriman antara doa dan karya pelayanan sudah tidak hanya menjadi perhatian dari para kaum religius atau klerus (imam). Mari kita sama-sama patut bersyukur bahwa telah begitu banyak gerakan atau komunitas awam, salah satunya Legio Mariae yang mempunyai perhatian pada mereka yang kecil, lemah, putus asa, dan menderita, namun tidak melupakan semangat doa sebagai bagian dari spiritualitas pelayanan.

Melalui Evangelii Gaudium ini, akhirnya Paus Fransiskus mengajak seluruh umat beriman untuk masuk kedalam pemahaman dan kebenaran akan Allah, sehingga setiap dari kita mampu memandang segala sesuatu yang sedang terjadi atau yang akan kita alami dari ‘kaca mata’ Allah. Kini bukan saatnya lagi kita bisa merasa ‘damai’ karena dininabobokan dengan rasa aman dan nyaman dalam hidup kita sehari-hari. Kemampuan kita untuk memaknai hidup menjadi semakin nyata manakala kita sebagai seorang Kristiani berani bangkit dari keterpurukan dalam pelayanan kita, seperti penolakan, caci-maki, tidak diakui, dan merasa diri selalu terbatas. Maka, dalam menghayati tugas pewartaan Injil untuk melayani dan mendoakan semakin banyak orang, kita tidak boleh sekali-kali kehilangan kebahagiaan. Hilangnya kebahagiaan dalam doa dan karya pelayanan tentu bisa meruntuhkan kesaksian panggilan hidup kita sebagai seorang Kristiani. Selain Roh Kudus yang membakar dan menuntun semangat evangelisasi, kita yang lemah dan terbatas ini tetap butuh dievangelisasi oleh mereka yang kecil, lemah, miskin, tersingkir, dan menderita.

SEKIAN. BERKAH DALEM