Rutinitas yang Membosankan

Oleh Victoria Suvi Tendiana Lili


Ujian terberat bagi saya selama menjadi legioner adalah kebosanan terhadap ritual rapat dan doa. Pada saat itu selain menjadi legioner, saya juga aktif mengikuti beberapa pelayanan lainnya seperti PD Kharismatik, Sel, Choice, Koor, pembina BIA dan BIR, Lektor, Pemazmur. Saya merasa kegiatan lain jaaauuhhh lebih menarik dan lebih asyik karena tidak banyak melakukan doa ataupun rutinitas seperti Legio Maria. Setelah beberapa lama saya merasa bosan karena tidak merasakan manfaat apa-apa dari ritual doa dan rapat. Saya pikir ini karena saya tidak memahami tujuan dan maksudnya, akhirnya rapat dan doa tidak lagi menjadi prioritas saya. Apabila ada alasan untuk terlambat rapat, saya senaaaaang skali. Lumayan lah….rosarionya tinggal separuh jalan. Pada saat itu saya berpikir yang penting pelayanannya dan tugasnya saya jalankan dengan baik. Apabila ada kegiatan atauu aktivitas lain yang lebih menarik maka saya bolos rapat dengan berbagai alasan. Bagi saya pribadi, alasan-alasan tersebut menjadi pembenaran untuk menghindari rapat dan doa yang menurut saya sangat membosankan.

Hal ini berlangsung cukup lama, sekitar dua hingga tiga bulan. Hingga suatu saat, pada saat rapat, Frater pembimbing rohani yang sekarang sudah menjadi Pastor, menceritakan kesaksiannya mengenai kuasa doa. Beliau sharing bagaimana beliau bergumul tentang suatu hal dan doa menjawab kebimbangannya. Bagaimana kejenuhan beliau atas rutinitas di biara dipulihkan melalui kuasa doa. Bagaimana beliau merasa semakin dekat dan semakin peka terhadap kehendak Allah. Intinya beliau menjelaskan bahwa doa rosario dan rutinitas lainnya adalah nyawa dari segala bentuk pelayanan. Apabila kita kehilangan nyawa maka segala jenis pelayanan apapun bentuknya menjadi sia-sia. Awalnya saya merasa cerita ini sangat klise, terlalu alkitabiah dan terlalu rohaniah sehingga saya berpikir, frater kurang realistis. Saya penasaran ingin mengetahui lebih detail lagi apa yang benar-benar frater rasakan sebagai manusia biasa, bukan sebagai calon imam. Maka selesai rapat saya menghampiri frater dan meminta waktu untuk berbincang-bincang secara pribadi dengan beliau yang ditanggapi dengan penuh sukacita. Reaksi frater ini membuat saya sedikit heran karena sepertinya sukacita yang frater tunjukkan seperti orang yang sedang menemukan barangnya yang hilang.

Hal pertama yang saya tanyakan adalah : “Frater, mengapa frater memilih topik ini untuk dibahas dalam rapat? Apakah ada alasan tertentu yang membuat frater memilih topik ini?” Kemudian Frater menjawab sambil tetap tersenyum : “Tadi pada saat doa pagi dan bermeditasi, saya mendoakan seluruh anggota Legio Maria bimbingan saya. Kemudian pada saat hening, saya merasa seperti ada yang mengingatkan bahwa ada Legioner yang perlu mendengar kesaksian saya mengenai kuasa doa. Dia sedang merasa jenuh, bosan dan tidak mengerti, belum dapat memahami apa manfaat dari doa dan rutinitas rapat Legio, sehingga menjadi semacam beban bagi Legioner itu.”

Saya terdiam untuk beberapa saat. Jawabannya sangat mengejutkan bagi saya yang saat itu sangat-sangaaaat jarang berdoa. Kemudian saya bercerita bahwa setiap kali berdoa rosario dan mendengarkan firman, saya merasa mengantuk, seperti waktu SD mendengarkan penjelasan guru di kelas. Walaupun tahu bahwa apa yang dijelaskan adalah hal yang baik dan benar juga wajib kita ketahui, tapi tetap saja semua itu terasa begituuuuu membosankan dan rasanya hanya buang-buang waktu saja. Kemudian frater bertanya, apakah pada saat kuliah saya masih merasakan apa yang saya rasakan pada waktu SD? Hhhmmm…..kemudian saya menjawab : “Kadang-kadang, sih, tapi sudah jarang karena mata kuliah di kampus menurut saya jauh lebih menarik daripada mata pelajaran waktu SD.”

Frater menjawab, pernahkah terpikir olehmu bahwa itu bukan karena mata kuliahnya lebih menarik daripada mata pelajaran di SD, tapi karena pola berpikirmu yang sudah jauh lebih dewasa dalam mengevaluasi materi pembelajaran? Demikian pula dalam hal iman…. Semakin kita dewasa dalam iman, maka semakin dalam pemikiran kita pada saat kita membaca firman ataupun berdoa, sehingga pada akhirnya kita akan bertumbuh dan semakin bijak dalam mengevaluasi Firman serta pentingnya berdoa. Kedua hal itulah yang dapat mendekatkan diri kita pada Allah, membuat kita semakin mengerti dan memahami apa sebenarnya yang jadi kehendak Bapa, bukan kehendak kita. Dengan itu juga kita dapat menyaring dan memilah, tidak memakai kehendak Allah sebagai alibi maupun pembenaran atas hal-hal yang salah dan menyesatkan. Berdoa dan mendengarkan Firman adalah makanan rohani yang paling mendasar.

Bagaimana kita dapat memiliki energi yang cukup untuk berkarya apabila kita jarang berdoa dan mendengarkan Firman? Bagaimana saya bisa membedakan kehendak saya sendiri dari kehendakNYA tanpa berbincang dan bertanya pada Allah? Bagaimana kita dapat memahami dan menyadari untuk apa kita ada disini, melakukan pelayanan? Saya pun langsung terdiam karena bagi saya kata-kata frater tadi sangat dalam dan mengena.

Pertanyaan-pertanyaan itu menjadi PR perenungan saya sampai saat ini.

Apakah saya sudah dewasa dalam iman?

Apakah saya sudah cukup dekat dengan Allah untuk memahami apa yang jadi kehendakNYA?

Apakah alasan dan tujuan pelayanan saya sudah benar? Bukan semata-mata karena keasyikan dan kepuasan saya saja? Seringkali saya menetapkan tujuan awal hanya untuk memuaskan diri sendiri. Saya mencuri kemuliaan Allah! Anda?

Menjadi anggota koor bisa dikatakan menjadi konsistensi pelayanan yang bisa saya berikan hingga saat ini. Selain karena memang suka bernyanyi, saya juga merasa memuji Tuhan dengan nyanyian merupakan wujud ucapan syukur yang paling pribadi yang dapat saya persembahkan demi kemuliaan Allah. Mulai dari koor Legio, koor Laudate, koor anak-anak, koor lingkungan dan koor wilayah, semuaaa saya ikuti. Beragam pengalaman berbeda juga sudah saya alami. Pada saat itu sebagai anggota koor Laudate yang sebagian besar anggotanya sangat konsisten dan berlatih secara profesional, sampai bisa ke Roma untuk mengikuti Choir Competition, saya mengalami jetlag dengan kondisi yang jaaauuuuuh berbeda di koor Legio Maria.

Pada saat itu Koor Legio meminta saya untuk membantu melatih dan menjadi dirijen mereka. Melatih Koor memiliki beban yang jauh berbeda dari hanya sekedar menjadi anggota. Apalagi anggota koor Legio pada saat itu sangat-sangat tidak konsisten dalam berlatih, sering tidak hadir pada saat latihan, mengeluh apabila harus latihan agak lama dan sibuk membicarakan hal-hal lain selama berlatih. Sedangkan apabila pada saat tampil jelek, maka saya merasa saya harus menanggung malu karena berdiri di depan sebagai dirijen dan dilihat oleh umat. Walaupun tugas itu saya terima dan saya mencoba menjalankannya dengan baik, tapi tetap saja saya banyak berkeluh kesah pada Wawan, sang ketua koor legio. Akhirnya saya menjalani semua itu dengan berat hati, karena merasa hanya saya dan ketua yang harus memikul beban dan tanggung jawab ini. Sementara hanya sedikit dari anggota Koor Legio yang sungguh-sungguh peduli dan sungguh-sungguh berlatih. Kebanyakan hanya menjalankan latihan sebagai sebuah rutinitas mengisi waktu dan menjalin relasi dengan teman-teman sesama Legioner.

Sekali waktu, selesai bertugas dalam misa, Pastor Paroki yang terkenal cukup ahli dalam bernyanyi dan mengaransement lagu, menghampiri tempat koor lalu berkata : “Terima kasih yaaa…..sudah lebih baik dari sebelumnya, latihan lagi supaya lebih baik lagi yaaa…. “ Kira-kira begitulah yang diucapkan Pastor Boogartz. Saat itu saya merasa itu bukanlah suatu pujian, tapi merupakan dorongan semangat untuk bisa lebih baik lagi. Tapi yang saya tangkap menjadi berbeda, merasa gagal, malu, sedih….saya merasa sudah berusaha sebaik mungkin tapi tetap saja hasilnya kurang memuaskan dan tidak sebaik yang saya harapkan. Saat itu saya sangat arogan dan menilai bahwa ini semua terjadi karena ketidakseriusan anggota-anggota dalam berlatih. Saya merasa kecewa dan putus asa….merasa apa yang sudah saya lakukan, waktu, tenaga,usaha….semuanya sia-sia! Rupanya perubahan mimik muka saya ditangkap dengan baik oleh Ketua. Pada saat yang lain sudah pulang, seperti biasa kita berdua bersama-sama membereskan partitur. Tiba-tiba Wawan menepuk bahu saya sambil berkata : “Semangat yaaa…. kita sudah lebih baik dari sebelumnya, pastor pun mengakui hal itu. Tidak ada yang sia-sia, OK?” Lalu saya bertanya, apa yang membuat dia selalu bersemangat untuk mengurusi hal-hal yang berhubungan dengan koor; selalu datang latihan walaupun tidak terlalu bisa bernyanyi, selalu menyemangati dan mengajak teman-teman sebanyak mungkin untuk bergabung, sementara anggota yang lain banyak yang tidak peduli, banyak juga yang tidak hadir saat tugas tanpa memberi kabar, sehingga tidak jarang kita bertugas hanya tiga suara, tanpa tenor, atau tanpa bass, atau tanpa alto. Saya merasa hanya berjuang berdua saja, tidak mendapat support dari anggota yang lain, sedih, capek,….

Foto diambil dari dailymightsoul.files.wordpress.com

Lalu Ketua Koor bilang begini : “Saya hanya merasa Gereja membutuhkan kita, sejelek apapun koor kita, jauh lebih baik daripada tidak ada koor yang mengisi di dalam misa. Semua yang kita lakukan bukan untuk mendapatkan penghargaan ataupun pujian, tapi kita bernyanyi untuk kemuliaan Allah, makanya saya selalu berusaha memberikan yang terbaik. Waktu yang saya sisihkan bukanlah waktu luang, tapi waktu yang diluangkan untuk Tuhan. Tenaga, pikiran yang diberikan juga bukanlah sisa dari kegiatan lain, tapi menjadi yang utama, supaya bisa memberikan yang terbaik menurut Allah, bukan menurut penilaian orang-orang. Jangan berharap orang lain menyemangati kita, tapi kita harus jadi penyemangat bagi orang lain. Always leading by doing….karena dalam prosesnya, saya yakin dengan itu akan semakin banyak teman-teman yang terpanggil untuk melayani dan berkarya di ladang Tuhan. Kalau kita tidak bisa membangkitkan jiwa melayani, setidaknya janganlah menjatuhkan semangat orang lain. Jugan pernah menuntut ataupun menunggu orang lain yang memulai, selalu mulailah dari diri kita sendiri.”

