Surat Konsilium Desember 2015

Kepada Saudara Octavian,
Sekretaris Senatus Jakarta.

Yang Terkasih Saudara Octavian Elang,

Atas nama Konsilium dan pribadi, saya ingin menyampaikan salam hangat kepada Ketua, Pemimpin Rohani, dan semua perwira dan anggota dari Senatus Jakarta.

Pada Rapat Konsilium Nov 2015, banyak sekali hadirin yang hadir, termasuk seorang pastor dari Zambia, pastor dari Hong Kong dan juga 10 orang koresponden dari Madrid, Spanyol. Juga hadir seorang muda dari Belfast Irlandia yang sekarang adalah seminaris Dominikan. Semuanya disambut hangat oleh Saudari Sile Ni Chochlain, Ketua Konsilium yang membawakan bacaan rohani dari BukuPegangan Bab 17 – Jiwa-Jiwa Legioner yang Sudah Meninggal.

Baru-baruini, dua orang Legioner mewakili Konsilium telah melakukan kunjunganke Kolombia, Amerika Latin.Legio Maria dikenalkan di sana pada tahun 1947. Sekarang Bogota mempunyai 30,000 orang anggota aktif, dan sebuah presidium universitas di sana mempunyai 16 anggota aktif.

Alokusio diberikan oleh Romo Bede McGregor,mengingatkan kita bahwa kita semua satu sama lain dimiliki oleh Yesus Kristus. Kita adalah anggota komunitas Para Kudus, berarti kita terhubung dengan para orang kudus di Sorga dan Jiwa-Jiwa di Api Penyucian. Olehk arena itu, kita harus berdoa untuk mereka agar bebas dari segala penderitaan.Misa Khusus Arwah di bulan November dipersembahkan oleh setiap presidium untuksemua legioner yang sudah meninggal; berarti ada berjuta-juta legioner yang berdoa untuk kita. Dan kita berharap Bapak Frank Duff di sorga juga dapat menjadi perantara doa kita.
Legio Maria di Kenya, Africa merayakan ulang tahun ke-75.

Konferensi Orang Muda diadakan di Dublin selama lebih dari 2 hari di bulan September dihadiri banyak orang dan berjalan dengan lancar. Konferensi Peregrinatio Pro Christo diadakan padatanggal 7 November dihadiri oleh 240 orang. Banyak laporan menarik dari berbagai projek yang disampaikan.Misa kudus juga diadakan di malam harinya.

Sebuah ruangan di dalam gereja paroki di Phibsboro, Dublin baru-baru ini diberkati oleh Bapa Uskup Diarmuid Martin dan dipersembahkan untuk mengenang Bro Duff. Pada masa mudanya Bro Duff adalah anggota paroki ini.

Mendekati akhir tahun ini dan seraya menantikan Natal dan tahun baru, kita paralegioner sebaiknya merefleksikan Janji Legio yang telah kita buat pada akhir 3 bulan masa percobaan dan telah kita sampaikan kepada Allah Roh Kudus. Mari kita berharap agar kita semua selalu setia dalam menepati janji kita.

Saya akan senang untuk menerima sisa notulensi yang belum dikirim dan data statistic senatus yang telah saya minta pada surat terakhir konsilium saya

SemogaTuhan memberkati kitas semua
Catherine Donohoe
Koresponden Konsilium

Korona Adven / Lingkaran Adven

Lingkaran adven atau Korona Adven mempunyai empat lilin. Praktik membuat lingkaran adven ini berasal dari Jerman yang kemudian berkembang dan dilakukan di dalam gereja di banyak daerah. Berbagai makna kemudian dilekatkan pada simbol-simbol yang digunakan dalam lingkaran adven itu.

Empat lilin itu melambangkan keempat minggu dalam Masa Adven, yaitu masa persiapan kita menyambut Natal. Tiga lilin berwarna ungu, yang menyimbolkan pertobatan dan penantian. Sedangkan lilin minggu ketiga Adven berwarna merah muda, yang menyimbolkan sukacita. Minggu ketiga Adven yang disebut Minggu “Gaudete” atau Minggu “bersukacitalah”, mengajak umat untuk bersukacita karena kedatangan Sang Penyelamat semakin dekat.

Lilin dalam lingkaran adven ini dinyalakan mulai Minggu Adven pertama. Setiap minggu dinyalakan tambahan satu lilin, sehingga banyaknya lilin yang bernyala menjadi tanda progresif bahwa kelahiran Sang Terang Dunia semakin mendekat. Hal ini mengingatkan kita untuk menyediakan palungan di dalam hati kita agar Kristus bisa dilahirkan kembali dalam diri kita. Maka, lingkaran adven menjadi bagian persiapan rohani menyambut kedatangan Sang Mesias.

Di beberapa daerah, ditambahkan lilin kelima berwarna putih yang lebih besar dan diletakkan di tengah lingkaran. Lilin putih ini melambangkan Kristus yang adalah “Terang yang telah datang ke dalam dunia” (Yoh 3:19-21). Lilin putih ini dinyalakan pada Misa malam Natal sebagai lambang bahwa masa penantian telah berakhir karena Juruselamat telah lahir.

Simbolisasi lainnya kiranya juga perlu dimengerti. Digunakan lingkaran dan bukan bentuk lain, karena lingkaran dimaknai sebagai simbol dari Allah yang abadi yang tidak mempunyai awal dan akhir. Lingkaran ini dibungkus dengan daun-daunan hijau (pakis, pinus, salam), karena hijau melambangkan hidup. Kristus adalah Sang Hidup itu sendiri. Dia telah wafat, tetapi hidup kembali dan tetap hidup.