Kata-kata Ketua Koor Legio begitu mengena dan menohok saya pada saat itu hingga masih saya ingat sampai sekarang.

Apakah saya menjalankan rutinitas latihan hanya semata-mata sebagai rutinitas saja??

Lalu apa bedanya saya dengan anggota koor yang datang hanya untuk bersosialisasi dan mencari teman??

Pada saat saya merasa bosan….jenuh…dengan segala rutinitas latihan, apakah saya ingat tujuan awal saya mengikuti kegiatan ini??

Apakah rutinitas menjatuhkan atau justru menguatkan saya?? Apa yang saya cari ?? Apa yang anda cari??


Victoria Suvi Tendiana Lili adalah salah seorang trainer pada LDK Senatus Bejana Rohani 2018. Beliau pernah menjadi legioner di Bandung dan kini aktif sebagai pendidik dan praktisi pengembangan diri.

Pelayanan Palsu

Oleh Victoria Suvi Tendiana Lili


Banyak orang melakukan sesuatu tanpa dasar maupun tujuan yang jelas. Bahkan ada yang tidak memiliki tujuan sama sekali. Atau memiliki tujuan, tapi salah! Bagaimana kita bisa tahu kalau tujuan kita salah? Ketika kita bangga dengan apa yang kita lakukan tapi kita merasa bahwa semua itu karena kehebatan kita. Ohhhh….I’m so powerful !! I’m sooo smart !! Coba kalau tidak ada AKU, mana bisa sukses?? Pada saat kita merasa hebat, kita tidak akan mau belajar, kita akan sulit untuk menerima pendapat, kritik maupun masukan!! Di saat itulah kita akan menutup diri kita dari berbagai hal positif yang dapat membuat kita bertumbuh dan jadi lebih baik. Itulah yang saya alami selama menjadi laskar Kristus. Saya menjadi arogan! Saya menjadi bodoh! Saya menjadi sombong! Semua itu karena saya merasa saya tahu dan bisa melakukan segalanya!

Dulu saya berpikir, hobi saya dalam berorganisasi membuat saya menjadi pribadi yang baik, saya menjadi lebih cerdas daripada teman-teman lainnya, saya menjadi lebih populer karena mengenal dan dikenal banyak orang. Saya pikir ini adalah tujuan yang baik. Sampai pada suatu saat saya mengalami kelelahan mental dan fisik. Terutama mental! Pelayanan hanya sekedar menjalankan tugas, tanpa memiliki makna apapun bagi perkembangan pribadi saya. Hal-hal yang saya nikmati hanya yang bersifat kebahagiaan semu, seperti pujian dan ucapan terima kasih dari orang-orang yang saya bantu, sampai saya lupa, mengapa saya ada disini?? Untuk APA?? Untuk SIAPA??

Pengalaman bertugas pertama kali adalah yang paling berkesan bagi saya. Pada saat itu saya didampingi legioner senior untuk pergi mengunjungi tempat pemulung di belakang Jalan Sunda, Bandung. Pemulung yang kita kunjungi pada waktu itu berusia sekitar 55 thn, muslim dan berperan sebagai bandar sampah-sampah plastik di wilayah itu. Waktu hampir tiba di lokasi, tiba-tiba terciumlah bau tajam yang sangat menyengat. Saya rasanya ingin muntah. Bahkan bau itu masih tercium sewaktu saya mencoba menutup hidungku dengan tangan. Lalu saya bertanya pada senior saya dengan perasaan kesal karena berpikir kita kurang persiapan. Masa legioner senior yang sudah sangat berpengalaman tidak berpikir untuk membawa masker?? Aaahh…. ternyata Legio Maria itu bukan oranganisasi profesional yang keren seperti yang kubayangkan. Kekecewaan pun muncul.

Karena lokasi parkir motor tidak jauh dari bedeng tempat pemulung yang kita kunjungi, senior saya itu menjelaskan sekilas dengan berbisik bahwa kita harus menghormati perasaan orang-orang yang bekerja disitu dan dia memberitahu saya untuk bernafas melalui mulut. Alamaaaakk…. Pertimbangan macam apa pula ini?? Walaupun hati kecil saya membenarkan penjelasan singkat itu, tapi saya terlalu sombong untuk menerima bahwa itu adalah cara yang benar. Menurut saya banyak cara yang bisa kita lakukan untuk menghormati orang lain.

Ilustrasi. (Foto diambil dari thepeninsulaqatar.com)

Setelah parkir kita lalu menyapa dan bersalaman dengan orang-orang yang sedang bekerja tanpa sarung tangan. Bayangkan!! Mereka yang bersalaman dengan saya saat itu sedang memilah sampah!  MEMILAH SAMPAH!! Reflek saya mencari keran ataupun sumber air untuk mencuci tangan! Dan kalian tahu apa yang saya lihat saat itu?? Saya melihat beberapa orang yang sedang mencuci gelas di sebuah ember kecil yang berisi air berwarna kekuning-kuningan. Saya tidak tahu dari mana mereka mendapatkan airnya itu!

Di tengah pikiran yang masih berkecamuk, senior saya menghampiri seseorang  lalu duduk di kursi kotor yang sudah rusak di depan sebuah bedeng. Karena pintu bedeng itu terbuka, saya dapat melihat  satu buah kasur kapuk yang sudah sangat tipis dan satu buah meja tua reyot yang kecil.  Salah satu dari kaki meja itu tampak miring dan tidak lurus seperti ketiga kaki lainnya. Lalu pemulung itu mengambil meja kecil itu untuk menaruh gelas air yang disuguhkan kepada kami. Hhmmm…. air apa itu ya kira-kira? Warnanya seperti teh, tapi sangat bening untuk ukuran air teh yang saya tahu. Apakah cukup aman untuk diminum?? Apakah mereka akan tersinggung kalau tidak saya minum?? Pada saat saya masih sibuk dengan berbagai pikiran yang ada di kepala saya, senior saya dengan santai berbincang-bincang sambil memperkenalkan saya sebagai anggota baru Legio kami. Tibalah saat dimana kami dipersilahkan untuk minum. Waduuh!! Apa yang harus saya perbuat?? Hal terbaik yang bisa saya lakukan saat itu hanya mengucapkan terima kasih.

Lalu seniorku bertanya : “Apakah ada yang bisa kami bantu, Pak?” Lalu saya memandangnya dengan bingung sambil berpikir, apa yang bisa saya lakukan di tempat ini?? Untuk bernafas melalui mulut saja sudah sangat sulit, apalagi melakukan itu sambil memilah sampah. Ya Tuhan….!! Lalu pemulung itu bilang, kebetulan hari itu ada beberapa pekerja yang masih berkeliling sehingga mereka perlu bantuan untuk memilah botol-botol dan gelas-gelas plastik yang akan ditimbang. Oh my God !! Apa saya tidak salah dengar?? Saya termenung sesaat, kemudian dengan sigap senior saya menarik tangan saya untuk mengikuti dia ke salah satu area dimana terlihat tumpukan sampah plastik yang cukup jauh posisinya dari tumpukan sampah organik lainnya. Pada saat itu saya sedikit merasa bersyukur karena area itu baunya tidak setajam di area parkir motor tadi. Ternyata disitu kami harus mengelompokkan botol bekas dengan tutupnya dan gelas plastik secara terpisah. Tentu saja kita harus melakukan itu tanpa sarung tangan. Ingin rasanya menghela nafas, tapi udara di sekitar tempat itu tidak akan memberikan kelegaan maupun meringankan beban yang saya rasakan saat itu. Perlahan-lahan saya mengikuti apa yang senior saya kerjakan. Akhirnya semua itu mampu menenangkan pikiran dan perasaan yang tidak karuan. Setelah kurang lebih 30 menit kami bekerja, tiba-tiba mulai turun hujan, lalu pemulung tadi memanggil kami untuk berteduh di bedeng tempat kami berbincang-bincang tadi dan mempersilahkan kami untuk minum. Karena lelah dan kehausan, akhirnya saya tidak memikirkan lagi apakah minuman tersebut cukup aman untuk diminum atau tidak. Ternyata betul, itu adalah teh manis dan rasanya tidak seburuk yang saya bayangkan sebelumnya. Setelah hujan reda kami pun berpamitan. Pada waktu itu saya ragu apakah pilihan saya untuk menjadi legioner adalah pilihan yang tepat, ya? Apakah saya bisa menjalankan ini sebagai tugas rutin? Saya tidak merasa ada manfaat yang cukup berarti bagi mereka dengan kunjungan seperti itu. Kenapa kita tidak memberikan penyuluhan atau bimbingan agar mereka bisa lebih memperhatikan kebersihan dengan menggunakan sarung tangan, atau membuatkan saluran air bersih, menyumbang alat makan atau kasur atau meja dan kursi? Itulah beberapa pertanyaan yang saya ajukan pada senior saya pada saat melanjuntukan perjalanan menuju sebuah warung untuk makan siang. Disana kami makan sambil berbincang-bincang membahas kunjungan kami. Banyak pertanyaan yang saya ajukan, diantaranya: Apakah kunjungan seperti itu ada manfaatnya untuk mereka? Mengapa kita hanya berbincang-bincang serta membantu sekedarnya saja sehingga terasa seperti berbasa-basi? Apakah kita boleh membantu mereka  dalam hal lain supaya mereka bisa dapat hidup lebih layak? Dan seniorku menjelaskan dengan sabar dan jelas sampai saya benar-benar paham dan mengerti.

Senior saya itu lalu menjelaskan bahwa mereka adalah orang-orang yang tersisihkan dan sering terlupakan, sering dihina dan dianggap kotor, padahal jasa mereka sebetulnya sangat besar. Coba bayangkan tanpa orang-orang seperti mereka, sampah-sampah akan berserakan dimana-mana, masuk ke got sampai akhirnya menyumbat, sungai-sungai akan peeenuuuuhhh dengan sampah, banjir dimana-mana. Memaaaang siiiihh….sudah ada dinas kebersihan dari pemerintah untuk mengumpulkan  sampah rumah tangga dan industri supaya kita tidak hidup di tengah tumpukan sampah. Tapi apa jadinya kalau tidak ada pemulung-pemulung itu? Dengan kebiasaan kita membuang sampah sembarangan, berpikir : “Aahh…hanya satu plastik saja koq yang dilempar ke sungai, aaahh… ini Cuma selembar tissue saja koq yang kubuang di pinggir jalan..” Lama kelamaan sampah yang mengalir ke laut menjadi semakin banyak dan menumpuk, global warming akan semakin parah dan semakin merusak. Senior saya menjelaskan bahwa dengan kehadiran kita, kita berharap mereka akan merasa lebih diterima di masyarakat. Mereka akan merasa terapresiasi, maka kita perlu menemui mereka dengan segala kerendahan hati, tanpa membahas masalah agama kecuali apabila mereka bertanya, menunjukan bahwa kita tidak berbeda dengan mereka. Bahwa kita itu SAMA. Sama-sama melayani tapi dengan bentuk yang berbeda. Bantuan yang kita berikan merupakan bentuk apresiasi terbesar terhadap apa yang mereka lakukan selama ini, jauuuuh melebihi kebutuhan materi yang sempat terlintas di pikiran saya tadi. Lalu senior saya juga bercerita bahwa pemulung yang berbincang-bincang dengan kita itu tadi adalah kepala/bandar sampah plastik yang cukup besar di Bandung. Dia memiliki lima orang anak yang semuanya bersekolah di perguruan tinggi negeri terkemuka yang tidak berhasil kami tembus. Pada saat itu dua di antaranya sudah lulus, dua orang masih kuliah dan yang bungsu baru saja diterima di ITB. Sya sangat terkejut. Dimana mereka tinggal? Karena saya tidak melihat ada bedeng lain disana. Ternyata keluarganya tinggal di sebuah rumah di komplek perumahan sederhana tapi sangat layak untuk dihuni. Melihat reaksi terkejut saya, senior saya bertanya, Apa yang membuat saya bisa menghargai seseorang? Apakah harta? Pendidikan? Penampilan? Sifat/karakter? Atau karya? Apa yang saya rasakan ketika harus menjadi bagian dari orang-orang seperti mereka? Apakah menurut saya ada gunanya melakukan pelayanan seperti ini? Apakah kesulitan dan tantangan akan membuatku mundur?  Pertanyaan yang sama saya ajukan pada anda!

Bagaimana anda melihat diri anda sendiri?

Pengalaman tugas lain yang sangat berharga dan menjadi konflik batin di dalam diri saya untuk beberapa lama adalah tugas kunjungan umat. Pada saat itu umat yang kita kunjungi adalah seorang nenek tua berumur sekitar 85 tahun yang tinggal di sebuah gubug di gang sempit dekat rel kereta api Jalan Merdeka, Bandung. Gubug seluas kurang lebih 3m x 4m tersebut sangat sederhana, terlihat kumuh tepatnya. Di dalamnya hanya ada satu ranjang reyot dengan kasur kapuk yang sudah sangat tua, satu lemari baju kecil dari kayu, satu meja kecil yang sudah usang, dan dua kursi reyot di sampingnya. Dapur dan kamar mandi terletak di luar pintu belakang, seperti beranda kecil. Disitu hanya ada satu kompor minyak dan satu baskom dekil untuk mencuci. Kamar mandinya pun tidak memiliki bak mandi, hanya ada sebuah ember tua untuk menampung air dari keran dengan gayung yang sudah pecah-pecah.

Saat pertama mengunjungi nenek tersebut, saya melihat beberapa helai baju dan kain yang berserakan di kasur. Saya menduga baju-baju itu berfungsi sebagai selimut pada saat nenek itu tidur, karena saya tidak melihat ada selimut disitu, hanya kain batik yang tipis dan sudah belel. Pada kunjungan umat yang pertama saat itu, saya didampingi oleh Ketua Presidium. Setelah dipersilahkan duduk, dia langsung berbincang-bincang dengan nenek itu. Ada nada keceriaan yang saya tangkap dalam suaranya pada waktu menjawab pertanyaan-pertanyaan ketua presidium kami, lalu dengan muka yang berbinar-binar beliau menunjukan foto kedua orang anaknya pada saya sambil bercerita, bahwa kedua anak laki-lakinya sekarang sudah sukses, yang sulung adalah seorang pengacara dan yang bungsu adalah seorang dokter. Anak sulungnya tinggal di daerah elit di wilayah Bandung Selatan, cukup jauh dari rumah nenek itu sehingga dia jarang berkunjung, sedangkan yang bungsu tinggal di kawasan elit daerah Bandung Utara, cukup dekat, tapi karena kesibukannya sebagai seorang dokter dia juga jarang berkunjung. Beliau berkata bahwa kasih Tuhan sungguh luar biasa karena dia tidak pernah membayangkan bahwa anak-anaknya bisa jadi orang sukses setelah beliau menjadi single fighter sejak anak-anaknya masih kecil. Dia bilang, dulu dia sempat menyalahkan Tuhan atas apa yang terjadi. Suaminya dipanggil Tuhan pada saat beliau masih cukup muda, sehingga beliau harus membanting tulang mencari nafkah untuk membiayai dan menyekolahkan anak-anaknya. Berbagai jenis pekerjaan pun sudah dilakukan dan tidak sedikit beliau mengalami kegagalan dan kepahitan.

Ilustrasi.

Saya berpikir, kenapa cerita yang cukup umum terjadi ini pada saat itu sangat mengusik batin saya, sehingga membuat saya berkaca-kaca mendengarkan cerita itu? Padahal kisah seperti ini sudah cukup sering saya dengar karena merupakan cerita yang cukup umum, banyak orang yang mengalami hal serupa. Karena keseriusan saya menyimak cerita nenek tersebut, akhirnya saya merasa otak saya beku.  Saya tidak bisa memahami mengapa dia tetap bisa mengasihi dan membanggakan kedua anaknya yang menurut saya sangat kejam membiarkan nenek itu hidup sendiri? Mengapa di tengah penderitaan dan kesulitan hidupnya nenek ini sangat taat dan sangat rajin berdoa? Anda pasti bertanya-tanya, bagaimana saya bisa mengetahui hal ini? Saat itu saya melihat di atas meja kecil yang sudah tua itu ada sebuah salib, patung Bunda Maria dan lilin. Di lacinya terlihat sebuah Alkitab dan Madah Bakti serta rosario. Di bawah meja tersebut terlihat ada satu bantal tipis yang masih cukup bagus dan saya menduga itu adalah bantalan yang nenek itu gunakan untuk berlutut.

Akhirnya saya memberanikan diri untuk bertanya dengan hati-hati… ”Nek…sepertinya Nenek sangat rajin berdoa, ya? Sampai menyediakan tempat khusus untuk berdoa. Apakah kaki Nenek tidak sakit kalau dibuat berlutut?” Beliau terkekeh-kekeh mendengarkan pertanyaan saya. Yaaah….mungkin itu pertanyaan konyol untuk sang nenek, pikir saya saat itu. “Cucuku….saya ini sudah tidak punya siapa-siapa lagi yang menemani, anak-anak saya sibuk, mereka juga sudah berkeluarga, maka sudah seharusnya mereka lebih memperhatikan anak dan istrinya. Karena nenek sendiri, maka teman berbincang yang paling setia adalah Yesus. Oleh karena itu nenek selalu rajin berdoa, walaupun sudah tidak dapat pergi ke gereja lagi, tapi nenek sangat mengharapkan dan menantikan kedatangan pastor/frater/prodiakon yang dengan setia mengantarkan mengantarkan komuni setiap minggu.” Saat itu lidah saya mendadak kelu dan tidak bisa berkata-kata lagi. Untung saja penglihatan beliau sudah agak rabun sehingga tidak menyadari kalau saya sempat meneteskan air mata. Beliau juga mengatakan hanya bisa bersyukur dengan cara berdoa, karena tidak ada lagi yang dapat dia lakukan. Semasa mudanya, nenek itu cukup aktif mengikuti kegiatan di gereja, membantu merangkai bunga, menghias altar, mengikuti doa dan kegiatan lingkungan, tapi sekarang sudah tidak bisa kemana-mana lagi, karena untuk berjalan pun sudah sangat sulit. Kerinduannya untuk selalu mendoakan kedua anaknya dan cucu-cucunya yang sangat ia kasihi sangat besar. Mendengar apa yang beliau katakan, tiba-tiba saya merasa sesak nafas. Kenapa untuk figur seorang ibu yang penuh kasih ini anaknya tega menempatkannya di sebuah gubuk, sendirian pula….. Apakah mereka tidak mengkhawatirkan keadaan si nenek ini??

Karena sempat melihatku meneteskan air mata, lalu ketua Presidium kami berusaha mengalihkan pembicaraan dan bertanya, mengapa tangannya terluka dan diperban? Lalu beliau menjelaskan kalau beberapa hari yang lalu ketika sedang menggoreng tahu, tiba-tiba saja dia merasa pusing dan terjatuh sehingga tersiram minyak panas sedikit. Untungnya pada saat itu ada tetangganya yang biasa merawat dan menjaganya langsung mendatangi dan menolongnya, lalu nenek itu dibawa oleh tetangganya ke rumah sakit yang dekat dengan tempat tinggal mereka. Untungnya nenek itu tidak menderita luka yang parah, hanya saja karena faktor umur, penyembuhannya menjadi agal lambat. Dari cerita tadi akhirnya saya tahu bahwa kedua anaknya apabila datang hanya memberikan uang untuk biaya hidup si nenek yang dititipkan ke tetangganya tadi untuk membantu menjaganya. Saya merasa sedih dan marah melihat keadaan seperti ini! Saya merasa kasihan tapi merasa tidak dapat berbuat apa-apa untuk membantu karena adanya aturan yang melarang kita sebagai Legioner memberikan bantuan dalam bentuk bantuan materi. Ingin rasanya memberontak, kenapa harus begitu? Kenapa tidak boleh? Padahl beberapa waktu sebelumnya kita berjualan baju bekas untuk mencari dana untuk kegiatan retret. Bukankah nenek itu lebih membutuhkan bantuan? Bukankah untuk retret kita bisa menarik biaya dari masing-masing anggota? Apa alasannya? Kenapa? Berbagai pertanyaan itu sangat mengganggu saya, hingga akhirnya setelah berpamitan, saya pun tidak dapat menahan diri untuk langsung bertanya dan meminta penjelasan pada Ketua Presidium kami karena tidak dapat menahan rasa penasaran. Ketua Presidium kami menjelaskan bahwa yang kita perlu jalankan adalah “Apostolic concern” menolong secara rohani, menguatkan dan mendoakan.

Saya belum benar-benar bisa memahami dan menerima penjelasannya itu. Lalu ketua presidium kami berkata, coba perhatikan dan simak baik-baik pada saat teman-teman kita bercerita dan memberikan laporan tugas dan kunjungan. Bagaimana kesan-kesan mereka dan bagaimana reaksi orang-orang yang kita kunjungi menerima kedatangan kita. Menolong dengan menguatkan secara rohani jauh lebih penting daripada memberikan bantuan materi. Benar apabila kita berpikir bantuan materi bisa menolong, tapi sampai kapan? Sebesar apa kita dapat memberikan bantuan bagi mereka? Apaling kita bukanlah yayasan yang memiliki pendonor tetap. Tetapi apabila kita memberi semangat, menguatkan, mendoakan, maka pertolongan kita akan berdampak sangat mendalam dan juga akan bertahan lama.

Lihatlah bagaimana reaksi orang-orang sakit yang kita kunjungi dan kita doakan!

Lihatlah perubahan raut muka si nenek ketika kita bisa menjadi teman bicara dan menjadi pendengar yang baik!

Lihatlah bagaimana bahagianya pemulung-pemulung yang kita datangi!

Lihatlah bagaimana anak-anak di panti asuhan atau orang-orang tua di panti jompo yang selalu menyambutmu dengan pelukan dan kehangatan!

Lihatlah betapa bahagianya mahasiswa-mahasiswa tuna netra di Wiyata Guna ketika mendengar suara kita, betapa semangatnya mereka menyelesaikan tugas kuliah dan skripsi dengan bantuan kita!

Dengan begitu, kehadiran kita menjadi terang dan garam, berarti kita sudah menjalankan apa yang Tuhan Firmankan. Allah pun tidak pernah menjanjikan hidup tanpa masalah atau kesulitan, tapi Allah berjanji untuk selalu ada dan memberi kita kekuatan dalam menghadapi masalah. Jadi pada saat kita ingin membantu orang lain, ingin menjadi garam dan terang, maka kehadiran kita, karya-karya kita dengan kuasa Roh Kudus harus senantiasa menguatkan dan menyemangati mereka yang sedang susah dan menghadapi masalah, bukan menyelesaikan masalahnya. Kehadiran kita dimanapun HARUS selalu menjadi SALURAN BERKAT bagi orang-orang yang kita kunjungi.

Akhirnya sejak itu, saya bisa melihat dari kacamata yang berbeda setiap kali mendengarkan sharing pelaporan tugas dan bisa lebih memahami peran saya sebagai legioner di masayarakat. Setelah lebih memahami, saya jadi lebih bersemangat dalam berkarya dan bertugas juga semakin menyadari bahwa saya tidak akan mampu melakukan semua karya tanpa kuasa Roh Kudus yang menggerakkan saya. Dari apa yang selama ini saya lakukan, apakah saya sudah menyadari dengan sungguh, bahwa saya betul-betul sudah menjadi saluran berkat Allah bagi sesama dengan kuasa Roh Kudus?? Bukan karena kehebatan saya! Tapi karena Allah memilih saya untuk menjadi prajuritNYA! Dan saya bersedia! Apakah anda bersedia? Silahkan renungkan!!