Kedua, pada abad XVI, lingkaran adven juga dipasang dalam rumah-rumah keluarga Kristiani. Maknanya, alangkah baiknya jika setiap keluarga memasang lingkaran adven. Lingkaran ini bisa digantung atau diletakkan di atas meja. Biasanya diletakkan di tempat yang mudah dilihat oleh seluruh anggota keluarga. Lingkaran adven ikut menyemarakkan suasana dan membangkitkan semangat persiapan menyambut kelahiran Yesus dan kedatangan Kristus yang kedua pada akhir zaman.

Sumber :Pastor Dr Petrus Maria Handoko CM
http://www.hidupkatolik.com/2013/03/04/lilin-adven

Surat Konsilium September 2015

Yth. Sdr Octavian Elang Diawan
Sekretaris Senatus Jakarta,
September 2015

Saudara Octavian yang terkasih,

Atas Nama Konsilium Legionis Dublin dan atas nama saya pribadi, saya mengirim salam hangat dan doa kepada Ketua Senatus dan Pemimpin Rohani, Romo Petrus Tunjung Kesuma, semua perwira dan anggota Senatus. Saya berterimakasih untuk Notulensi di bulan Feb, Mar, dan April 2015 yang telah saya terima dan saya menantikan notulen senates yang berikutnya.

Kehadiran perwira di bulan April sangat baik. Notulensi juga mengabarkan mengenai berbagaimacam tugas menarik yang telah dilaksanakan. Saya sangat senang membaca berita katekese di Jakarta dimana telah membuat beberapa orang bertobat dalam sakramen pengakuan dosa. Juga mengenai usaha-usaha Regia Medan untuk mempromosikan evangelisasi.

Usaha Senatus juga patut dihargai dalam memastikan kunjungan ke dewan-dewan dan presidium-presidium dapat terlaksana untuk menghidupkan kembali presidium-presidium yang tidak aktif lagi.

Saya menantikan laporan tentang Temu Kaum Muda (untukumur 17-35 tahun) yang akandilaksanakan tanggal 16-18 Oktober nanti.

Terimakasih untuk Saudari Audrey Isabella yang telah terpilih sebagai sekretaris 2 untuk menerima tanggungjawab mulia ini. Mohon agar dikirimkan nama lengkapnya untuk pengesahan pemilihannya.

Saya juga akan senang untuk mendengar kelanjutan dari Website Senatus Jakarta.

Padarapat Konsilium Legionis yang barusaja dilaksanakan tgl 20 September lalu, ada sejumlah pastor dan juga tamu-tamu dari negara lain. Sdr dan Sdri McGauran telah memberikan laporan atas kunjungan merekake Manila, Filipina dalam perayaan ulang tahun Legio ke 75 di sana.

Romo Bede dalam alokusionya mengatakan bahwa merekruit orang lain menjadi anggota legio adalah sebagian dari tugas setiap legioner, dimana itu akan menjadi sumber rahmat bagi kita semua. Dan karena kita saling mengasihi dan peduli terhadap sesama kita, maka kita harus mencoba dan menolong mereka untuk mendapatkan rahmat yang besar ini juga.

Pada Minggu lalu, kami melaksanakan Ziarah nasional tahunan legiomaria ke tempat suci di Knock. Ini adalah suatu kegiatan yang sangat baik dan dihadiri oleh sangat banyak orang termasuk Uskup Tuam dan Dubes Vatican dan banyak pula pastor yang hadir.

Saya akan senang jika dapat diupdate beberapa hal berikut ini:
1. Apakah proses pendirian Regia di Kalimantan telah berjalan?
2. Di mana posisi penterjemahan buku pegangan untuk saat ini dan buklet Some handbook Reflections?
Saya juga mengharapkan dapat menerima notulensi rapat setelah April 2015.

Sampai jumpa dan saya berharap semuanya mendapatkan rahmat dan berkat surgawi.

Catherine Donohoe
Koresponden Konsilium

 

Surat Konsilium Oktober 2015

Kepada: Sdr. Octavian
Sekretaris,
Senatus Jakarta Legio Maria

Dear Sdr. Octavian,

Salam dari Konsilium dan dari saya, kepada Ketua, Pemimpin Rohani dan seluruh perwira serta anggota Senatus Jakarta.

Saya mengucapkan terima kasih untuk salinan Notulensi Senatus sampai pada bulan Juli 2015 dan saya menunggu Notulensi selanjutnya. Terima kasih atas perhatiannya dalam menyelesaikan semua tugas dengan baik.

Pada pertemuan Konsilium di bulan Oktober, Romo Bede McGregor, Pendamping Rohani kami, memimpin ibadat. Dan di antara para Pastor yang hadir, hadir pula Pastor dari Mesir. Pada pertemuan ini juga hadir legioner dari Senatus Birmingham (Inggris), Lisbon (Portugal), dan 2 perwakilan dari Filipina.

Bacaan Rohani diambil dari Buku Pegangan Bab ke-7 tentang “Para Legioner dan Tritunggal Maha Kudus”. Dalam alukusionya, Bapa Bede mengutip kalimat “seperti halnya bernapas bagi tubuh manusia, demikianlah pentingnya doa Rosario bagi Legio Maria”. Pada Pentakosta, para rasul berdoa bersama dengan Bunda Maria yang merupakan “teladan dari penyerahan diri secara total”. Doa Rosario adalah Kristosentrik karena bersama Maria kita merenungkan Putranya yang Ilahi. Sementara, Roh Kudus merupakan jiwa bagi Legio Maria, yang memegang peran utama dalam evangelisasi (pewartaan injil). Kita harus mencoba dan mempromosikan doa Rosario mengingat bahwa ketika kita mendoakannya, Maria Ibunda Yesus juga turut berdoa bersama kita.