Victoria Suvi Tendiana Lili adalah salah seorang trainer pada LDK Senatus Bejana Rohani 2018. Beliau pernah menjadi legioner di Bandung, dan kini aktif sebagai pendidik serta praktisi pengembangan diri.

Proud to be a Catholic

Oleh Victoria Suvi Tendiana Lili


Kenapa aku memilih untuk menjadi Katolik?

Pertanyaan yang cukup sederhana namun sulit dijawab. Pertanyaan ini dilontarkan pada saat aku mengikuti persiapan Krisma.  Pada saat aku menjelaskan latar belakang mengapa aku memutuskan untuk dibaptis, ternyata aku tidak puas dengan jawaban itu. Aku merasa bahwa itu bukanlah alasan yang sebenarnya.

Pencarian jawaban yang sesungguhnya pun dimulai.

Aku tidak membandingkan dengan agama lain karena aku yakin bahwa setiap agama adalah baik adanya. Aku mulai mencari banyak informasi dan mempelajari segala hal yang berhubungan dengan Katolik. Ternyata ada banyak hal yang belum aku ketahui. Aku merasa begitu kecil di hadapan Allah. Aku merasa, sebagai orang Katolik aku wajib mengetahui banyak hal mendasar yang seyogyanya menjadi pondasi dalam hidup melayani sebagai seorang Katolik.

Ibarat sebuah keluarga besar, agama Katolik terdiri dari berbagai suku & ras, tua & muda, miskin & kaya, perempuan maupun laki-laki, pendosa & orang kudus.

‘ Our family made up of every race,youngs & olds, riches & poors, men & women, saints & sinner’

Katolik telah berkarya selama berabad- abad, selalu mengutamakan pelayanan, menyeimbangkan hubungan dengan Allah & sesama.

‘Been centuries around the globe, build hospitals for the sicks, orphanages, help the poors, largest charitable organization in the planet, relief n comfort who those in needs, educate most children all over the world, developed education system, developed scientific method  with evidences & proofs’

Katolik menghargai & menghormati hak asasi manusia, melindunginya dalam hukum gereja serta menjadikan Keluarga Kudus sebagai teladan dimana pernikahan hanya bisa dipisahkan oleh kematian.

‘Defense dignity of human life in marriage and family, pray for the soul & humanity’

Devosi terhadap Bunda Maria & Orang Kudus menjadi teladan dalam berkarya.

‘Cities & people named by saints, inspired us, navigated us to sacred path like before’

Katolik menjadikan Firman sebagai landasan dari segala tradisi, sikap & tingkah laku kita, seperti magnet membentuk kepribadian lebih dari 1 milyar penduduk dunia.

‘By Holy Spirit we pile the bible, transform by  sacred  sculpture and tradition for more than 2000 years, followed by over 1 billion people in the world’

Katolik memiliki sakramen sebagai kepenuhan iman Kristiani kita.

‘Sharing the sacraments of fullness for christian faith’

Katolik senantiasa menjadikan perayaan misa sebagai saluran berkat & ungkapan syukur kita.

‘Pray every hour and every day whenever we celebrate the mass’

Yesus sendiri yang membangun landasan bagi kita pada saat menunjuk Paus pertama kita.

‘Jesus lead the foundation for our faith when He sent Peter, the 1st pope, by said : “ You are the rock and upon this rock I will build my church” ’

Katolik memiliki kepemimpinan gembala yang tidak terputus selama lebih dari 2000 tahun lamanya, memimpin dengan kasih & kebenaran sejati di tengah-tengah berbagai kekacauan yang terjadi di dunia ini.

‘For 2000 years we have unbroken line of sheperds, guiding the catholic church with love & truth in confuse & hurting world, in the world of chaos n heart shaped in pain’

Iman Katolik memberikan ketenangan, kekuatan & rasa aman, karena Katolik adalah sebuah keluarga yang bersatu dalam Yesus Kristus sebagai Raja & Penyelamat kita, dimana kita tahu pasti bahwa Allah memiliki kasih yang tak berkesudahan bagi semua ciptaanNYA.

‘It’s comforting to know that as a family united in Jesus Christ our Lord and savior, Catholic faith is something that remain consistent, true & strong.

Ini hanyalah sebagian kecil dari sekian banyak fakta yang menunjukan bahwa Katolik memiliki banyak peran dalam mengubah dunia menjadi lebih baik.

taken from faithandale.com

Apakah saya bangga menjadi orang Katolik?

Ya….tentu saja….semakin aku mencari, semakin aku bangga.

Bagaimana dengan anda ?

‘Catholic faith…. Eternal love that God has for all creation’

Sources : diambil dari berbagai sumber


Victoria Suvi Tendiana Lili adalah salah seorang trainer pada LDK Senatus Bejana Rohani 2018. Beliau adalah mantan legioner yang kini aktif sebagai pendidik dan praktisi pengembangan diri.

Jejak Presidium Bunda Hati Kudus

​Oleh Sdr. Bartolomeus Helan


Legio Maria sudah tidak asing lagi di paroki St. Theresia Prapatan Balikpapan. Persekutuan orang-orang yang bersatu dengan Bunda Maria dalam doa dan pelayanan ini sudah berada di paroki ini sejak tahun 1958. Dalam catatan kronik paroki Klandasan (paroki St.Theresia Prapatan sekarang) terdapat satu Presidium Legio Maria dengan nama Presidium Bunda Pencinta Damai. Namun tidak ada data yang pasti, Legio Maria diperkenalkan oleh siapa dan berapa jumlah anggota waktu itu. Yang pasti presidium ini mengadakan rapat setiap hari Minggu pukul 16.00, serta terlibat aktif dan mengambil bagian dalam tugas pelayanan pastoral. 

Meskipun Presidium Bunda Pencinta Damai menjadi presidium pertama di paroki Prapatan dan juga se-Kalimantan Timur namun statusnya tidak terdaftar di Senatus Bejana Rohani Jakarta. Hal ini membuat Presidium ini hanya terkenang dalam ingatan anak cucu para pendiri yang telah berpulang ke rumah Bapa di Surga. 

Menilik lebih jauh dan “bukan” berdasarkan fakta sejarah, Presidium Bunda Pencinta Damai bertahan sampai sekitar tahun 1972.  Setelah itu Presidium ini dinyatakan “bubar” atau tidak aktif lagi karena sebagian anggotanya mutasi dan meninggal dunia serta sejak saat itu tidak ada lagi kelompok Legio Maria di paroki Prapatan.

Gereja Paroki St. Theresia Prapatan (foto diambil dari google maps)

Api Legio Maria Kembali Bernyala
Ibu Yenny Lesmana datang ke Balikpapan pada bulan Nopember tahun 1978. Beliau merasa kosong dan sepi karena paroki St. Theresia tidak memiliki kelompok doa Legio Maria. Beliau sudah terbiasa dan aktif di Legio Maria sejak tahun 1973 di Semarang sehingga kebiasaan inilah yang mendorongnya untuk menyalakan kembali api Legio Maria yang telah padam. Ia pun berinisiatif membentuk satu presidium Legio Maria di paroki ini. Pada tahun 1980 pastor A.M Sutrisnaatmoka, MSF (sekarang uskup Palangkaraya) bertugas di paroki Prapatan. Ibu Yenny bertemu dengan pastor Sutrisna dan berunding bersama sekaligus membuat rencana membentuk Legio Maria di paroki St. Theresia Prapatan Balikpapan. Pertemuan dan diskusi singkat ini membuahkan hasil positif.

Keluarga Ibu M. E. Jenny Lesmana

Pada tanggal 9 Mei 1981 jam 19.00 WITA bertempat di pastoran paroki St. Theresia Prapatan dibentuklah Presidium Bunda Pecinta Damai (BPD) sebagai presidium senior campuran yang pertama.  Rapat pertama terjadi pada tanggal 17 Mei 1981 jam 16.00. Susunan perwira pertama Presidium Bunda Pencinta Damai sebagai berikut: Pemimpin Rohani: Pastor A. Sutrisno Atmaka, MSF (Uskup Palangkaraya sekarang). Ketua: Saudari Yenny Lesmana. Wakil Ketua: Saudara Paulus Slamet Sabanto. Sekretaris: Saudara Sudarisman. Bendahara: Saudari Veronika Isri Isharjanti. Jumlah anggota pertama yang bergabung dalam presidium ini sekitar 10 orang.

Mgr. A. M. Sutrisnaatmaka, MSF (foto dari katolikpedia.org)


Setelah rapat perdana ini, mulai dilaksanakan rapat-rapat legio secara rutin. Anggota Legio Maria juga terlibat aktif dan mengikuti kegiatan-kegiatan yang ada di paroki. Dari sini pula terbentuk kelompok Kitab Suci dengan nama kelompok Patrisi. Kelompok ini terbuka umum, kegiatannya diadakan setiap sekali dalam bulan dikoordinir oleh Legio Maria. Kegiatan inti yang dijalankan pada pertemaun Patrisi ini adalah membahas dan mendiskusikan Kitab Suci dan pengetahuan umum tentang Gereja Katolik. Di dalamnya juga dibicarakan karya pelayanan pastoral dan liturgi Gereja. Kelompok Legio Maria merupakan perpanjangan tangan dari pastor paroki. Setiap bulan Mei dan Oktober Legio selalu mengadakan  devosi Maria di gereja untuk umat paroki, biasanya dibuka dengan perarakan patung Bunda Maria dengan memakai tandu dari halaman gereja dan ditahtakan di dalam gereja selama sebulan, di mana setiap hari ada legioner yang memimpin atau membawakan doa rosario secara bergiliran.

Selain tugas pokok rapat dan keterlibatan dalam karya pastoral Gereja, tugas lain yang dijalankan adalah mengunjungi orang sakit di rumah sakit maupun di rumah, melayat dan menghibur warga yang mengalami kedukaan atau menderita, mengunjungi warga gereja yang bermasalah (yang jarang ke gereja) dan acara-acara berkala lain seperti sarasehan dan diskusi, membersihkan gereja, sakristi dan gua Maria. Para anggota presidium Bunda Pencinta Damai juga terlibat aktif dalam kegiatan-kegiatan di lingkungan atau kring masing-masing.

Spontanitas tapi bukan kebetulan

Anggota Presidium Bunda Pencinta Damai semakin hari semakin bertambah banyak. Anggota ini terdiri dari orang dewasa, remaja dan anak-anak. Seiring bertambahnya jumlah anggota dan perbedaan usia dalam Presidium ini maka diputuskan untuk membaginya menjadi dua presidium. Keputusan ini secara spontan dalam rapat Presidium tanpa rencana sebelumnya. Dalam rapat itu juga, semua spontan memberi nama pada Presidium baru yakni Presidium Bunda Hati Kudus. Soal pilihan nama ini tanpa refleksi mendalam. Apakah karena Hatinya sebagai seorang ibu setia mendampingi anak-anak yang datang kepadanya dan tidak pernah meninggalkan mereka di bawah kepak sayap kasihnya? Pertanyaan yang belum bisa terjawab sampai detik ini. Sr. Yohana, MASF dan bu Yenny Lesmana sebagai asisten pemimpin rohani waktu itu memberi kesaksian bahwa Presidium baru dengan nama Bunda Hati Kudus lahir secara spontan tetapi bukan sebuah kebetulan. Demikian juga dengan nama presidium ini. Hal ini pun diyakini sebagai anugerah Roh Kudus melalui doa Bunda Maria yang berkarya dalam diri semua anggota presidium Bunda Pencinta Damai untuk melebarkan sayap kerasulan melalui presidium yang baru.