Selama bulan November, setiap presidium wajib melaksanakan Misa yang ditujukan bagi jiwa-jiwa para mendiang legioner di seluruh dunia.

Sr Janet Lowthe (yang juga seorang legioner) menjadi wakil dari Konsilium pada upacara di Ghana, Afrika Barat, yang merayakan 75 tahun Legio Maria di Negara tersebut. Beliau juga sekaligus mengikuti pertemuan dengan Hierarki yang terdiri dari para legioner pendahulu.

Ada saran bahwa kita harus mempromosikan budaya hidup “Memorare” doa kepada Maria, Bunda Allah.

Saya berharap perekrutan auksilier demikian juga anggota-anggota baru terus dilakukan. Doa dari para auksilier merupakan dukungan spiritual bagi para anggota aktif. Demikian pula kesatuan dengan para auksilier akan membantu menyemangati mereka.

Permintaan Konsilium untuk Data
Konsilium meminta agar dapat diberikan pernyataan yang menunjukkan kekuatan Senatus di teritori di mana ia bertanggung jawab, contohnya: jumlah Regia, Komisium, Kuria, serta Presidium.

Saya menunggu balasan anda segera.
Allah memberkati kita semua.

-Catherine Donohoe
( Concilium correspondent )

Kehormatan Seorang Legioner

Bacaan Rohani : Buku Pegangan Legio Maria Hal 114, Bab 17 “Jiwa-jiwa legioner yang sudah meninggal”

Kehormatan kita terletak pada tuntasnya menjalankan hidup sebagai seorang legioner. Untuk itu perlu dimengerti bahwa ber-legio bukanlah sekedar berkegiatan mengisi hidup, melainkan sebuah cara hidup.

Legio Maria sesungguhnya adalah wadah pendidikan, penyiapan, dan pembentukan bagi kita untuk dilayakkan menikmati kehidupan abadi kelak. Kadang kita tak mengerti mengapa Legio Maria penuh dengan hal-hal yang kurang mengenakkan. Hal serupa terjadi pada para murid Yesus (Mateus, Bartolomeus, dkk) pada awal mengikuti Yesus. Yesus mendidik, menyiapkan, dan membentuk mereka untuk kehidupan kekal. Kadang Yesus juga ‘tak mengenakkan’ bagi para murid. Pernah Yesus menghardik Petrus dengan kata-kata;”Enyahlah wahai kau iblis!”

Namun para murid itu kini menjadi orang-orang kudus, kita tak lagi menyebut mereka sebagai Mateus atau Petrus, tetapi Santo Mateus dan Santo Petrus, demikian pula dengan para kudus yang lain. Mereka menjadi santo sebagai buah nyata proses pembentukan yang dilakukan Yesus. Legio Maria pun mendidik kita seperti halnya Maria mendidik Yesus agar kita bertumbuh. Menghayati Legio Maria sekedar wadah ber-kegiatan yang penuh aturan adalah sikap keliru. Ber-legio harus menghasilkan pertumbuhan sehingga kita makin mirip Kristus dan layak menyatu dengan Kristus.

Oleh : RD Petrus Tunjung Kusuma

Asal usul Bulan Oktober ditetapkan sebagai Bulan Rosario

Penentuan bulan Oktober sebagai bulan Rosario berkaitan dengan peristiwa pertempuran di Lepanto pada tahun 1571, di mana negara- negara Eropa diserang oleh kerajaan Ottoman yang menyerang agama Kristen. Terdapat ancaman genting saat itu, bahwa agama Kristen akan terancam punah di Eropa. Jumlah pasukan Turki telah melampaui pasukan Kristen di Spanyol, Genoa dan Venesia. Menghadapi ancaman ini, Don Juan (John) dari Austria, komandan armada Katolik, berdoa rosario memohon pertolongan Bunda Maria.

Demikian juga, umat Katolik di seluruh Eropa berdoa rosario untuk memohon bantuan Bunda Maria di dalam keadaan yang mendesak ini. Pada tanggal 7 Oktober 1571, Paus Pius V bersama- sama dengan banyak umat beriman berdoa rosario di basilika Santa Maria Maggiore. Sejak subuh sampai petang, doa rosario tidak berhenti didaraskan di Roma untuk mendoakan pertempuran di Lepanto.

Walaupun nampaknya mustahil, namun pada akhirnya pasukan Katolik menang pada tanggal 7 Oktober. Kemudian, Paus Pius V menetapkan peringatan Rosario dalam Misa di Vatikan setiap tanggal 7 Oktober. Kemudian penerusnya, Paus Gregorius XIII, menetapkan tanggal 7 Oktober itu sebagai Hari Raya Rosario Suci.

Sumber : katolisitas.org

http://www.katolisitas.org/faqs/mei-dan-oktober-sebagai-bulan-maria

Kunjungan ke Sekolah dan Pusat Rehabilitasi Anak Yayasan Bhakti Luhur

Kunjungan ini dilakukan oleh Presidium Regina Coelorum, Paroki Santo Thomas Rasul, Bojong Indah, Jakarta Barat (Komisium Maria Immaculate-Barat 2). Berawal dari cerita salah satu anggota mengenai kondisi sekolah dan anak-anak yang memiliki cacat ganda yaitu fisik dan mental, maka kami pun tergerak untuk datang berkunjung.Terletak di JL RE Martadinata 50B, Ciputat,Tangerang, sekolah yang juga memiliki Panti Asuhan ini cukup luas dan suasananya sangatlah asri.