Presidium Bunda Hati Kudus merupakan presidium junior campuran dengan anggota siswa-siswi SMA, SMP, SD dan kebanyakan dari mereka merangkap sebagai putra-putri Altar (misdinar). Ada satu anggota yang paling kecil berusia 4 tahun atas nama Angelina Novitri. Mereka dipisahkan dari kelompok seniornya dan menyandang status sebagai presidium Junior. Dapat pula dikatakan bahwa Presidium Bunda Hati Kudus adalah anak dari Presidium Bunda Pencinta Damai. Presidium ini dibentuk pada tanggal 9 Agustus 1992 dengan susunan perwira pertama; Ketua: Yosep Pio Erwin, Wakil Ketua: Yohanes Elvianus, Sekretaris: Ida Ayu Christiany, Bendahara: Yosep Pio Erwin, dengan pemimpin rohaninya pastor F.X. Huvang Hurang, MSF, serta asisten pemimpin rohaninya Sr. Yohana, MASF dan ibu Yenny Lesmana. Waktu rapat ditetapkan setiap hari Minggu pukul 09.30 bertempat di belakang pastoran. Presidium ini disahkan oleh Dewan Senatus pada pada tanggal 09 September 1992 karena pada tahun 1992 belum ada dewan Kuria di Balikpapan. Maka sebelum terbentuknya Kuria, kedua presidium ini (BPD dan BHK) mengadakan rapat sebulan sekali di rumah ibu Yenny Lesmana, Jl.Lombok No.21 Gunung Dubs.

Dalam catatan rapat maupun laporan tahunan, perwira-perwira awal berganti begitu cepat. Ada yang menjabat hanya dua tahun. Ada yang setahun lebih atau cuma setahun dan bahkan ada yang beberapa bulan saja. Hal ini dilatarbelakangi oleh urusan sekolah dan mutasi (pindah mengikuti orang tua). Namun pada kenyataannya, mereka begitu disipilin dan bertanggung jawab dalam menjalankan tugas, ‘membesarkan’ presidium baru ini dan selalu semangat dalam mengikuti rapat serta kegiatan-kegiatan kerasulan. Patut juga dicatat bahwa anggota Legio Maria junior ini menjadi anggota misdinar dan anggota Mudika paroki. Kenyataan menegaskan bahwa “Anggota Legio adalah Mudika dan Mudika belum tentu anggota Legio”. Maka dalam organisasi Mudika sebagian besar anggotanya merupakan anggota Legio Maria. Kebanyakan anggota yang ikut bergabung dengan Legio Maria karena diajak teman-teman. Awalnya cuma ikut-ikutan tepi lama kelamaan betah dan mulai aktif. Anggota BHK berkisar antara 30-50 orang. Tetapi yang hadir rapat minimal 20-an orang. Anak-anak sekolah ini merupakan cikal bakal penerus Legio Maria di paroki Prapatan. Adapu tantangan yang dihadapi adalah tidak adanya figure pemimpin yang handal karena tidak ada pengkaderan. Kelompok ini terus berjalan seiring dengan keterlibatan aktif para pendamping dan keluarga yang selalu mendukung dan memberi motivasi agar mereka terus semangat dalam setiap rapat maupun karya pelayanan.

Lebih jauh nilai yang tertanam dalam benak dan diri mereka adalah kebersamaan. Bukan saja soal mengikuti rapat presidium tetapi lebih dari itu ada tujuan lain yakni rekreasi atau bersenang-senang sebagaimana usianya anak-anak. Anggota BHK sangat kompak dan antusias untuk hadir rapat dan kemudian diajak jalan-jalan (wisata) ke km. 15 atau km 45 atau juga ke pantai. Memang dunia anak-anak : 40 % mengikuti rapat dan 60 % rekreasi. Dalam rapat minggu ini, ada rencana untuk minggu depan kemana. Anggota tambah semangat untuk hadir minggu depan karena setelah rapat akan jalan-jalan bersama. Satu kegembiraan yang menjadikan setiap anggota saling meningatkan dan saling meneguhkan. Akan tetapi seiring perjalanan waktu dan dibekali pemahaman dari para pemimpin dan asisten pemimpin rohani, pola ini perlahan-lahan berubah menjadi 80 % menghadiri rapat mingguan, menjalankan tugas-tugas legioner dan 20 % rekreasi. Juga satu pola yang berubah secara dratis ketika anggota Junior ini mulai melangkah ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi dengan pola pikir yang lebih matang. Satu yang menarik bahwa tugas pencarian anggota baru menjadi tugas khusus (wajib) yakni satu orang wajib mencari dua calon anggota baru. Maka tidaklah mengherankan bahwa jumlah anggota BHK semakin hari semakin bertambah.  Di samping itu, satu faktor yang mendukung semangat dan keterlibatan para anggota baik waktu rapat maupun kegiatan pelayanan adalah kreatifitas para perwira dan pemimpin serta asisten pemimpin rohani. Karena ketika seorang perwira atau pemimpin dan asisten rohani ‘kurang’ memahami situasi dan keadaan para anggota, maka perlahan tapi pasti jumlah anggota setiap tahun semakin menurun. Bersyukurlah bahwa hal yang spontan ini tidak menjadikan presidium Junior pertama di Kalimantan Timur ini ‘bubar’ melainkan tetap bertahan sampai berubah status menjadi Presidium Senior.

Dari Junior ke Senior

Waktu terus berjalan. Tahun pun berganti pasti. Presidium Bunda Hati Kudus pun larut dalam perputaran waktu dan pergantian tahun. Para anggota yang nota bene usia sekolah perlahan ‘meninggalkan’ presidium ini satu per satu. Mereka pergi bukan karena tidak sanggup lagi mengemban tugas sebagai tentara Maria tapi semata-mata karena tuntutan pendidikan dan mutasi ke tempat tinggal yang baru. Begitu pun ketika mereka pulang dari perburuan cita-cita, mereka  kembali bergabung dengan Presidium ini. Sekitar tahun 1999, presidium Junior ini berubah status menjadi presidium Senior. Anggotanya pun rata-rata sudah memiliki pekerjaan yang tetap.

Presidium Bunda Hati Kudus tetap bertahan namun presidium induknya yakni Bunda Pencinta Damai tidak aktif lagi bahkan dinyatakan bubar sekitar tahun 2001. Namun perlu dicatat bahwa dari presidium induk (Bunda Pencinta Damai) ini, lahirlah presidium-presidum baru (selain BHK) di tiga paroki kota Balikpapan yakni presidium Anuntiata di paroki St. Theresia Prapatan (25 Maret 1994), presidium Ratu Rosari (14 Agustus 1994) di paroki St. Petrus-Paulus Dahor dan presidium Maria Protegente (07 September 2000) di paroki St. Klemens I Sepinggan. Demikian juga berdiri presidium-presidium lain di wilayah Keuskupan Agung Samarinda yang bernaung di bawah Kuria Bejana Kebaktian Balikpapan.

Presidium Bunda Hati Kudus menghadapi pasang surut dalam proses perkembangannya. Pasang surut ini terlihat dalam statistik keanggotaan dan kepengurusan. Jumlah anggota dari waktu ke waktu mengalami perubahan. Boleh dikatakan anggota yang masuk berbanding terbalik dengan anggota yang keluar. Jumlah yang keluar lebih banyak sementara yang masuk menjadi anggota tidak bertahan lama. Beberapa alasan yang menjadi pertimbangan adalah tuntutan pekerjaan, kesibukan rumah tangga dan mutasi ke luar paroki maupun daerah. Sementara dalam kepengurusan antara tahun 2007-2009 wakil ketua dan bendahara vakum. Saudari Rosa Kumarurung sebagai wakil ketua naik menjadi ketua merangkap bendahara. Anggota aktif 3 (tiga) orang yang masih terikat kehidupan membiara sebagai aspiran.

Pasukan Maria tidak mengenal kata ‘menyerah.’ Meskipun berbagai keterbatasan dialami dalam roda kehidupan presidium ini, selalu saja ada jalan untuk menjalankan misi perutusan mencari dan merekrut anggota baru. Tugas ini terbilang amat sulit. Setiap anggota aktif harus ‘berperang’ melawan gaya hidup dan mental instan orang-orang zaman ini. Jawaban yang selalu ditemukan dalam perjumpaan dan percakapan adalah ‘tidak ada waktu’ dan ‘sibuk.’ Seandainya ada kesempatan untuk berdebat argumentasi ini bisa dipatahkan. Satu hari terdiru darj 24 jam. Legio hanya butuh 1 jam 30 menit. Berarti masih ada sisa 22 jam 30 menit. Tapi itu sama sekali tidak membuat seseorang untuk mau bertahan selama satu setengah jam untuk berdoa dan mengikuti rapat. Namun anggota Legio Maria tidak pernah ‘memaksa’ seseorang untuk menjadi anggota Legio. Hanya senjata doa yang mampu mengalahkannya. Perlahan namun pasti presidium ini semakin berkembang dengan jumlah anggota aktif berkisar antara 10-15 orang di luar perwira. Itu berarti sejuta tantangan dan kesulitan apapun jika dihadapi dengan senjata doa akan menghasilkan banyak buah dan menjadikan karya Legio Maria berkat bagi semua orang yang dilayani.

Tugas Pelayanan Anggota BHK

Anggota Presidium Bunda Hati Kudus baik waktu masih Junior dan perlahan berubah menjadi Senior memiliki semangat dasar yang sama yakni doa dan pelayanan. Khusus anggota Junior waktu itu, tugas mereka adalah membersihkan gereja, mengunjungi teman yang sakit atau bermasalah, mempelajari buku pegangan, mengikuti kegiatan-kegiatan misdinar, belajar, membantu orang tua, membaca Kitab Suci, sekolah Minggu dan kegiatan di lingkungan masing-masing. Mereka juga diberi tugas kunjungan ke rumah sakit dan penjara tetapi tidak setiap minggu. Selain itu anggota yang menjadi misdinar tugas khususnya mengikuti kegiatan misdinar (latihan ataupun tugas misa). Tugas rutin setiap hari adalah menjadi misdinar dan petugas lektor pada misa harian. Perlu dicatat bahwa ketika mendapat tugas sebagai misdinar atau lektor anggota tersebut sudah berada di gereja satu atau dua jam sebelum misa dimulai. Itu berarti anak-anak ingin agar tugas yang dipercayakan harus dijalankan dengan penuh tanggung jawab. Satu hal pula yang dibiasakan dalam mempelajari buku pengangan adalah apa yang dibacakan dalam minggu itu kemudian disharingkan pada saat rapat berikutnya. Dengan demikian, hal yang kadang kurang dipahami dijelaskan kembali oleh pemimpin rohani atau asisten pemimpin rohani.

Dalam menjalankan tugas, berbagai kendala ditemukan entah itu secara pribadi maupun bersama. Kendala utama yang dihadapi adalah kemalasan, ketiduran, kelelahan atau les yang bersamaan dengan jam pelaksanaan tugas. Ketika tugas itu gagal dilaksanakan, anggota tersebut merasa sedih. Namun kalau mampu mengatasi kendala-kendala ini dan tugas itu berhasil maka ada kegembiraan dan sukacita. Sementara itu untuk laporan tahunan presidium langsung diserahkan ke Senatus dan tidak ada rapat Kuria karena antara tahun 1992-1994 belum ada dewan Kuria di Balikpapan. Maka pada tahun 1994 Saudara Erwin (BHK) dan Saudara Berni (BPD) menghadiri rapat Senatus Bejana Rohani di Jakarta.