Di lobi sekolah terpajang hasil mewarnai anak-anak akan Bunda Maria, Rosario, dan St Vincentius A Paulo serta prakarya mereka dalam memperingati Bulan Kitab Suci Nasional yang lalu dan juga jejeran piala atas hasil prestasi para murid. Terasa sekali bahwa mereka didik dengan baik secara spiritual maupun akademis.

Ketika tiba kami langsung menemui Sr Caecilia yang merupakan pimpinan di tempat ini. Kami dibagi berpasang-pasangan datang ke kelas-kelas dan mengikuti proses belajar di sana. Di kelas yang saya ikuti, ada 6 orang anak. 2 di antara mereka belajar mewarnai, ada yang membaca komik, dan ada yang menyusun peralatan sekolahnya. Mereka dibagi menurut hasil tes IQ dalam kelas tersebut ada 2 anak yang hanya mampu mengenal angka 1, namun gurunya bilang “Jika itu kemampuan mereka, ya sudah tidak perlu dipaksa”. Belajar menerima kekurangan orang lain dan tidak memaksakan kehendak kita, itulah pesan moral yang saya petik ketika mengikuti kelas ini.

Sesudah itu anak-anak dan kami yang berkunjung dikumpulkan di Aula, ternyata ada juga Umat Lingkungan Santa Katarina dari Paroki St Andreas yang datang berkunjung. Di Aula, anak-anak mempersembahkan lagu buat kami yang berkunjung. Di situ saya melihat bahwa Tuhan Maha Adil, anak-anak yang secara fisik dan mental memiliki keterbatasan, ada yang tdak bisa melihat namun bisa bermain keyboard dan drum dengan sangat baik serta ada juga yang bisa menyanyikan lagu Mandarin dengan lafal yang baik. Selain itu, mereka memiliki kemampuan lain yang luar biasa, yaitu kemampuan untuk bersyukur. Ketika ditanya, Siapa yang luar biasa baik?Mereka pun serempak menjawab: Tuhan Yesus!

Kami yang awalnya datang berkunjung dengan maksud menghibur mereka malah kami yang terhibur dan kami yang diteguhkan. Kami merasa sungguh bersyukur bisa diberi kesempatan berkunjung, bisa belajar dari mereka yang dengan segala keterbatasannya namun dapat merasakan berkat Tuhan yang begitu melimpah atas diri mereka. Semoga kami yang datang berkunjung tidak hanya berhenti sampai pada kunjungan ini namun juga bisa menjadi perpanjangan tangan Tuhan untuk dapat membagikan kunjungan ini kepada yang lain sehingga semakin banyak orang yang datang berkunjung dan berbagi kasih dengan mereka.

Aku Percaya akan Kehidupan Kekal

gambar

Pengharapan Kristiani

Setelah kita membahas apa yang kita percayai, yaitu dari: Allah Bapa, Allah Putera, Allah Roh Kudus, Gereja, maka kini kita melihat artikel terakhir dari Syahadat, yaitu “Aku Percaya akan kehidupan kekal”. Kehidupan kekal ini adalah kehidupan yang seharusnya dengan dengan penuh pengharapan dinantikan oleh seluruh umat beriman, karena Kristus sendiri telah menjanjikannya sesuai dengan rencana karya keselamatan-Nya. Pengharapan Kristiani mengarahkan pandangan kita kepada perkara-perkara yang di atas (lih. Kol 3:1) yang kekal adanya.

1. Pengharapan akan janji Kristus

Allah menghendaki agar semua manusia memperoleh kehidupan yang kekal (1Tim 2:4), sehingga Ia sendiri mengutus Putera-Nya yang tunggal sehingga barang siapa percaya kepada-Nya tidak akan binasa melainkan memperoleh kehidupan kekal (lih. Yoh 3:16). Demikian pula, Kristus menjanjikan kehidupan kekal bagi umat-Nya (lih. 1Yoh 2:25) dan menganugerahkan rahmat keselamatan ini dengan kedatangan-Nya ke dunia, kerelaan-Nya menderita dan wafat di kayu salib. Kristus berkata bahwa Ia sendiri akan mempersiapkan tempat bagi kita (lih. Yoh 14:2).

Janji ini tidak akan mungkin diperoleh oleh manusia dengan kekuatannya sendiri, namun manusia diberikan jalan untuk mencapainya. Keselamatan ini hanya mungkin dicapai karena Tuhan sendiri telah memberikan kasih karunia kepada umat-Nya (Ef 2:8), iman yang bekerja melalui kasih (lih. Gal 5:6), percaya dan dibaptis (lih. Mrk 16:16). Rahmat Allah ini mengalir kepada umat-Nya melalui sakramen-sakramen maupun dalam bentuk rahmat – baik rahmat pembantu maupun rahmat pengudusan dan juga karunia-karunia Roh Kudus.

Karena yang menghalangi manusia untuk mencapai kehidupan kekal adalah dosa – terutama dosa berat – maka sudah seharusnya Kristus juga memberikan jalan bagi umat manusia untuk memperoleh pengampunan dosa, sehingga manusia tidak kehilangan harapan untuk mencapai kehidupan kekal. Oleh karena itu, berdasarkan rahmat yang mengalir dari misteri Paskah dan kuasa yang diberikan kepada Gereja (lih. Yoh 20:21-23; Mat 16:16-19), maka umat Allah dapat memperoleh pengampunan dan Sorga kembali terbuka bagi umat Allah.

2. Pengharapan berdasarkan iman

Rasul Paulus menegaskan kepada kita bahwa kita harus berpegang pada pengakuan tentang pengharapan kita, karena Kristus – yang adalah Allah – setia terhadap janji-Nya (lih. Ibr 10:23). Karena Allah sendiri menginginkan kebahagiaan kita, maka sudah selayaknya Ia menyediakan segala sesuatu untuk mencapainya. Dengan demikian, kalau kita bekerja sama dengan rahmat-Nya, kita akan memperoleh kehidupan kekal yang dijanjikan-Nya. Santo Agustinus mengatakan, “Saya tidak pernah berharap untuk mendapatkan pengampunan atau Sorga ketika saya berfikir tentang dosa-dosa berat yang saya lakukan, namun saya menaruh pengharapan bahwa melalui jasa Kristus, saya memperoleh keselamatan dengan pertobatan dan melaksanakan perintah-perintah-Nya.”

3. Pengharapan menjadi nyata dengan melaksanakan kehendak Allah

Walaupun Tuhan menginginkan bahwa semua orang diselamatkan, namun kita tahu bahwa tidak semua orang diselamatkan (lih. Mat 7:21-23). Dalam perikop tentang penghakiman terakhir, Yesus mengatakan, “Dan mereka ini akan masuk ke tempat siksaan yang kekal, tetapi orang benar ke dalam hidup yang kekal.” (Mat 25:46) Kesadaran bahwa di samping ada Sorga yang telah dijanjikan oleh Allah, terbentang juga satu kenyataan keberadaan neraka, maka sesungguhnya kita tidak boleh lalai untuk senantiasa melakukan perintah Allah untuk terus bertumbuh dalam kebajikan. St. Bernardus menuliskan “Pengharapan tanpa kebajikan adalah satu kepongahan.” (In Cantica, Serm. 80).

4. Pengharapan dan menghindari dosa

Rasul Paulus, yang sungguh luar biasa dalam karya pewartaan, mengingatkan kita semua agar kita mengerjakan keselamatan kita dengan takut dan gentar (lih. Flp 2:12). Ini disebabkan karena walaupun Allah setia terhadap janji-Nya, namun kita sering tidak setia terhadap Allah dengan dosa-dosa yang kita lakukan. Itulah sebabnya, Gereja Katolik melalui Konsili Trente mengajarkan bahwa tidak ada seorangpun yang mempunyai kepastian yang sempurna bahwa dia akan termasuk dalam bilangan orang-orang yang terpilih atau bahwa dia akan bertekun terus dalam kebajikan sampai ia wafat (Konsili Trente, 6, Kan. 15,16). Rasul Paulus berkata, “Sebab itu siapa yang menyangka, bahwa ia teguh berdiri, hati-hatilah supaya ia jangan jatuh!” (1Kor 10:12). St. Yohanes Krisostomus menuliskan bahwa harapan dan ketakutan adalah teman; ketika mereka meraja, mahkota Sorga secara mudah akan didapatkan.

Dengan demikian, percaya akan belas kasih Allah dan takut akan keadilan Allah, sesungguhnya harus berjalan beriringan. Mengutamakan keadilan Allah sampai menimbulkan ketakutan namun lupa akan belas kasih Allah akan menimbulkan keputusasaan. Sebaliknya, hanya meyakini akan keselamatannya karena belas kasih Allah namun melupakan bahwa Allah yang sama juga dapat menghakimi kita, dapat membuat kita terlena sehingga membawa kita kepada penghukuman kekal.

5. Pengharapan diperlukan untuk keselamatan

Rasul Paulus mengajarkan bahwa kita diselamatkan dalam pengharapan (lih. Rm 8:24). Seseorang yang tidak mempunyai pengharapan akan berputus asa dan tidak akan melakukan perbuatan-perbuatan baik ataupun berusaha menghindari dosa. Tanpa pengharapan, maka seseorang dapat kehilangan semangat untuk berjuang. Oleh karena itu, dalam salah satu tulisannya, St. Agustinus mengajarkan bahwa kekudusan yang membawa kita pada keselamatan didirikan di atas iman, dibangun dalam pengharapan, dan diselesaikan dalam kasih. Setelah kita sampai ke Sorga, maka pengharapan tidak lagi diperlukan karena kita telah sampai pada tujuan.

6. Pengharapan kristiani adalah pemberian Allah yang mengalir dari rahmat pengudusan

Pengharapan Kristiani sebagai salah satu tiga kebajikan ilahi diberikan secara cuma-cuma kepada kita pada saat kita dibaptis, yang olehnya pada saat bersamaan kita juga menerima rahmat pengudusan. Semakin rahmat pengudusan meningkat maka pengharapan Kristiani juga akan meningkat, sehingga pengharapan untuk mencapai kehidupan kekal juga menjadi satu kerinduan.

Apakah Kehidupan kekal

Di dalam perikop tentang penghakiman terakhir, Yesus berkata, “Dan mereka ini akan masuk ke tempat siksaan yang kekal, tetapi orang benar ke dalam hidup yang kekal.” (Mat 25:46) Dua kekekalan ini dihadapkan kepada manusia, yaitu siksaan/kematian kekal dan kehidupan kekal (bdk Ul 30:19). Bagi yang menerima kehidupan kekal, dia akan memperoleh kebahagiaan yang sempurna dan tanpa batas di dalam Kerajaan Sorga, sedangkan yang menerima siksaan kekal akan menerima penderitaan abadi di neraka.