Dalam koridor pelaksanaan tugas anggota Junior dan Senior sedikit berbeda. Beban tugas dan pelayanan pun tidak persis sama. Hal yang menarik yang pernah dilakukan dari anggota yang terdahulu sampai dengan saat ini adalah bakti sosial atau aksi sosial. Memang benar bahwa anggota Legio Maria tidak boleh memberikan apapun (uang maupun barang) kepada siapapun atau menerima apapun dari orang lain namun kegiatan ini sebagai bentuk solidaritas pada masa adven atau masa prapaskah. Perlu dicatat bahwa dalam kegiatan bakti sosial atau aksi sosial ini, anggota Legio tidak pernah mengumpulkan uang ataupun barang pribadi tetapi anggota Legio menggandeng orang-orang yang mampu untuk membantu mereka yang membutuhkannya dan juga bekerja sama dengan Seksi Sosial paroki. Barang-barang (berupa sembako) biasanya dikumpulkan oleh umat (warga paroki) lalu Legio Maria mengambil bagian dalam proses penyalurannnya. Jadi Legio Maria hanyalah perpanjangan tangan dari umat paroki untuk turun menjumpai kaum marginal tersebut. Maka anggota Legio Maria Presidium Bunda Hati Kudus pernah mengadakan aksi sosial saat kunjungan ke stasi Amburawang, aksi sosial ke anak-anak jalanan dan orang-orang pinggiran serta aksi sosial ke panti asuhan.

Dalam rapat Presidium, setiap anggota mendapat tugas pelayanan yang dilaksanakan sepanjang satu pekan dan kemudian pada rapat minggu berikutnya tugas-tugas itu dilaporkan. Tugas-tugas anggota berupa tugas rutin seperti; mendoakan dan mengunjungi orang sakit (di rumah maupun di rumah sakit), mengunjungi anggota auksilier, tugas di gereja (koor, tatib, rias altar, Rosario sebelum misa, kunjungan ke penjara, mengikuti kegiatan ACIES, pendalaman iman, pendalaman Kitab Suci dan rosario di Kring, mengikuti misa legio gabungan tiga paroki, mempelajari buku pegangan dan Kitab Suci, dan lain-lain.

Selain tugas rutin ada juga tugas insidentil berupa; menghadiri rapat dewan paroki, menjadi koordinator safari Rosario, ikut ambil bagian dalam kegiatan kategorial gerejani, bersama pastor atau suster mengantar komuni (untuk jompo dan orang sakit), kunjungan ke kaum marginal, kunjungan ke panti jompo, mengadakan seminar pada penutupan bulan Maria dan HUT Presidium dengan melibatkan semua umat paroki, dll.

Dalam menjalankan tugas-tugas ini masih ditemukan juga kesulitan atau kendala-kendala yang kadang membuat tugas itu gagal dilaksanakan. Adapun kesulitan yang selalu muncul adalah waktu kunjungan yang tidak cocok antara teman. Di samping itu ada urusan keluarga mendadak yang mengharuskan seseorang keluar kota. Perlahan namun pasti, setiap anggota Legioner berusaha untuk mengingatkan temannya dan membuat jadwal kunjungan yang sesuai sehingga tidak menggangu rutinitas masing-masing. Dalam kunjungan itu juga kadang ada penolakan dari orang atau keluarga yang mau dikunjungi. Namun anggota Legio tidak pernah putus asa, bahkan membawakan pengalaman ini dalam doa. Suatu yang menjadi sumber kegembiraan dan sukacita adalah bahwa anggota Legioner mampu menjalankan tugas pelayanan dengan setia. Meskipun ada banyak kesibukan namun masih mempunyai waktu dan kesempatan untuk melakukan kunjungan atau kegiatan aksi sosial, menjumpai orang-orang sakit dan menderita, orang-orang yang haus dan lapar akan sentuhan kasih, mereka yang lemah dan terabaikan, kaum kecil dan kelompok marginal serta mereka yang mengalami problem dalam hidup. Semuanya itu dibawa dalam doa-doa dan juga dalam karya pelayanan sebagaimana ‘seorang gembala’ ……………. (lihat buku pegangan).

Moment 25 tahun : Moment Syukur dan Kenangan

Presidium Bunda Hati Kudus pada tanggal 9 Agustus 2017 genap berusia 25 tahun. Sebuah usia yang tidak terbilang muda pada perputaran waktu zaman yang ditandai dengan pola hidup serba instan. Inilah peristiwa iman penuh nada syukur dan kenangan. Peristiwa bersejarah ini tentu menjadi kebanggaan bagi para anggota Legio Maria pada umumnya dan Presidium Bunda Hati Kudus pada khususnya di paroki Santa Theresia Prapatan Balikpapan. Meskipun kecil dalam segi jumlah namun kehadiran dan keberadaan para legioner ini dapat membantu karya pelayanan pastoral sesuai tugas dan tanggung jawab masing-masing. Moment 25 tahun ini merupakan kesempatan emas bagi para legioner dan simpatisan untuk mengungkapkan rasa syukur dengan berpegang teguh pada penyerahan diri yang utuh: “Aku adalah milikmu, ya Ratu dan Bundaku, dan segala milikku adalah kepunyaanmu.”

Moment penuh syukur ini juga bertujuan untuk mengungkapkan rasa syukur atas karya penyertaan dan rahmat Allah melalui Bunda Maria selama 25 tahun berkarya dan mengemban tugas pengudusan bagi anggota legio dan orang lain. Hal lain yang ingin dicapai adalah meningkatkan kualitas kerohanian para anggota legioner baik Legioner aktif maupun Auksilier (pendoa) dan membangkitkan semangat serta kesadaran baru akan arti dan peran legioner dalam karya pelayanan ke dalam maupun keluar yakni membantu karya Gereja (paroki) secara utuh dan nyata. Lebih jauh perayaan ini juga mau menumbuhkan kembali motivasi awal sebagai anggota legio dan belajar dari kerendahan hati Sang Ratu Bunda Maria untuk setia pada tugas dan tanggung jawab sebagai anggota legioner.

Kegiatan-kegiatan yang dijalankan untuk memaknai moment penuh syukur dan kenangan ini adalah:

  1. Retret Legio Maria di rumah-rumah Ret-Ret Putak-Samarinda pada tanggal 22-23 April 2017. Ret-ret ini didampingi oleh pastor Niko, OMI dengan tema “Kerendahan Hati Maria Menjiwai Semangat Doa dan Pelayanan Legioner.”
  2. Misa pembukaan Bulan Maria pada tanggal 30 April 2017 di gereja St. Theresia Prapatan Balikpapan. Misa didahului dengan perarakan patung Bunda Maria dari depan gereja dan ditahtahkan di panti imam. Di depan patung Bunda Maria ada 10 orang wakil umat yang mewakili 10 etnis atau suku yang ada di Balikpapan mendaraskan doa Salam Maria dengan bahasa daerahnya masing-masing.
  3. Seminar dan Talk Show tentang Bunda Maria pada tanggal 30 April-01 Mei 2017 di aula paroki St. Theresia Prapatan Balikpapan. Seminar ini membahas tentang 4 (empat) Dogma tentang Maria yakni: Dogma Maria Dikandung Tanpa Noda, Dogma Maria Bunda Allah, Dogma Maria Diangkat ke Surga dan Dogma Maria Tetap Perawan. Nara sumbernya Sr. Maria Erna, PRR. Sementara dalam Talk Show selain keempat dogma ini, ditampilkan juga tentang Bunda Maria dari La Salette dengan nara sumber pastor Erdy E.V, MSF.
  4. Safari Rosario selama bulan Maria. Safari ini diadakan di 10 (sepuluh) lingkungan dalam paroki St. Theresia Prapatan mulai tanggal 02-30 Mei 2017. Dalam safari ini, pastor Andi, MSF, para suster MASF dan FSE menjadi pemimpin ibadah dan membawakan renungan seputar kehidupan iman Bunda Maria.
  5. Perayaan Ekaristi syukur pada hari Minggu, 13 Agustus 2017. Perayaan ini bertepatan dengan Hari Raya Maria Diangkat ke Surga yang dipimpin oleh Mgr. Yustinus Harjosusano, MSF Uskup Agung Keuskupan Samarinda. Sebelum perayaan puncak ini, diadakan novena mulai tanggal 03-11 Agustus 2017. Begitu juga kegiatan latihan koor yang melibatkan anggota Legio Maria tiga paroki di Balikpapan (Prapatan, Dahor dan Sepinggan) dan latihan tarian yang melibatkan anak-anak KOMKA yang nota bene anggota Legio Junior di paroki Prapatan.
  6. Menerbitkan buku kenangan 25 tahun Presidium Bunda Hati Kudus. Sebuah jejak sejarah yang perlu dimaknai untuk dikenang. Meskipun terbatas dalam ruang dan waktu namun panitia 25 tahun berusaha sejauh mampu untuk menyulam benang sejarah yang ‘tercecer’ menjadi sebuah sulaman utuh dalam bentuk buku kenangan.

 

Moment Syukur ini melibatkan semua umat paroki, Legio Maria (aktif maupun auksilier) di wilayah Kalimantan Timur dan anggota Legio Maria yang pernah menjadi pengurus maupun anggota di Presidium Bunda Hati Kudus. Sejuta harapanpun tersemat di tubuh Legioner ini agar semakin hari anggotanya semakin bertambah dan Presidium ini bisa berkembang terus tidak hanya berhenti pada moment syukur ini tetapi terus bergerak menjadi Tentara Maria yang siap sedia bertempur di medan kehidupan zaman ini. Bertekun dalam doa bukan tanpa rintangan. Hidup dalam persekutuan bukan perkara gampang. Setia dalam pelayanan bukan hal yang mudah. Namun melalui madah ini ‘Aku adalah milikmu, ya Ratu dan Bundaku, dan segala milikku adalah kepunyaanmu’ segalanya menjadi indah. Semakin dekat dan mencintai Bunda Maria berarti semakin dekat dengan Puteranya dan siap melayani dalam kegembiraan dan sukacita. Proficiat atas pencapaian usia yang ke 25 ini dan jayalah terus LEGIO MARIA. 

BUNDA HATI KUDUS, DOAKANLAH KAMI SELALU.


Disusun oleh Sdr. Bartolomeus Helan, kerua Presidium Bunda Hati Kudus dan juga Ketua Kuria Bejana Kebaktian Balikpapan.

Alokusio Rapat Senatus 5 November 2017

Oleh RD Antonius Didit Soepartono (Pemimpin Rohani Senatus Bejana Rohani)


Bacaan Rohani : Buku Pegangan Bab 6 point 1 halaman 26, paragraf 1~4 : Tugas Para Legioner Terhadap Maria.

Alokusio :

Tugas pertama para Legio terhadap Maria adalah menghormati dan menjunjung tinggi Maria.

Bagaimanakah caranya?

a. Melakukan meditasi dan mempraktekkan dengan penuh semangat.
b. Membawa Maria ke dunia maka dalam hati seorang legioner harus ada Maria.
c. Menjadi pemimpin yg inspiratif dan jiwa bagi anggota2nya.
d. Ikatan pemimpin dan anggota bukan hanya ikatan emotional atau mekanis, Tetapi ikatan jiwa yang sempurna, seperti Ibu dengan bayinya.
e. Tanpa Maria kita tidak dapat melaksanakan karya Tuhan.

Alokusio : Jiwa-Jiwa Legioner yang Sudah Meninggal

Oleh : Sdr. Junius Wijaya, OFS


Bacaan Rohani : Buku Pegangan Bab XVII
Tentang : Jiwa-Jiwa Legioner yang Sudah Meninggal
Halaman : 114 – 115

Menyongsong bulan November yang secara tradisional dikenal sebagai Bulan Arwah, kita diajak untuk kembali merenungkan Hukum Kasih yang utama dan terutama yang disampaikan oleh Yesus yang menjadi pegangan kita.

“Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.  (Mat 22 : 37 – 39)

Mengapa kita merenungkan kembali perintah Kasih ini ketika kita akan memasuki bulan Arwah?