Kebahagiaan abadi di Sorga

Ketika umat Katolik menerima berkat perjalanan sebelum meninggal dunia, pastor akan mendoakan doa penyerahan jiwa sebagai berikut (dikutip dari KGK 1020):

“Bertolaklah dari dunia ini, hai saudara (saudari) dalam Kristus, atas nama Allah Bapa yang maha kuasa, yang menciptakan engkau; atas nama Yesus Kristus, Putera Allah yang hidup, yang menderita sengsara untuk engkau; atas nama Roh Kudus, yang dicurahkan atas dirimu; semoga pada hari ini engkau ditempatkan dalam ketenteraman dan memperoleh kediaman bersama Allah di dalam Sion yang suci, bersama Maria Perawan yang suci dan Bunda Allah, bersama santo Yosef dan bersama semua malaikat dan orang kudus Allah. … Kembalilah kepada Penciptamu, yang telah mencipta engkau dari debu tanah. Apabila engkau berpisah dari kehidupan ini, semoga Bunda Maria bersama semua malaikat dan orang kudus datang menyongsong engkau. … Engkau akan melihat Penebusmu dari muka ke muka…” (Doa penyerahan jiwa).

Dari doa ini, kita melihat bahwa bagi umat Kristen, kematian bukanlah merupakan satu akhir, namun menjadi satu awal untuk memulai hubungan yang lebih erat dengan Allah di dalam kehidupan kekal di Sorga. Bagaimanakah kehidupan kekal ini? St. Thomas Aquinas dalam bukunya – The Aquinas Catechism – menggambarkan kehidupan kekal ini sebagai berikut:

1. Kesempurnaan pandangan akan Allah. Persatuan dengan Allah adalah melihat Allah sebagaimana adanya Dia, melihat Allah muka dengan muka secara jelas dan bukan hanya merupakan gambaran yang samar-samar seperti dari dalam cermin (lih. 1Kor 13:12).

2. Kesempurnaan pengetahuan akan Allah. Kesempurnaan pengetahuan akan Allah memungkinkan manusia untuk dapat mengasihi Allah dengan lebih sempurna.

3. Kesempurnaan pujian kepada Allah. Melihat dan mengetahui Allah yang adalah baik, indah dan benar akan membawa kita untuk dapat memuji Allah dengan sesungguhnya. Dalam bukunya, City of God,  St. Agustinus menuliskan bahwa kita akan melihat, akan mengasihi dan akan memuji Allah.

4. Kesempurnaan penggenapan keinginan. Dalam kehidupan di dunia ini, tidak ada seseorangpun yang dapat menjadi pemenuhan keinginan kita, yang dapat membuat kita bahagia secara sempurna. Di dalam Sorga, Tuhan sendiri akan menjadi pemenuhan keinginan kita. St. Agustinus dalam bukunya, confession, menuliskan “Engkau telah menciptakan kami untuk diri-Mu sendiri, ya Tuhan, dan hati kami tidak dapat beristirahat dengan tenang sampai beristirahat di dalam Engkau.”

5. Kesempurnaan keamanan. Di dalam dunia ini tidak ada kesempurnaan keamanan, karena seseorang yang mempunyai banyak hal dan mempunyai posisi tinggi, akan semakin merasa takut kehilangan apa yang telah dimiliki. Namun, di dalam Kerajaan Sorga tidak ada kesusahan, jerih payah, ataupun ketakutan.

6. Persahabatan dengan para kudus. Di dalam Sorga kita akan mendapatkan persahabatan dengan para kudus yang diwarnai dengan sukacita, karena setiap orang akan memiliki segala sesuatu yang baik bersama-sama. Mereka akan saling mengasihi seperti diri mereka sendiri dan bergembira terhadap kebaikan yang dipunyai oleh orang lain. Dengan demikian, kegembiraan dan kebahagiaan seseorang juga akan menjadi kebahagiaan dan kegembiraan yang lain.

Penderitaan abadi di neraka

Untuk menggambarkan kehidupan di Sorga, Rasul Paulus menuliskan, “Apa yang tidak pernah dilihat oleh mata, dan tidak pernah didengar oleh telinga, dan yang tidak pernah timbul di dalam hati manusia: semua yang disediakan Allah untuk mereka yang mengasihi Dia.” (1Kor 2:9) Sebaliknya, neraka dapat digambarkan sebagai kebalikan dari semua kebahagiaan tersebut. St. Thomas Aquinas menggambarkannya sebagai berikut:

1. Keterpisahan abadi dengan Tuhan. Di dalam neraka maka para terhukum akan terpisah secara abadi dengan Tuhan maupun dengan segala sesuatu yang baik. Ini adalah penderitaan karena kehilangan (pain of loss / poena damni). Kehilangan ini melebihi penderitaan badani. Yesus menggambarkannya sebagai berikut: “Dan campakkanlah hamba yang tidak berguna itu ke dalam kegelapan yang paling gelap. Di sanalah akan terdapat ratap dan kertak gigi.” (Mat 25:30) Kegelapan akan ada di dalam diri terhukum dan juga di luar mereka.

2. Penyesalan hati nurani. Di neraka mereka akan mempunyai penyesalan. Namun penyesalan ini tidaklah berguna, karena penyesalan mereka bukanlah karena membenci dosa, namun penyesalan karena mendapatkan hukuman kekal.

3. Intensitas siksaan inderawi. Kitab Mazmur menggambarkannya demikian, “Seperti domba mereka meluncur ke dalam dunia orang mati, digembalakan oleh maut; mereka turun langsung ke kubur, perawakan mereka hancur, dunia orang mati menjadi tempat kediaman mereka.” (Mzm 49:14) Di dalam neraka akan terjadi penderitaan badani (poena sensus), di mana mereka yang masuk di dalamnya mengalami kematian untuk selamanya.

4. Keputusasaan akan keselamatan. Karena tidak ada pengharapan apapun untuk keselamatan, maka hal ini akan semakin memperberat penderitaan mereka. Nabi Yesaya menuliskan, “Mereka akan keluar dan akan memandangi bangkai orang-orang yang telah memberontak kepada-Ku. Di situ ulat-ulatnya tidak akan mati, dan apinya tidak akan padam, maka semuanya akan menjadi kengerian bagi segala yang hidup.” (Yes 66:24)

Berfokus pada kehidupan kekal mulai dari sekarang

Sesungguhnya kalau kita tahu bahwa Tuhan telah menyatakan kepada kita jalan kehidupan dan jalan kematian, maka sudah seharusnya kita memilih jalan kehidupan yang akan membawa kita kepada kehidupan kekal. Kehidupan kekal ini tidak bisa kita peroleh dengan kekuatan kita sendiri, namun merupakan pemberian Allah, yang harus kita tanggapi secara bebas oleh iman, dengan terus bekerjasama dengan rahmat-Nya, senantiasa berharap kepada janji-Nya, dan terus bertumbuh dalam kasih. Marilah, sekali lagi kita mengarahkan pandangan kita kepada tujuan akhir kita, yaitu kehidupan kekal. Kapan harus kita mulai? Sekarang juga!

Ekaristi: Bekal rohani untuk sampai ke Surga

[Hari Minggu Biasa ke XIX: 1Raj 19:4-8; Mzm 34:2-9; Ef 4:30-5:2; Yoh 6:41-51]

Hari Minggu ini kita mendengarkan kisah Nabi Elia yang melarikan diri ke padang gurun, untuk menviaticum-1-640x360ghindar dari kejaran para suruhan Ratu Izebel yang ingin membunuhnya. Dalam kelelahan dan keputusasaannya, Nabi Elia berseru kepada Tuhan, agar ia dibiarkan mati saja (lih. 1Raj 19:4). Namun Allah mengutus malaikat-Nya untuk memberi Elia makan dan minum, untuk melanjutkan perjalanannya. Dari makanan itu, Nabi Elia dapat bertahan dalam perjalanan empat puluh hari empat puluh malam sampai ke gunung Tuhan.

Suatu saat dalam hidup ini, kitapun  dapat mengalami pengalaman seperti yang dialami oleh Nabi Elia. Kita dapat merasa lelah—karena kesibukan rutin, permasalahan hidup atau karena kelemahan diri kita sendiri—yang mendorong kita menyerah. Namun Tuhan mengutus malaikat-Nya, yaitu Gereja, yang memberikan kita santapan rohani—yaitu Ekaristi—untuk membuat kita bertahan dan dapat melanjutkan perjalanan, sampai ke gunung Tuhan, yaitu Surga. Tak mengherankan, Gereja di abad-abad awal menyebut Ekaristi sebagai Viaticum, artinya: bekal bagi perjalanan jauh. Namun demikian, istilah Viaticum kini lebih dihubungkan sebagai bekal terakhir bagi seseorang di saat ajal, yaitu ketika hendak beralih dari hidup di dunia ini ke kehidupan selanjutnya. Maka bacaan hari ini juga mengingatkan kita pentingnya Ekaristi bagi kita, terutama di saat menjelang kematian. Saat itu kita sungguh membutuhkan kekuatan dari Tuhan sendiri, agar kita dapat mengalahkan godaan untuk menyerah dalam keadaan keputusasaan, seperti yang dialami oleh Nabi Elia. Di saat ajal itulah, kita akan menghadapi godaan terbesar, akankah kita tetap percaya kepada Kristus Juruselamat kita, sementara kita  mengalami puncak penderitaan ataupun rasa kesendirian yang tak terungkapkan. “Sesungguhnya barangsiapa percaya, ia mempunyai hidup yang kekal…. Akulah roti yang turun dari surga. Jikalau seorang makan dari roti ini, ia akan hidup selama-lamanya…” (Yoh 6:47,51). Betapa ini adalah janji Tuhan yang layak kita pegang teguh sampai akhir! Jika kita percaya akan sabda Yesus ini, layaklah kita berusaha sedapat mungkin untuk mengusahakan penerimaan sakramen Ekaristi bagi mereka yang sedang dalam sakrat maut. Betapa luhurnya pengabdian seorang imam yang mau berkorban melakukan apa saja, untuk memberikan Komuni Viaticum ini kepada umat yang membutuh
kannya! Betapa sepantasnya kita bersyukur kepada Tuhan Yesus atas pemberian diri-Nya melalui Gereja-Nya, para imam-Nya, dan sakramen Ekaristi!

Namun Ekaristi bukan hanya Roti hidup yang layak diterima saat menjelang ajal. Tuhan Yesus menghendaki kita  menyambut Dia secara teratur dalam kehidupan kita: setiap Minggu, atau jika memungkinkan, setiap hari. Dengan demikian, kita dapat mengambil bagian di dalam hidup-Nya sendiri, agar kita dapat mengalahkan godaan dan dapat senantiasa hidup dalam rahmat Allah, seturut panggilan kita sebagai anak-anak-Nya.  “Melalui penerimaan Komuni setiap hari, kehidupan rohani menjadi lebih penuh dan jiwa diperkaya dengan kebajikan- kebajikan. Orang yang menerima Komuni menerima tanda yang pasti akan kehidupan kekal” (Paus Paulus VI, Eucharisticum Mysterium, 37). Tentu perkataan ini didasari oleh janji Kristus sendiri, “Barangsiapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia mempunyai hidup yang kekal…, [ia] akan hidup oleh Aku…, ia akan hidup selama-lamanya” (Yoh 6:54,56,58). Sebab dengan mengambil bagian dalam Tubuh dan Darah Kristus, kita diubah oleh-Nya menjadi semakin menyerupai Dia yang kita sambut itu. Hal ini jelas kita lihat dalam kehidupan para orang kudus—yaitu para Santo-Santa—namun juga dalam kehidupan kita di masa ini, asalkan kita mau menyambut Kristus dengan sikap batin yang baik, sebagaimana yang dilakukan oleh para orang kudus itu.