Dari Perintah Kasih bagian yang pertama, kita memahami bahwa manusia memiliki JIWA untuk mengasihi Allah. Lalu Kemanakah jiwa ini setelah kematian? Seturut ajaran Gereja kita mengetahui, Jiwa yang jauh dari Allah karena dosa akan menuju api penyucian setelah kematian. Berkat Kerahiman Allah, di sana jiwa dimurnikan dalam kerinduannya untuk bersatu dengan Sang Sumber Cinta.

Dari Perintah Kasih bagian yang kedua, kita diajak untuk mengasihi sesama seperti diri sendiri. Secara khusus umat beriman diajak selama bulan November untuk mengasihi sesamanya yang sudah meninggal dunia, yang jiwa mereka kini berada di api penyucian. Bagaimana caranya menunjukan kasih kepada mereka seperti mengasihi diri kita sendiri?

Coba bayangkan bila kita yang berada di sana, tentu kita sangat mengharapkan Ekaristi, doa, dan kurban dari keluarga dan sahabat kita di dunia.


Hal yang sama mari kita lakukan untuk mereka!
Bersyukurlah, sebenarnya seorang Legioner sudah melakukan hal itu setiap Rapat dan Tessera. Bukankah demikian?

Namun di bulan November ini, mari kita lebih bergiat untuk menyatakan kasih kita kepada jiwa-jiwa yang menderita di api penyucian, khususnya para anggota Legio kita. Kita persembahkan segala usaha kita, kekayaan doa, dan korban kita untuk jiwa-jiwa itu kedalam tangan Maria, Ratu dari Api Penyucian. Karena Bunda Maria menjanjikan kepada kita sebagai imbalan dari persembahan ini, agar jiwa-jiwa yang kita kasihi akan mendapatkan keringanan yang lebih banyak daripada jika kita mempersembahkannya langsung kepada mereka. 

AVE MARIA.


Sdr. Junius Wijaya, OFS adalah seorang anggota Ordo Fransiskan Sekular, dan juga menjadi Asisten Pemimpin Rohani Presidium Pohon Suka Cita dan Presidium Maria Tak Bernoda, Paroki St. Petrus dan Paulus Mangga Besar.

Berbuatlah Sesuatu Bagi Para Jiwa-Jiwa di Api Penyucian

Dalam Syahadat Para Rasul, kita selalu mengucapkan : “Aku percaya akan Persekutuan Para Kudus”. Istilah “Persekutuan Para Kudus” (Latin : Communio Sanctorum) dimasukkan pada abad ke-4 dalam rumusan syahadat, dan dapat juga dimaknai sebagai “partisipasi dan saling berbagi dalam hal-hal yang kudus : iman, Sakramen-Sakramen, karisma, dan anugerah spiritual yang lainnya”.

Gereja pada dasarnya adalah persekutuan rohani antara umat beriman sebagai anggota satu Tubuh Kristus dan menjadi sehati sejiwa. Maka istilah “persekutuan para kudus” menunjukkan Gereja dari segala zaman, dan bukan hanya suatu persekutuan yang bersifat lahiriah atau sosial saja.

Yang dimaksud sebagai Gereja adalah : kita yang masih berjuang di dunia ini; mereka yang tengah mengalami proses pemurnian di api pencucian dan membutuhkan doa-doa kita; dan mereka yang sudah masuk dalam Kemuliaan Allah yang mendoakan dan menjadi perantaraan kita. Semua ini membentuk satu keluarga di dalam Kristus untuk memuji dan memuliakan Allah. Pemahaman ini amatlah menggembirakan dan memberikan harapan bagi kita, karena persekutuan ini menunjukkan bahwa kita yang masih berjuang di dunia ini secara rohani tidak terpisah dengan orang-orang terkasih yang telah meninggal dunia.

Mungkin selama ini kita menganggap maut sebagai suatu terror yang mengerikan. Kematian dipandang sebagai suatu akhir, suatu perpisahan yang abadi. Kematian menjad suatu batas yang tak bisa ditembus. Kematian adalah satu-satunya hal yang pasti dalam sebuah kehidupan, karena semua yang hidup pasti akan mati. Maut adalah kenyataan bahwa hidup kita terbatas dan fana, meskipun bukan tanpa makna. Dalam waktu hidup yang hanya sementara ini kita diberi kesempatan untuk membentuk sikap kita kepada Tuhan, membuktikan kepercayaan kita, meskipun kita tak melihat Tuhan. Maut membawa kita pada kesadaran kehidupan yang abadi dan bahwa kita selalu hidup di hadapan Tuhan. 

Katekismus Gereja Katolik mengajarkan bahwa setelah kematian, jiwa kita yang tak dapat mati akan menghadapi pengadilan Allah, dan setiap orang akan menerima pembalasan sesuai dengan iman dan perbuatannya. Pembalasan ini bisa berarti masuk ke dalam kebahagiaan surga secara langsung atau seteah melalui proses pemurnian di api pencucian, atau masuk ke dalam kutukan kekal di neraka. Surga adalah keadaan bahagia yang tertinggi bagi mereka yang mati dalam keadaan rahmat Allah dan tidak memerlukan pemurnian lebih lanjut untuk berkumpul bersama dengan Yesus dan Maria, para malaikat, dan para orang kudus. Mereka akan melihat Allah “muka dengan muka” (1 Kor 13:12). Neraka adalah kutukan kekkal bagi mereka yang mati dalam keadaan dosa berat karena pilihan bebas mereka sendiri. Penderitaan terberat bagi mereka adalah keterpisahan kekal dari Allah, padahal Allah adalah sumber kehidupan dan  kebahagiaan yang merupakan tujuan dan kerinduan kita.

Sedangkan mereka yang mati dalam persahabatan dengan Allah namun belum disucikan sepenuhnya, masih memerlukan satu proses pemurnian untuk dapat masuk ke dalam kergembiraan surga. Gereja menamakan proses pemurnian itu sebagai purgatorium (api penyucian). Penderitaan yang dialami oleh jiwa-jiwa di api penyucian adalah perasaan kehilangan Tuhan dan sesal batin yang tak kunjung henti. Penderitaan ini bukanlah penderitaan fisik, namun jiwa merasakan kesakitan kesadaran karena tak bisa menggapai kebahagiaan surgawi akibat terkurung oleh nyala api, yang diistilahkan oleh Santo Alfonsus Ligouri sebagai “kesakitan karena ketidakmampuan melihat Allah” dan “kehampaan kerinduan atas surga”. 

 

Sebagai satu keluarga Gereja, mereka yang tengah mengalami kerinduan akan Allah di api penyucian itu sangat membutuhkan doa-doa dan pengorbanan kita yang masih berjuang di dunia ini. Para jiwa di api penyucian tak dapat menolong diri mereka sendiri karena waktu untuk memanfaatkan karunia Allah telah berakhir ketika mereka meninggal. Kita yang masih hiduplah yang masih mempunyai waktu untuk mendapatkan dan memanfaatkan karunia Allah. Lantas apa yang bisa kita lakukan bagi mereka? 

1. Mempersembahkan Misa 

Ini adalah cara yang paling ampuh untuk menolong jiwa-jiwa di api penyucian. Dalam misa kudus, Yesus sendiri yang mempersembahkan dan mengurbankan diri-Nya bagi kita. Manfaat misa kudus bagi mereka yang telah meninggal adalah sama besar bagi mereka yang sangat menghargai misa kudus selama hidup mereka.

Misa kudus sebagai kurban dipersembahkan bagi mereka yang hidup dan mati untuk pengampunan dosa semua orang dan untuk mendapatkan anugerah rohani dan jasmani dari Allah. Gereja di surga juga dipersatukan dengan persembahan Kristus ini.

2. Berdoa Rosario

Doa Rosario yang dipersembahkan bagi orang yang telah meninggal merupakan doa yang sangat berguna untuk mohon keringanan dan pembebasan penderitaan jiwa-jiwa di api penyucian. Melalui Rosario, banyak jiwa-jiwa dibebaskan dari api penyucian setiap tahunnya. Santo Alfonsus Ligouri mengatakan, “Berdoa Rosario adalah cara yang baik untuk menghibur jiwa-jiwa di api penyucian.”

Dalam penampakan Bunda Maria di Fatima pada 13 Juli 1917, Bunda Maria meminta agar kita berdoa Rosario supaya orang-orang terbebas dari api neraka. Untuk maksud tersebut, maka setelah selesai satu mendoakan satu peristiwa Rosario, ditambahkan doa singkat yang kita kenal sebagai Doa Fatima :

“Ya Yesus yang baik, ampunilah dosa-dosa kami, selamatkanlah kami dari api neraka,dan hantarlah jiwa-jiwa ke dalam surga, terutama mereka yang sangat membutuhkan kerahiman-Mu.”

Maria, Bunda Allah dan Bunda Gereja datang ke api penyucian untuk membebaskan jiwa-jiwa, bahkan jiwa-jiwa tersebut memanggil Bunda Maria dengan sebutan Bunda Kerahiman. Bunda Maria sendiri pernah berpesan pada Beato Alain de la Roche, “Akulah Bunda dari jiwa-jiwa di api penyucian dan setiap doa yang ditujukan kepadaku akan meringankan penderitaan anak-anakku.”  

 

3. Berdoa Jalan Salib dan merenungkan sengsara Yesus

Doa ini mengajak kita untuk merenungkan sengsara Yesus Kristus, dan dengan merenungkannya kita diajak untuk sedikit demi sedikit membenci dosa dan menginginkan keselamatan bagi semua orang. Kecenderungan hati ini membaa penghiburan besar bagi jiwa-jiwa di api penyucian.

4. Mendoakan doa-doa  gubahan para kudus untuk jiwa-jiwa di api penyucian, antara lain doa Santa Gertrudis, doa Santa Mathilda, doa Santa Brigita, doa Santa Bridget dari Swedia, dan banyak doa-doa lain yang bisa kita panjatkan bagi jiwa-jiwa di api penyucian. Mereka yang di api penyucian sangat bergantung pada doa-doa kita, maka jika kita tidak berdoa bagi mereka, mereka sama sekai ditelantarkan.

Bunda Maria pada penampakan di Medjugorje pada 6 November 1986 menyampaikan pesan untuk berdoa setiap hari bagi jiwa-jiwa di api penyucian.

5. Mempersembahkan segala penderitaan, penitensi, mati raga, pantang puasa, dan pengorbanan pribadi kita untuk menolong jiwa-jiwa yang malang di api penyucian. Penderitaan kita di dunia dapat membuat kita bertumbuh dalam kasih, maka jika kita menjalani segala penderitaan dan pengorbanan itu dengan sabar, rendah hati, dan dipersatukan dengan sengsara Yesus dengan menaruhnya ke dalam tangan Perawan yang Terberkati, maka semuanya itu akan memiliki kuasa untuk menolong banyak jiwa.

6. Rajin mengupayakan untuk memperoleh indulgensi, entah penuh ataupun sebagian bagi diri sendiri, maupun bagi orang-orang yang telah meninggal. Mengenai aturan mengenai indulgensi dapat dibaca disini

Doa-doa dan pengorbanan kita bagi jiwa-jiwa di api penyucian tidak akan sia-sia. Mereka yang terbebaskan dari api penyucian dan masuk ke dalam surga karena doa-doa kita pasti tidak akan melupakan kita. Mereka akan mendoakan mereka dalam perjuangan kita di dunia ini dan juga jika kita mengalami pemurnian di api penyucian nanti.  Inilah bentuk bukti cinta kasih yang satu dan sama dalam Gereja. Kasih yang tak berkesudahan inilah yang menjadi jembatan antara kita yang masih hidup di dunia ini dengan mereka yang telah meninggal. 

Referensi :

-. 2007. Rahasia Jiwa-Jiwa di Api Penyucian. Jakarta : Marian Centre Indonesia.