Ketika Hosti diangkat oleh tangan imam, dan yang melalui perkataan Sabda Tuhan, telah diubah menjadi Tubuh Kristus Sang Roti hidup, mari kita memandang-Nya, sambil berkata, “Tuhan, aku mau menerima Engkau, sebagai Roti hidup yang turun dari surga… Biarlah ini menjadi santapan dan bekal bagiku untuk sampai kepada hidup yang kekal dalam kebahagiaan abadi bersama-Mu…” Dan saat Roti Hidup itu kita terima, biarlah kidung Anima Christi ini bergema di hati kita:

“Jiwa Kristus, kuduskanlah aku
Tubuh Kristus, selamatkanlah aku

Darah Kristus, sucikanlah aku
Air lambung Kr
istus, basuhlah aku
Sengsara Kristus, kuatkanlah aku
Yesus yang murah hati, luluskanlah doaku
Dalam luka-luka-Mu sembunyikanlah aku.
Jangan aku dipisahkan daripada-Mu, ya Tuhan.
Terhadap seteru yang curang, lindungilah aku.
Di waktu ajalku, terimalah aku.
Supaya bersama para kudus, aku memuji Engkau,
selamanya.”

Di Balik Peziarahan Maria yang Mengandung

Elegant smiling man standing in the street

Sebagai seorang Katolik, merenungkan sosok Bunda Maria rasanya tidak ada habisnya untuk menemukan kedalaman hidup dari sang Bunda. Namun, sekali lagi merenungkan saja tidaklah cukup, kalau teladan hidup Bunda Maria yang begitu mendalam belum “mendarat“ pada keseharian hidup kita. Momen perayaan Natal adalah kesempatan yang tepat bagi kita untuk bersukacita bersama seluruh umat kristiani, sekaligus menyelami peziarahan awal Bunda Maria sebagai ibunda dari bayi mungil Yesus. Di balik awal peziarahan itu, mari kita melihat satu per satu rangkaian peristiwa yang dihadapi Bunda Maria. Satu keutamaan Bunda Maria dalam peziarahan itu adalah intimitasnya bersama dengan Allah. Intimitasnya bersama dengan Allah terjaga manakala ia berada dalam posisi hidup yang sangat sulit, penuh kecemasan, dan misteri. Rangkaian peristiwa dari penginjil Lukas yang menimbulkan kecemasan bagi Maria bisa kita lihat sebagai berikut: MENGANDUNG TAPI BELUM BERSUAMI (bdk. Luk 1:30-35), MENDAFTARKAN DIRI SAAT MENGANDUNG (bdk. Luk 2:1-5), TIDAK ADA TEMPAT DI RUMAH PENGINAPAN (bdk. Luk 2:6-7). Setidaknya tiga peristiwa di atas, kalau kita kontemplasikan menggambarkan situasi batin Maria yang takut, cemas, bingung, dan mungkin hampir tidak tahu harus berbuat apa.

Awal perjalanan Bunda Maria mulai dari mengandung hingga menjelang kelahiran Putranya, Yesus, sekali lagi tidaklah mudah. Lantas, jalan yang ditempuh Maria selama hidupnya bertahun-tahun adalah tetap “tinggal“ dalam intimitas bersama misteri Putranya. Bahkan, nanti ketika mau dibunuh oleh Herodes, Yusuf melarikan Maria dan Yesus ke Mesir. (bdk. Mat 2:13-15). Inilah kisah hidup Maria yang sekaligus menjadi peziarahan imannya. Situasi yang penuh kecemasan untuk mengemban tugas yang berat dari Allah, ia hadapi justru bukan dengan lari dari kenyataan, melainkan tetap berpegang penuh pada kekuatan Allah yang pasti. “Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu.” (Luk 1:38) Kata-kata itu tidak hanya terucap sambil lalu ketika ia menerima kabar dari Malaikat Gabriel, malahan nyatanya sungguh ia hidupi.

Tidak hanya itu, kita pun meyakini bahwa pada diri Maria ada keutamaan paling kuat, yakni kerendahan hati. Kerendahan hati tentu tidak sama dengan hanya pasrah (yang tanpa berusaha atau berbuat apa-apa). Kerendahan hati nampak dari Bunda Maria dengan seolah ia menjadi seperti tanah subur yang berani “diinjak-injak“ oleh kenyataan. Tetapi karena tanah ini subur, tanah ini dapat memberikan kehidupan segar bagi siapa pun yang ia jumpai. “Model“ teladan Maria inilah yang oleh Paus Fransiskus dikatakan sebagai model evangelisasi Gereja. Manakala, kita memandang Maria, kita berani datang untuk percaya sekali lagi bahwa pada pribadi Maria telah terjadi perubahan dari kecemasan menuju cinta akan Allah (lih. Evangelii Gaudium no. 288) Kiranya perspektif-perspektif terhadap Maria inilah yang cocok untuk menggambarkan situasi batin kita yang cemas, panik, galau, ketika harus menutup tahun 2014 ini. Dan, tentu masih menjadi perjuangan bagi kita sebagai anak-anak Allah untuk sepenuh hati meletakkan masa depan, terlebih dalam menyongsong tahun 2015, bersama-sama dengan Allah pula. Seraya kita juga menyadari bahwa selama ini acapkali dalam situasi cemas dan serba tidak pasti, kita terlalu banyak menuntut dari pihak Allah. Semoga teladan iman Bunda Maria mampu menolong dan mendorong kita untuk mengatasi kecemasan yang masih merongrong di setiap relung-relung hati dan pikiran kita. AVE MARIA.

Oleh: Fr. Joseph Biondi Mattovano