Djokopranoto, R. 2013. Misteri Api Penyucian. Jakarta : Penerbit OBOR.

Konferensi Waligereja Indonesia.2008. Iman Katolik (Buku Informasi dan Referensi). Jakarta : Penerbit OBOR dan Kanisius.

Susanto, Harry, SJ (Penterjemah). 2011. Kompendium Katekismus Gereja Katolik. Yogyakarta : Kanisius.


Disusun oleh Tim Website Senatus Bejana Rohani.

Pesan Gado- Gado Pada Penutupan Bulan Rosario

Refleksi Sdr. Junius Wijaya, OFS pada penutupan Bulan Rosario di Paroki Santo Petrus dan Paulus, Mangga Besar.


Penutupan Bulan Rosario 2017 di Paroki Mangga Besar digelar dengan tema yang berbeda dari acara-acara yang pernah diadakan sebelumnya. Kali ini para Legioner berinisiatif utk menggabungkan peringatan Hari Pangan Sedunia (HPS) dan peringatan Sumpah Pemuda dalam acara penutupan Bulan Rosario. Alhasil diselenggarakanlah Prosesi Doa Rosario Merah Putih dengan berpusat pada teladan Keluarga Kudus Nazareth.

Tema Keluarga Kudus Nazareth pun terkait erat dengan penampakan Maria Fatima yang peringatan 100 tahunnya juga berpuncak pada bulan Oktober ini. Di mana dalam penampakannya yang terakhir kepada 3 anak gembala, Bunda Maria juga mengikutsertakan St. Yosef dan kanak-kanak Yesus yang turut memberkati dunia.

Tema keluarga juga sangat dekat dengan HPS. Diharapkan keluarga-keluarga Kristiani juga selalu menyediakan pangan sehat untuk anak-anak dan generasi muda. Oleh sebab itu dengan maksud ini, makan tandu patung Keluarga Kudus yang dibawa dalam prosesi juga dihiasi dengan aneka buah dan sayur mayur.

Akhirnya kesatuan dalam Keluarga Kudus Nazareth diharapkan juga menjadi inspirasi bagi kesatuan bangsa Indonesia, sebagaimana yang diikrarkan pada Sumpah Pemuda 89 tahun yang lalu. Untuk mengungkapkan tekad ini, maka umat mempersembahkan bunga mawar merah dan putih untuk ikut menghiasi tandu Keluarga Kudus Nazareth.

St. Teresa dari Kalkuta pernah berkata “Apa yang dapat Anda lakukan untuk mempromosikan perdamaian bagi  dunia? Pulanglah dan cintailah keluarga Anda.” Perdamaian selalu dimulai dari keluarga. Maka semoga keluarga-keluarga Kristiani meneladani Keluarga Kudus Nazareth dalam hal kesatian, kesetiaan, keharmonisan, dan saling peduli agar menjadi berkat bagi kesatuan dan keharmonisan dalam hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara menuju kemakmuran dan kesejahteraan yang semakin merata.
Terpujilah Keluarga Kudus.. Yesus, Maria, Yosef.. sekarang dan selama-lamanya.


Sdr. Junius Wijaya, OFS adalah seorang anggota Ordo Fransiskan Sekular yang juga menjadi Asisten Pemimpin Rohani Presidium Pohon Suka Cita dan Presidium Maria Tak Bernoda, paroki Santo Petrus Paulus Mangga Besar.

Tidak Mendengarkan

Sharing dari Sdri. Rosita Taufik.


Pada suatu sore saya terbangun dari tidur dan betul-betul sangat terkejut ketika melihat jam di dinding telah menunjukkan pukul 15.45 wib padahal sore itu saya harus memimpin rapat presidium pukul 16.00 WIB.

Saya terburu-buru mandi dan berpakaian, lalu pergi. Namun ketika saya sampai, rapat telah dimulai. Tanpa memperhatikan mereka sedang berdoa lalu saya sendiri mulai berdoa pembukaan dari lembaran doa Tessera, karena setiap legioner yang terlambat, wajib untuk mendoakan doa pembukaan terlebih dahulu.

Tetapi setelah saya selesai dengan doa pembukaan saya merasa bingung ketika saya mendengar mereka doa penutup. Saya melihat berganti-gantian ke jam tangan dan ke jam dinding yang ada di ruangan rapat presidium, apakah saya salah melihat jam? Seingat saya, saya hanya terlambat 20 menit dan tidak seharusnya saat itu sudah doa penutup.

Saya tertunduk lemas, perasaan saya begitu bingung, kesal, jengkel dan marah bercampur aduk. Saya pikir sejak kapan rapat boleh mereka buat demikian, sesuka hati tanpa alasan rapat langsung ditiadakan. Sedangkan saya sebagai ketua presidium tidak diberitahu dan diminta persetujuannya.

Saya melirik kepada semua yang hadir, rupanya wakil ketua pun terlambat, jadi yang memimpin rapat pada saat itu adalah Bendahari yang boleh dikatakan cukup senior jika di bandingkan dengan saya. Tetapi bagaimana hal ini bisa terjadi ????

Begitu mereka selesai doa penutup, langsung saya tegur dengan nada yang cukup kasar dan pedas, masak legioner yang telah senior tidak tahu peraturan rapat. Segala macam kemarahan lainnya keluar dari mulut saya tanpa sedikitpun saya mau mendengarkan keterangan dari mereka. Saya tetap bersikeras hati dengan prinsip saya, yaitu walau apapun yang terjadi rapat harus berjalan sebagaimana mestinya.

Setelah emosi saya agak reda, semua anggota duduk kembali dan mereka mengatakan bahwa mendadak ada permintaan dari anggota Santo Yosef agar legioner bersedia untuk doa bersama di Sunggal karena saat itu hanya 3 orang anggota St.Yosep yang hadir.

Kebetulan sekali sekretaris Presidium juga merupakan sekretaris di Himpunan Keluarga Santo Yoseph. Jadi teman-temen di presidium tanpa pikir panjang langsung meniadakan rapat Legio dan diganti dengan doa Tessera.

Setelah mendengar semuanya itu hati saya masih tetap mendongkol, saya merasa perlu ketegasan sebagai seorang ketua, saya masih tetap tidak mau mendengarkan alasan mereka. Harga diri saya terganggu dengan peristiwa ini .

Semua anggota menyabarkan saya dengan mengatakan : “Sudahlah” tapi saya tetap masih dalam keadaan emosi. Akhirnya saya baru sadar ketika saya diberitahu bahwa sekretaris tersebut telah menangis, dan ketika itu timbullah penyesalan pada diri saya .

Saya baru merasakan bahwa ia mempunyai maksud baik. Lalu saya menghampirinya untuk berkomunikasi. Begitu melihat wajah teman itu menangis yang selama ini adalah orang yg cukup periang, saya jadi ikut terharu. Baru saya sadari bahwa saya tidak mau tahu dan kurang mau mendengarkan alasan yang diberikan oleh teman-teman, padahal tujuan  dan maksud sebenarnya adalah baik.

Akhirnya kami berdua saling berangkulan dan menangis sambil meminta maaf. 

Saya sangat menyesalkan peristiwa ini. Inilah akibat tindakan saya yang tidak mau mendengarkan orang lain terutama salah satu pengurus yang selalu mendampingi saya.

Tugas berdoa untuk umat yang dipanggil oleh Bapa di surga juga merupakankan suatu kewajiban bagi seorang Legioner. Dan sebenarnya saya harus bersyukur dan berterima kasih bahwa dia tidak terlambat seperti saya dan wakil Ketua.

Walau peristiwa ini terjadi 1992 dan telah 25 tahun berlalu tapi masih tetap dalam kenangan saya. Saudari wakil ketua kini menetap di Jakarta dan saudari Bendahari yang lebih senior dari saya kini di Pekanbaru, sedangkan saudari sekretaris akan kembali dari Jakarta dalam waktu dekat ini.



Sdri.Rosita Taufik adalah Ketua Regia Ratu Para Syahid Medan periode Maret 2016 – Februari 2019.

Kuria RPSI Goes To KaNaDa: “Hidup Tuk Jadi Berkat”

Oleh Febriani Aipon Gedo


“Hidup ini adalah kesempatan.

Hidup ini untuk melayani Tuhan.

Jangan sia siakan, apa yang Tuhan bri.

Hidup ini harus jadi berkat.
Reff :

Oh Tuhan pakailah hidupku, selagi aku masih kuat.

Bila saatnya nanti, ku tak berdaya lagi.

Hidup ini sudah jadi berkat. “

Demikianlah lagu ciptaan Pdt. D. Surbakti yang dinyanyikan oleh Romo Andreas Yudhi Wiyadi O Carm, Pemimpin Rohani Kuria Ratu Para Saksi Iman (RPSI) – Tomang, dalam homilinya pada Perayaan Ekaristi yang diadakan di Gua Maria Bukit Kanada (KAmpung NArimbang DAlam)  –Rangkasbitung,  Banten.

Perayaan Ekaristi ini adalah bagian dari rangkaian acara ziarah rekreasi yang diselenggarakan oleh Kuria Ratu Para Saksi Iman pada Sabtu, 23 September 2017, dan diikuti oleh 63 orang peserta (terdiri dari perwira, anggota aktif,auksilier dan simpatisan) dari dua paroki yang tergabung dalam Kuria RPSI, yakni Paroki Tomang dan Paroki Kedoya.

Peserta tiba pada pukul 09.00 WIB setelah menempuh tiga jam perjalanan dari Tomang. Setelah rehat dan berfoto bersama, acara dilanjutkan dengan prosesi jalan salib versi Bunda Maria. Peserta, yang dibagi menjadi dua kelompok dan mayoritas berusia lanjut, bersemangat sekali untuk mengikuti jalan salib.

Bersyukur pada hari tersebut tampaknya hanya rombongan kami yang memenuhi lokasi sehingga prosesi jalan salib dapat berjalan hikmat. Walaupun kadang medan yang dihadapi para lansia tampak menanjak atau curam menurun, sehingga membuat mereka agak tertatih dan naik turun memegang besi di tangga, namun mereka tetap semangat sampai akhir perhentian. Peluh dan lelah yang dirasakan, direfleksikan dengan kedukaan dan Iman Bunda Maria dalam mengikuti Jalan Salib PuteraNya. 

Usai Jalan Salib, acara dilanjutkan dengan Perayaan Ekaristi. Dalam homilinya, Romo terkesan dengan peserta yang saling tolong menolong selama prosesi Jalan Salib. Romo juga mengingatkan melalui lagu yang dinyanyikannya, bahwa hidup ini adalah kesempatan. Hidup ini hanya sementara seperti halnya perhentian-perhentian kita di Jalan salib tadi. Mari kita melayani Tuhan selagi masih kuat. Andai pun kita sudah tidak berdaya, kita masih bisa memanjatkan doa-doa kita kepada Tuhan sebagai bentuk kerinduan pelayanan kita. 
Acara berikutnya adalah makan siang di halaman seberang Gua Maria. Menu lauk ayam goreng, ikan asin, tahu tempe, sambal, dan sayur asem dirasakan begitu nikmat karena kondisi perut sudah lapar, lelah, serta ditambah semilir angin di pendopo pinggir kolam. Setelah perut kenyang dan beristirahat sejenak, acara dilanjutkan dengan rapat kuria. 
Setelah menikmati snack sore berupa singkong goreng, peserta pun bersiap pulang dan akhirnya kembali ke Jakarta dengan selamat. 

Semoga kebersamaan ini dapat semakin menjalin keakraban serta semoga semangat pelayanan legioner semakin menjadi berkat seperti lagu yang Romo nyanyikan dalam homilinya. Amin.



Febriani Aipon Gedo adalah legioner dari Kuria Ratu Para Saksi Iman – Tomang, yang tergabung ke Komisium Maria Immaculata – Jakarta Barat 2